Setelah sebelumnya Presiden Jokowi menyebut akan ada saatnya perahu relawan diarahkan, Jokowi Mania (JoMan) justru mendeklarasikan dukungan kepada Ganjar Pranowo. Apakah ini menunjukkan relawan Jokowi pecah? Kemudian, apakah dukungan JoMan merupakan sinyal menguatnya posisi Ganjar?
“Loyalty is a fine quality, but in excess it fills political graveyards.” – Neil Kinnock, politisi Wales
Cukup menarik melihat, kendati Pilpres 2024 masih tiga tahun lagi, relawan berbagai kandidat justru sudah mulai bermunculan. Setidaknya, ada empat kandidat yang sudah mendapat dukungan dari relawan. Pertama, ada Sahabat Ganjar dan Ganjarist yang telah mendeklarasikan dukungan terhadap Gubernur Jawa Tengah (Jateng) Ganjar Pranowo.
Kedua, ada Gema Puan Maharani Nusantara (GPMN) yang mendukung Ketua DPR Puan Maharani. Ketiga, ada Jejaring Relawan Muhaimin Iskandar (Jerami Indonesia) dan Relawan Lebah Gus Muhaimin yang berdiri di belakang Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar. Dan, keempat, ada Barisan Airlangga Hartarto (BARA) yang siap mendukung Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto.
Dari keempatnya, yang paling menyita perhatian adalah Ganjar Pranowo. Pasalnya, berbeda dengan tiga kandidat lainnya yang memiliki posisi vital di partai, situasi Ganjar dengan PDIP justru tidak begitu baik. Merunut akar masalahnya, berbagai pihak menyebut ketegangan terjadi sejak Pemilu 2020, tepatnya Pemilihan Bupati (Pilbup) Purbalingga 2020.
Saat itu, alih-alih mendukung pasangan Dyah Hayuning Pratiwi dan Sudono yang menjadi jagoan PDIP, Ganjar justru mendukung adik iparnya, Zaini Makarim yang menjadi wakil dari Muhammad Sulhan Fauzi.
Baca Juga: Ganjar “Bunuh Diri” Jika Tetap di PDIP?
Pada 4 Desember 2020, pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komaruddin juga menyebut ada bahasa tubuh Megawati yang menunjukkan ketidaksetujuan terhadap Ganjar.
“Kemarin saya dapat kabar dari orang dalam PDIP, dalam satu pertemuan dengan Megawati dan Ganjar, di situ ada Effendi Simbolon, dan ketika Ganjar masuk, Effendi Simbolon mengatakan, ‘ini calon presiden kita’. Lalu Megawati mukanya langsung merah. Artinya tidak berkenan dalam konteks itu,” begitu ungkap Ujang.
Pada 20 September 2021, Direktur Eksekutif Median, Rico Marbun juga memberi pandangan, mungkin sudah saatnya Ganjar berkemas dan meninggalkan PDIP. Pasalnya, kendati elektabilitasnya tinggi, tanpa adanya restu Megawati, tidak mungkin Gubernur Jateng itu diusung oleh partai banteng.
Di tengah pesimisme tersebut, deklarasi dukungan Jokowi Mania (JoMan) terhadap Ganjar pada 17 September 2021 tampaknya memberikan isyarat kejutan. Lantas, mungkinkah posisi Ganjar justru tengah menguat saat ini?
Investasi Saham Politik
Dukungan JoMan beberapa hari yang lalu terbilang mengejutkan. Pasalnya, pada 13 Juni 2021, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah memberi penegasan bahwa belum saatnya perahu relawan diarahkan kepada kandidat tertentu. Tentu pertanyaannya, mengapa JoMan melangkahi arahan?
Satu dugaan mencuat atas persoalan ini, yakni relawan Jokowi mulai pecah. Ketika dimintai keterangan, Ketua Umum Projo, Budi Arie Setiadi menegaskan bahwa keputusan tersebut merupakan hak politik JoMan. Untuk saat ini, Budi menyebut Projo masih menunggu komando Presiden Jokowi.
Apabila menggunakan perspektif JoMan sebagai relawan Jokowi, mungkin kita akan menyebut relawan Jokowi tengah pecah. Namun, apabila menggunakan kacamata politik realis, dukungan JoMan tampaknya adalah fenomena politik yang begitu biasa.
Bruce Bueno de Mesquita dan Alastair Smith dalam tulisannya In Sickness and in Health: Why leaders keep their illnesses secret memberi penjelasan menarik soal relasi pemimpin dan pendukungnya dalam politik. Dalam banyak kasus, kesetiaan pendukung terjadi jika mereka melihat pemimpin masih akan berkuasa atau memberikan keuntungan.
Dengan kata lain, relasi pendukung dan pemimpin dalam politik kerap kali bersifat transaksional. Mereka yang awalnya mendukung akan berlomba untuk mencari tunggangan baru apabila sang pemimpin tidak akan berkuasa lagi.
Baca Juga: Relawan Politik, Benalu Demokrasi?
Bertolak dari Mesquita dan Smith, JoMan yang memberikan dukungan terhadap Ganjar sekiranya bertolak dari fakta bahwa Jokowi tidak dapat maju lagi di 2024. Saat ini mereka tengah mencari proyeksi tunggangan baru.
Penekanan tersebut juga diungkapkan Begog D. Winarso dalam tulisannya Nggege Mongso. Menurutnya, fenomena relawan politik yang sejak dini memunculkan diri, seperti Ganjarist, merupakan langkah agar tidak ketinggalan kereta api dan ingin mencatatkan poin kepada Ganjar sejak awal. Jika Gubernur Jateng itu menjadi RI-1, mereka akan meminta imbalan atas jasanya, baik berupa jabatan ataupun proyek. Ini dapat disebut investasi saham politik.
Tidak hanya JoMan, politik transaksional juga terlihat dari Projo. Terlepas dari pernyataan masih setia pada komando Jokowi, nyatanya pada 23 Oktober 2019, Ketua Umum Projo sempat berpamitan karena merasa tidak dibutuhkan lagi.
Menariknya, pada 31 Oktober 2020, Sekjen Projo, Handoko justru terlihat mendesak Menteri BUMN Erick Thohir agar memperbanyak komisaris dan direksi BUMN dari kalangan relawan non-partai. Membandingkan dua sikap kontras tersebut, mungkin dapat dikatakan, penegasan kesetiaan Ketua Umum Projo tampaknya menunjukkan kepentingan mereka telah diakomodasi.
Kembali pada Ganjar. Selain menyibak realitas politik yang bersifat transaksional, dukungan JoMan juga disebut sebagai sinyal menguatnya posisi Ganjar. Pasalnya, mengacu pada logika transaksi, investasi saham mestilah dilakukan di atas asumsi keuntungan. Lantas, apakah posisi Ganjar tengah menguat saat ini?
Meniru Jokowi?
Melihat secara garis besar, sekiranya tidak salah menyebut langkah Ganjar saat ini mirip dengan Jokowi dahulu. Menurut Leo Suryadinata dalam tulisannya Golkar’s Leadership and the Indonesian President, pada Pilpres 2014 lalu, kendati berbagai petinggi PDIP tidak begitu menyukai Jokowi, Megawati tetap mengusungnya karena memiliki elektabilitas yang tinggi.
Namun, penegasan-penegasan Megawati tampaknya harus membuat kita menguji kesimpulan Suryadinata. Pasalnya, dalam berbagai kesempatan, misalnya pada 21 Agustus 2020, Ketua Umum PDIP itu menegaskan bahwa survei bukanlah acuan utama penentuan kandidat.
Pada 26 Agustus 2020, Megawati juga pernah menyinggung soal banyaknya survei yang kurang objektif dan adanya survei yang dibayar. Selain itu, mengutip ilmuwan politik dari Northwestern University, Jeffrey Winters, Jokowi disebut sebagai presiden terlemah secara politik sejak masa Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Jika benar demikian, bagaimana caranya mantan Wali Kota Solo itu membuat Megawati dan PDIP mengusungnya pada Pilpres 2014?
Pernyataan pakar hukum tata negara Refly Harun tampaknya menjawab pertanyaan tersebut. Pada 3 Agustus 2019, Refly menyebut ada enam orang kuat yang berada di lingkaran Jokowi, yakni Menko Marves Luhut B. Pandjaitan, Megawati, Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Budi Gunawan (BG), mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK), dan mantan Ketua Umum PKPI A.M. Hendropriyono.
Baca Juga: Megawati Takut Kehilangan Jokowi?
Terkhusus Luhut, relasinya dengan Jokowi terbilang cukup istimewa. Menurut Aaron L. Connelly dalam tulisannya Indonesian Foreign Policy Under President Jokowi, pertemuan Jokowi dan Luhut pertama kali terjadi pada 2008 ketika Luhut mencari seseorang yang dapat mengubah kayu mentah dari konsesi hutannya di Kalimantan menjadi produk jadi.
Seorang kenalan kemudian memperkenalkannya kepada seorang pengekspor furnitur yang baru terpilih sebagai Wali Kota Solo kala itu, yang tidak lain adalah Jokowi. Sejak saat itu, hubungan mereka terus terjalin, baik dalam bisnis maupun politik.
Setelah Jokowi menjadi RI-1, menurut Kanupriya Kapoor dalam tulisannya Indonesian President Treads Fine Line by Empowering Chief of Staff, Luhut disebut berperan sebagai “bumper” Jokowi dari berbagai tekanan politik kelompok kepentingan, termasuk dari PDIP.
Selain Luhut, ada pula peran Prabowo Subianto dan Jusuf Kalla yang membawa Jokowi dari Solo dan mendorongnya maju sebagai Gubernur DKI Jakarta pada 2012.
Singkatnya, diusungnya Jokowi oleh PDIP di Pilpres 2014, pada dasarnya bukan karena elektabilitas semata, melainkan karena terdapat berbagai tokoh berpengaruh yang berdiri mendukungnya. Mereka-mereka ini dapat kita sebut sebagai matahari mantan Wali Kota Solo tersebut.
Sekarang pertanyaannya, mampukah Ganjar mengulang fenomena Jokowi?
Ganjar Menguat?
Seperti yang ditegaskan sebelumnya, elektabilitas tidaklah cukup untuk membuat PDIP mengusung Ganjar. Gubernur Jawa Tengah ini harus memiliki matahari yang siap mendorong dan menjadi benteng politiknya.
Dalam artikel PinterPolitik sebelumnya, Pramono Anung Mulai Tersisih?, disebutkan terdapat indikasi Sekretaris Kabinet (Seskab) Pramono Anung Wibowo kemungkinan berada di belakang Ganjar. Jika simpulan tulisan tersebut tepat, kita dapat mengatakan Pramono sebagai matahari Ganjar saat ini.
Namun pertanyaannya, cukupkah Pramono sebagai pendorong dan benteng Ganjar? Rasa-rasanya, menimbang pada modal politik Pramono, khususnya kekayaan, sulit mengatakan alumnus Institut Teknologi Bandung tersebut merupakan matahari yang cukup untuk Ganjar.
Dengan demikian, jika Ganjar benar-benar serius ingin menekan PDIP agar mengusungnya di Pilpres 2024, Gubernur Jateng ini membutuhkan sokongan matahari powerful, baik dari dalam maupun luar PDIP.
Sampai detik ini, membaca pada kepingan-kepingan yang ada, dukungan JoMan tampaknya bukan merupakan sinyal menguatnya posisi Ganjar Pranowo, melainkan sekadar investasi saham politik awal. Tulisan Begog D. Winarso sekiranya sudah cukup menjelaskan fenomena tersebut.
Baca Juga: Ganjar Redup Tanpa PDIP?
Menimbang pada Ganjar belum memiliki matahari yang powerful, keputusan JoMan untuk memberikan dukungan mungkin merupakan kalkulasi yang cukup terburu-buru.
Sebagai penutup perlu untuk dicatat, simpulan tulisan ini bersifat temporal atau dapat berubah seiring dengan dinamika yang terjadi. Jika nantinya Ganjar memiliki matahari-matahari powerful yang mendukungnya, simpulan tulisan ini tentu akan berbeda. (R53)