HomeNalar PolitikRekonsiliasi Terjadi Hanya Bila Megawati Diganti? 

Rekonsiliasi Terjadi Hanya Bila Megawati Diganti? 

Dengarkan artikel berikut

Wacana rekonsiliasi Megawati Soekarnoputri dengan Prabowo Subianto dan Joko Widodo (Jokowi) mulai melempem. Akankah rekonsiliasi terjadi di era Megawati? 


PinterPolitik.com 

Wacana pertemuan antara Ketua Umum (Ketum) PDIP, Megawati Soekarnoputri, dan Ketum Partai Gerindra, termasuk Presiden terpilih, Prabowo Subianto, masih menjadi buah bibir masyarakat. 

Dan jujur saja, belakangan mulai banyak yang pesimis pertemuan antara dua elite politik Indonesia tersebut tidak akan terjadi. Tidak heran, rencana pertemuan Megawati dan Prabowo sudah mulai dibunyikan seminggu setelah Pemilihan Presiden (Pilpres) berakhir, tetapi hingga saat ini belum ada perkembangan yang jelas. 

Menariknya, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Gerindra, Ahmad Muzani membantah pertemuan Megawati dan Prabowo mengalami kemandekkan. Belum adanya perkembangan kata Muzani bisa jadi karena memang Megawati dan Prabowo masih disibukkan keperluan mereka masing-masing. Bersamaan dengan itu, Muzani tetap membuka kemungkinan pertemuan keduanya akan terjadi. 

Namun, dinamika ini tentu menarik untuk kita telaah. Lantas, bagaimana kita bisa menganalisis kemungkinan pertemuan Megawati dan Prabowo jika melihat lanskap politik terkini? 

image 5

Megawati Terlampau “Emoh” Bertemu? 

Rasanya sudah jadi rahasia umum bahwa PDIP dan Megawati khususnya, memiliki perbedaan pandangan politik yang cukup mendalam dengan kubu pemerintah. Hal ini tentunya berpusat pada gestur-gestur politik Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang semakin hari semakin tunjukkan dirinya tidak lagi berada dalam “server” yang sama dengan PDIP. 

Menariknya, jika PDIP masih dipimpin dengan gaya yang selama ini dipimpin, besar kemungkinannya wacana rekonsiliasi antara Megawati dan Prabowo ataupun Jokowi akan pupus. Ada beberapa hal yang bisa jadi pertimbangan. 

Pertama, hal ini berkaitan dengan asumsi dominasi logika individualistik yang berlaku di dalam keorganisasian PDIP. Seperti yang kita ketahui, setiap elite PDIP yang diminta oleh media untuk menjelaskan keputusan strategis di partai selalu menyatakan bahwa keputusan tersebut tergantung pada kehendak Megawati, baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini menjadi simbol bahwa apapun yang PDIP hendak lakukan, itu kemungkinan tidak terjadi jika tidak disetujui Megawati. 

Baca juga :  Prabowo, the Game-master President?

Dan melihat bagaimana catatan sejarah rekonsiliasi Megawati, contohnya dengan Partai Demokrat dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), impian perdamaian ini mungkin sangat sulit untuk terwujud. 

Masalahnya, hal ini membuat wacana rekonsiliasi begitu bergantung kepada kelembutan hati Megawati. Meskipun mungkin PDIP akan sangat diuntungkan secara politik bila bekerja sama dengan kubu Prabowo-Gibran, bila Megawati masih menolaknya, maka wacana itu tetap tidak akan terjadi. 

Kedua, rekonsiliasi juga sangat sulit terjadi karena harga diri partai dan para elitenya. Skenario bergabungnya PDIP ke Prabowo-Gibran diprediksi tidak hanya akan sakiti “hati politik” para elitenya karena selama ini selalu menempatkan diri sebagai oposisi, tetapi juga hati para konstituennya yang dikenal begitu ideologis. Kalau logika individualistik masih berperan kuat, tentu hal ini bisa jadi penghambat besar rekonsiliasi. 

Namun, dua hal tadi bukanlah pendorong terkuat mengapa Megawati akhirnya akan putuskan untuk tidak rekonsiliasi dengan Prabowo ataupun Jokowi. 

image 6

Megawati Perlu Prabowo Jadi Musuh? 

Potensi Megawati dan PDIP sebagai oposisi dari pemerintah, Prabowo, dan Jokowi tidak hanya akan “menangkan” egosentrisme, tetapi sepertinya juga politik. Jika berada di luar pemerintahan, PDIP pasti memiliki keunggulan dan modal untuk menghadirkan beberapa narasi yang populis, mulai dari “penjaga demokrasi” hingga pencegah penyalahgunaan kekuasaan. 

Entah kebetulan atau tidak, PDIP pun kini menjadi satu-satunya partai yang memiliki pengalaman, ketahanan, dan kekuatan untuk menjadi oposisi. Kita bisa lihat sendiri track record mereka dari 2004 hingga 2014. 

Tidak hanya menciptakan kesan positif di hadapan rakyat dan pemilih tradisional sebagai landasan untuk mengembangkan kekuatan dalam kontes elektoral berikutnya, tetapi juga dapat menjadi alat tawar dan platform politik tertentu sebagai “musuh yang diperlukan”. Persis seperti konsep musuh yang diperlukan (necessary enemy) dari ilmuwan politik, Leopoldo Fergusson. 

Baca juga :  Taktik Psikologis di Balik Pembekalan Prabowo 

Tujuannya adalah agar masyarakat tetap memiliki alasan untuk melihat bahwa mereka masih membutuhkan kontribusi dari para pemain politik ini, baik yang sedang berkuasa maupun yang berperan sebagai penyeimbang, untuk memastikan kelangsungan stabilitas. 

Akan tetapi, sejatinya ini tidak menutup kemungkinan PDIP berganti haluan dan melembut ke Prabowo dan Jokowi, karena bagaimanapun politik selalu bersifat dinamis. Pertanyaannya, akankah hal itu terjadi di era Megawati atau Ketum PDIP selanjutnya? Well, we just have to wait and see. (D74) 

spot_imgspot_img

#Trending Article

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Dua negara menjadi tujuan utama Prabowo saat melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya pasca dilantik sebagai presiden: Tiongkok dan Amerika Serikat.

Paloh Pensiun NasDem, Anies Penerusnya?

Sinyal “ketidakabadian” Surya Paloh bisa saja terkait dengan regenerasi yang mungkin akan terjadi di Partai NasDem dalam beberapa waktu ke depan. Penerusnya dinilai tetap selaras dengan Surya, meski boleh jadi tak diteruskan oleh sang anak. Serta satu hal lain yang cukup menarik, sosok yang tepat untuk menyeimbangkan relasi dengan kekuasaan dan, plus Joko Widodo (Jokowi).

Prabowo, Kunci Kembalinya Negara Hadir?

Dalam kunjungan kenegaraan Prabowo ke Tiongkok, sejumlah konglomerat besar ikut serta dalam rombongan. Mungkinkah negara kini kembali hadir?

Prabowo dan “Kebangkitan Majapahit”

Narasi kejayaan Nusantara bukan tidak mungkin jadi landasan Prabowo untuk bangun kebanggaan nasional dan perkuat posisi Indonesia di dunia.

Prabowo & Trump: MAGA vs MIGA? 

Sama seperti Donald Trump, Prabowo Subianto kerap diproyeksikan akan terapkan kebijakan-kebijakan proteksionis. Jika benar terjadi, apakah ini akan berdampak baik bagi Indonesia? 

The War of Java: Rambo vs Sambo?

Pertarungan antara Andika Perkasa melawan Ahmad Luthfi di Pilgub Jawa Tengah jadi panggung pertarungan besar para elite nasional.

Menguji “Otot Politik” Andika Perkasa

Pilgub Jawa Tengah 2024 kiranya bukan bagaimana kelihaian politik Andika Perkasa bekerja di debutnya di kontestasi elektoral, melainkan mengenai sebuah hal yang juga lebih besar dari sekadar pembuktian PDIP untuk mempertahankan kehormatan mereka di kandang sendiri.

More Stories

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Prabowo & Trump: MAGA vs MIGA? 

Sama seperti Donald Trump, Prabowo Subianto kerap diproyeksikan akan terapkan kebijakan-kebijakan proteksionis. Jika benar terjadi, apakah ini akan berdampak baik bagi Indonesia? 

Tidak Salah The Economist Dukung Kamala?

Pernyataan dukungan The Economist terhadap calon presiden Amerika Serikat, Kamala Harris, jadi perhatian publik soal perdebatan kenetralan media. Apakah keputusan yang dilakukan The Economist benar-benar salah?