Serangkaian respons minor eksis pasca acara relawan Joko Widodo (Jokowi) di Stadion Utama Gelora Bung Karno (GBK) Jakarta yang dihadiri langsung oleh sang RI-1. Dengan asumsi dirinya memahami akan munculnya respons itu, pertanyaan lantas mengemuka, yakni apakah Presiden Jokowi berinisiatif memantik sesuatu atau justru “terjebak” demi kepentingan tertentu?
Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjadi sorotan utama saat menghadiri acara akbar relawannya di Stadion Utama Gelora Bung Karno (GBK) Jakarta pada hari Sabtu, 26 November.
Sayangnya, Presiden Jokowi dan relawannya mendapat kritik keras dari berbagai pihak usai acara. Paling tidak, kritik itu muncul dari segi teknis acara serta dari segi politik.
Dari teknis acara, selain dampak kemacetan dan sampah masif yang berserakan, sejumlah pengakuan dan video amatir bermunculan di lini masa dengan menyebut mereka yang hadir merasa tertipu.
Pasalnya, gelombang massa dari berbagai daerah yang dikumpulkan dalam Gerakan Nusantara Bersatu itu mengaku agenda utama acara yang mereka ketahui adalah selawat akbar yang menghadirkan kiai karismatik Nahdlatul Ulama (NU) Habib Luthfi bin Yahya.
Selain itu, ada pula pengakuan sejumlah pihak yang menyebut disodorkan sejumlah uang untuk menghadiri acara itu meskipun kebenarannya belum dapat dikonfirmasi.
Masih dari ranah teknis, keluarnya izin penggunaan GBK yang menjadi venue acara relawan juga memantik perdebatan.
Musababnya, pada awal November ini pemerintah melalui Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Zainudin Amali sempat menyatakan Stadion Utama GBK tidak boleh digunakan untuk konser dan kegiatan lain hingga Piala Dunia U-20 tahun 2023.
Namun, Menpora Zainudin Amali kemudian meluruskan bahwa izin itu bisa dikeluarkan karena GBK belum memasuki tahap renovasi untuk Piala Dunia saat digunakan relawan Jokowi kemarin lusa.
Sementara itu, dari segi politik, kehadiran dan serangkaian pernyataan Presiden Jokowi selama acara berlangsung juga menuai polemik. Kritik pertama sendiri, datang dan tertuju langsung pada sang Mantan Wali Kota Solo itu.
Kepala Badan Komunikasi Strategis DPP Partai Demokrat Herzaky Mahendra Putra mengatakan Presiden Jokowi semestinya memerhatikan persoalan yang lebih penting dari pada menghadiri acara relawan.
Selain persoalan ekonomi dan gelombang PHK yang masih menghantui, Herzaky juga menyinggung keterkaitan dengan duka rakyat yang sedang dialami warga Cianjur dan sekitarnya akibat gempa beberapa waktu lalu.
Diketahui, Presiden Jokowi di acara itu sempat menyinggung kriteria ideal calon pemimpin yang harus dipilih relawannya, seperti mau melanjutkan pembangunan dan selalu memikirkan rakyat.
Yang memantik “keributan politik”, Presiden Jokowi berkelakar bahwa pemimpin yang baik adalah yang memiliki kerutan dan kadang berambut putih. Bait kelakarnya yang ditafsirkan menjadi sinyal dukungan kepada Ganjar Pranowo itulah yang kemudian ramai diperbincangkan.
Bahkan, kritik juga datang dari elite PDIP, partai politik (parpol) yang merupakan asal Jokowi. Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP Hasto Kristiyanto langsung menyudutkan relawan yang dianggap ingin mengambil keuntungan dari Jokowi.
Menurut Hasto, gerakan relawan Nusantara Bersatu telah merusak citra Jokowi sebagai pemimpin karena diseret dalam manuver politik terkait calon presiden (capres) 2024.
Bagaimanapun, sebagai seorang pemimpin dengan segudang pengalamannya, hampir mustahil jika Presiden Jokowi tak memahami dampak politik atas kehadiran dan pernyataannya di acara relawan itu.
Ihwal itulah yang lantas menimbulkan pertanyaan, mengapa Presiden Jokowi tetap berkenan hadir dan bahkan seolah aktif menyuarakan aspirasi politiknya di acara relawan tersebut?
Relawan, Benalu Jokowi?
Entah mengapa, kemunculan video amatir bagai pisau bermata dua bagi aktor-aktor yang terekam di dalamnya.
Sayangnya, video amatir saat acara relawan Jokowi di GBK justru menimbulkan luka politik. Salah satu video memerlihatkan salah satu elite relawan yang juga Kepala Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Benny Rhamdani yang seolah sedang meminta restu Jokowi untuk melawan oposisi pemerintah.
Frasa seperti “lawan”, “tempur”, hingga “jerat menggunakan hukum” disampaikan secara terbuka di depan Presiden Jokowi. Dapat ditebak, video yang tersebar seketika mendapat kecaman dari berbagai pihak.
Dari esensi video tersebut, kode “rambut putih” yang viral, hingga acara akbar yang semata-mata ditujukan untuk seorang Jokowi, sebuah interpretasi menarik tampaknya mengemuka, yakni mengenai begitu “didewakan-nya” mantan Gubernur DKI Jakarta itu oleh para relawannya.
Selama ini, eksistensi dan manuver sejumlah relawan Jokowi yang berbalut dengan bermacam nama kiranya memang patut menjadi catatan. Satu benang merah yang muncul adalah mereka sama-sama menjadikan Jokowi sebagai sentral sekaligus tameng suara maupun kepentingan mereka.
Dalam proses menyongsong pemilihan presiden (Pilpres) 2024, misalnya, relawan Jokowi yang bernama Projo sempat bersikukuh mengusung Ganjar Pranowo sebagai capres.
Akan tetapi, dalam agenda rapat kerja nasional (Rakernas) Projo di Magelang pada Mei lalu, Presiden Jokowi tampaknya tidak terpancing dan berpesan agar para relawan tidak terburu-buru mengusung capres.
Seolah memiliki jasa luar biasa karena berhasil membantu Jokowi menjadi RI-1, para relawan seolah tak memedulikan pesan Jokowi dan kiranya terus memancing endorse dari presiden, terlepas dari apa kepentingannya.
Manuver relawan ini bahkan dikritik keras oleh Hasto selaku parpol pengusung Jokowi. Merespons acara di GBK, Hasto meminta orang-orang dekat Jokowi berjuang keras untuk membawa kepemimpinannya senantiasa berada dalam jalur yang tepat, bukan malah memanfaatkannya untuk manuver kekuasaan.
“Prestasi Pak Jokowi itu untuk bangsa Indonesia dan dunia, bukan untuk kelompok kecil yang terus melakukan manuver kekuasaan,” begitu sentilan Hasto yang tampaknya memiliki relevansi ideal.
Dan memang, jika ditelaah lebih dalam, kritik Hasto serta kekhawatiran banyak pihak atas manuver hingga intervensi relawan Jokowi selaras dengan tulisan Bruce Bueno de Mesquita dan Alastair Smith yang berjudul In Sickness and in Health: Why leaders keep their illnesses secret.
Keduanya memberi penjelasan menarik mengenai hubungan pemimpin dan pendukungnya dalam politik. Menurut de Mesquitta dan Smith, kesetiaan pendukung terjadi jika mereka melihat pemimpin masih akan berkuasa atau memberikan keuntungan dalam banyak kasus.
Dengan kata lain, relasi pendukung dan pemimpin dalam politik kerap kali bersifat transaksional. Mereka yang awalnya mendukung akan berlomba untuk mencari tunggangan baru apabila sang pemimpin tidak akan berkuasa lagi.
Inti sari dari publikasi de Mesquitta dan Smith itu agaknya dapat menyingkap alasan sesungguhnya dari relasi dan manuver para relawan dengan Jokowi.
Akan tetapi, Presiden Jokowi semestinya memahami akan ekses traksaksional beserta dampak manuver relawannya jika terus bertindak agresif dan melibatkan dirinya secara langsung. Lalu, mengapa Presiden Jokowi tetap “larut” di dalamnya?
Jokowi Menjebakkan Diri?
Begitu berpengaruhnya relawan dalam kepemimpinan Presiden Jokowi kiranya cukup menarik untuk dianalisis. Mulai dari jatah “kue” kekuasaan di ring 1, jatah “kursi empuk” di BUMN, merekomendasikan reshuffle menteri, hingga merekomendasikan kandidat penerus Jokowi, seakan menjadi bukti sahih pengaruh itu.
Di meja analisis, kekuatan relawan Jokowi bahkan tampaknya bersaing dengan daya tawar partai politik (parpol).
Daya tawar parpol yang seolah melemah karena memiliki penantang berupa soliditas relawan itu kiranya menjadi wujud lain “simbiosis positifnya” dengan Presiden Jokowi.
Di sisi lain, dengan eksistensi loyal relawannya, Presiden Jokowi kemungkinan juga merasa memiliki kekuatan saat berhadapan hadapan entitas politik konvensional yang dirasa terlalu menyetir atau belawanan dengannya selama ini.
Kendati demikian, hal itu tak selalu bernada positif dalam ranah kepemimpinan dan bisa saja menimbulkan apa yang disebut sebagai illusion of control atau ilusi kendali.
Rolf Dobelli dalam The Art of Thinking Clearly menjelaskan bahwa seseorang kerap membayangkan dirinya sebagai Kaisar Romawi yang memiliki kontrol penuh dan kekuasaan yang begitu besar.
Tendensi psikologis itu kemudian disebutnya sebagai dengan ilusi kendali, yang secara definisi merupakan bias kognitif yang terjadi ketika seseorang meyakini dirinya memiliki kendali atas situasi yang berada di luar jangkauan pengaruhnya.
Masalahnya, jika ketegangan dengan aktor lain – bahkan dengan PDIP – terus dipertahankan oleh Jokowi dan para relawannya, bumerang politik bukan tidak mungkin dapat menghantam kepala negara di sisa masa jabatannya.
Itu belum termasuk dampak politik ke anak dan menantu Jokowi yang sekarang masih menjabat sebagai kepala daerah.
Oleh karena itu, Presiden Jokowi seyogianya patut berhati-hati atas berbagai bentuk manuver yang menyeretnya ke pelanggaran etika dan kehormatan politik sebagai seorang pemimpin rakyat yang masih berkuasa saat ini. (J61)