“In volunteer politics, a builder can build faster than a destroyer can destroy.” ~ Morton Blackwell
PinterPolitik.com
[dropcap size=big]K[/dropcap]ritik terkait hadirnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam rapat kerja nasional (Rakernas) Pro-Jokowi (Projo) yang digelar Senin (4/9) lalu, tak hanya dilontarkan oleh Wakil Ketua Gerindra Fadli Zon, tapi juga Wakil Ketua Majelis Syuro PKS Hidayat Nur Wahid. Kedua tokoh yang memang berasal dari partai oposisi pemerintah ini, menilai kehadiran Jokowi di acara tersebut sebagai tindakan yang tak lazim. Keduanya pun mengingatkan Jokowi untuk tetap fokus pada tugasnya sebagai kepala negara, termasuk menyelesaikan semua janji-janji saat kampanye.
Seperti kita tahu, Projo merupakan salah satu kelompok pendukung Jokowi yang diakui ikut serta dalam menghantarkannya ke kursi kepresidenan. Relawan Projo memiliki status hukum sebagai organisasi massa (ormas) sejak Desember 2013 dan terbilang cukup militan, karena saat ini telah memiliki perwakilan di 34 provinsi dan 501 kabupaten. Namun relawan pendukung Jokowi bukan hanya Projo, tercatat ada 31 organisasi lain yang ikut memberi andil atas kemenangan Jokowi pada pemilihan presiden (Pilpres) 2014 lalu. Bahkan salah satunya telah mendeklarasikan diri sebagai partai politik, yaitu Partai Indonesia Kerja (PIKA).
Kegelisahan Gerindra dan PKS akan kehadiran Jokowi di Rakernas, sedikit banyak memperlihatkan ‘ketakutan’ mereka akan kemungkinan Projo mencuri start dalam menghadapi tahun politik, yaitu 2018 dan 2019. Apalagi dalam pidatonya, Jokowi juga meminta relawannya untuk ikut serta ‘mengawal’ tahun yang kemungkinan besar akan membuat iklim politik Indonesia memanas. Walau Jokowi tidak secara terbuka menyatakan pencalonannya kembali, namun apakah kehadirannya memperlihatkan bahwa ia akan menggunakan suara relawan sebagai ‘senjata’ di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 nanti?
Jokowi Hadiri Rakernas Projo, Zulkifli Hasan: Nggak Ada Salahnya https://t.co/osEG7oC0Xm pic.twitter.com/RMcXbBdDz3
— detikcom (@detikcom) September 6, 2017
Relawan Politik, Kekuatan Suara Rakyat
“Those who are too smart to engage in politics are punished by being governed by those who are dumber.” ~ Plato
Maraknya gerakan relawan politik menjelang pemilihan umum (Pemilu) mungkin bukan fenomena baru di luar negeri, terutama Amerika Serikat (AS). Namun di Indonesia, menjamurnya relawan politik baru gencar terdengar ketika Pemilihan Presiden 2014 lalu, tepatnya saat masyarakat memiliki keinginan kuat untuk mengajukan Jokowi yang saat itu baru setahun menjabat sebagai gubernur DKI Jakarta, untuk maju sebagai presiden. Para pendukung ini pun mulai membuat kelompok-kelompok yang misinya sebenarnya sama, yaitu menyukseskan langkah Jokowi ke kursi kepresidenan.
Suara kelompok relawan ini, memang mau tak mau memberikan kontribusi yang cukup besar dalam mengkampanyekan calon presiden. Terutama karena sejak tahun 2004, Indonesia menggunakan sistem pemilihan presiden secara langsung layaknya sistem Pilpres di AS. Tak heran pula bila pada saat Pilpres 2004, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebenarnya juga telah memanfaatkan peran relawan dalam keberhasilannya merebut kursi presiden dari Megawati Soekarnoputri. Namun peran para relawan SBY, seperti Gerakan Pro SBY, Yudhoyono Pilihan Terbaik (Yupiter), SBY Women Fans Club, serta lainnya, tidak se-eksis dan masif layaknya kelompok relawan Jokowi saat ini.
Di AS sendiri, kekuatan masif gerilya relawan politik terutama di media sosial (medsos) diakui baru terjadi pada Pemilu 2004, yaitu saat Barack Obama mencalonkan diri sebagai presiden kulit hitam pertama di negara Paman Sam tersebut. Langkah Obama ini pula yang sepertinya menginspirasi, sehingga kemudian muncullah barisan buzzer yang dikendalikan para relawan Jokowi. Munculnya kesan ‘pencitraan’ Jokowi pun tak lepas dari gigihnya para relawan bergerilya menyebarkan informasi, serta upaya pelurusan informasi dan berita negatif dari lawan politik yang jumlah relawannya juga tak kalah banyak.
Di luar beroperasinya, para pengamat politik mengapresiasi kehadiran kelompok-kelompok relawan ini sebagai perkembangan demokrasi ke arah yang lebih positif. Mengapa? Karena munculnya relawan-relawan ini mengindikasikan adanya perluasan partisipasi politik masyarakat di luar dominasi oligarki partai politik (parpol) dalam memilih pemimpin negeri. Kehadiran mereka pun mengisyarakatkan meningkatnya kemelekan politik masyarakat dan sikap alturistisme (tindakan sukarela, tanpa imbalan) yang mampu berkontribusi dalam terciptanya perubahan.
Senjata Politik Jokowi di 2019?
“In politics a community of hatred is almost always the foundation of friendships.” ~ Alexis de Tocqueville
Walaupun dari 32 kelompok relawan Jokowi masih belum dapat dipastikan, namun kekuatan akar rumput (grassroot) ini memang tidak bisa dipandang sebelah mata. Apalagi di Rakernas Projo, Jokowi juga telah menyatakan kalau urusan kampanye diserahkan pada para relawan, sehingga ia dan para menterinya bisa lebih fokus kerja. Pernyataan ini secara tak langsung diterjemahkan sebagai sinyal dimulainya ‘kerja’ para relawan Jokowi, ini pula yang kemungkinan besar menjadi pemicu munculnya kritik dan teguran dari para seteru pemerintah.
Sebagai sebuah ormas dan perkumpulan sipil, kelompok relawan memang belum memiliki peraturan maupun undang-undang yang secara pasti mengatur cara kerja mereka. Selain berada di luar struktur pemerintahan, kelompok relawan pun tidak bisa disamakan dengan parpol yang terikat dengan UU Pemilu dan peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Namun menurut Titi Anggraini, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menyatakan, suatu kelompok yang bersifat partisan (terlibat dalam pemenangan kandidat) seharusnya juga ikut dalam regulasi yang mengatur tim kampanye atau tim sukses.
Artinya, kelompok-kelompok itu harus transparan dan akuntabel mengenai susunan pengurus serta metodologi yang digunakan dalam melakukan kegiatan. Laporan keuangan juga mesti transparan dan akuntabel serta diaudit oleh akuntan independen, termasuk batas sumbangan dan belanjanya. Pengaturan ini tentu diperlukan agar tidak ada pihak-pihak yang menancapkan kepentingannya dengan memberi modal untuk keuntungan pribadi. Sebab jika ini tidak diatur, relawan bisa menjadi arena baru tempat oligarki menginvestasikan modalnya dan menyamarkan kepentingan-kepentingannya.
Hal yang sama juga disampaikan Peneliti LIPI, Siti Zuhro. Ia menilai peran relawan yang ada saat ini cenderung dibentuk untuk mendapatkan keuntungan. Apa yang dilakukan relawan saat ini dalam kontestasi demokrasi pada akhirnya sama saja dengan parpol. Maraknya kelompok relawan memang menggembirakan, namun dibalik itu akibat belum adanya regulasi dan aturan kerjanya, kelompok ini pada akhirnya pun hanya menjadi topeng untuk mencari keuntungan semata. Buktinya, setelah Jokowi berhasil menaiki jabatan Presiden, 16 aktivis relawannya dinobatkan sebagai komisioner di Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Selain itu, Titi juga melihat sistem relawan politik di Indonesia berbeda dengan AS. Di negara adidaya tersebut, walaupun relawan ikut mengupayakan kemenangan calon presiden, namun mereka tidak punya komunikasi yang intens dengan kandidatnya. Sementara di Indonesia, komunikasi yang terjalin terlihat sangat intens. Ini terlihat dari bagaimana Jokowi maupun lawan politiknya, Prabowo Subianto, selalu hadir di acara-acara yang digelar para relawannya. Hubungan yang cair ini, tentu saja menumbuhkan keterikatan yang kuat dan membuat para relawan lebih semangat, lebih militan.
Berbeda dengan Prabowo, di Pilpres nanti Jokowi tentu banyak dimanfaatkan dengan posisinya sebagai pertahana. Walaupun pihak Gerindra mengaku memiliki lebih banyak, namun isu-isu yang dijual mungkin akan lebih sedikit dibandingkan Jokowi. Di samping itu, 32 kelompok relawan yang telah mengakar ke seluruh provinsi pun bisa menjadi ‘senjata’ untuk bernegosiasi dengan parpol pendukungnya. Sekarang tinggal bagaimana Jokowi nantinya memaksimalkan dukungan solid yang telah digenggamnya ini. Karena bila salah langkah, para relawan ini tentu dapat berubah menjadi bumerang bagi dirinya. (R24)