Site icon PinterPolitik.com

Redenominasi Rupiah Untuk Siapa?

Wacana redenominasi mata uang rupiah kembali digulirkan, kali ini oleh Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardoyo. Namun, wacana ini dianggap sebagai langkah politik lain di bidang ekonomi setelah keberadaan Perppu Nomor 1 Tahun 2017 tentang akses informasi keuangan.


PinterPolitik.com

“Do you want me to eat earth from a flower pot and swear in blood?” – Vladimir Putin

[dropcap size=big]K[/dropcap]ata-kata Putin tersebut diucapkannya pada Februari 2008 untuk membantah rumor yang beredar saat itu bahwa Rusia akan melakukan redenominasi mata uang rubel Rusia (RUB). Ketika itu, pertumbuhan ekonomi Rusia mencapai angka 9,2 %. Kebijakan Putin untuk tidak melakukan redenominasi mata uang tersebut sepertinya tepat, mengingat pada awal tahun 2009, pertumbuhan ekonomi Rusia justru anjlok di angka minus 9,2 %. Saat ini, wacana redenominasi mata uang itu juga terjadi di Indonesia.

Tak ada angin tak ada hujan, wacana redenominasi mata uang rupiah kembali digulirkan. Kali ini hal tersebut disampaikan oleh Gubernur Bank Indonesia (BI), Agus Martowardoyo. Agus mengatakan bahwa saat ini pertumbuhan ekonomi sedang memungkinkan untuk dijalankannya kebijakan redenominasi tersebut.

“Justru pada saat kondisi inflasi yang rendah dan kondisi ekonomi yang terjaga, karena ekonomi kita kan tumbuh 5,01 persen. Kita lihat bahwa ekonomi kuartal pertama 2017 dibanding kuartal pertama 2016 atau kuartal keempat 2016, sudah lebih baik,” kata Agus, di kantornya pada Senin, 29 Mei 2017 malam.

Rancangan Undang-Undang redenominasi mata uang rupiah sebetulnya sudah diusulkan ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2017. Hanya saja, saat itu DPR memandang redenominasi  belum menjadi prioritas. Sejauh ini rancangan undang-undang (RUU) yang diterima untuk dibahas pada Prolegnas 2017 adalah yang terkait penerimaan negara.

Agus juga menegaskan bahwa BI merekomendasikan redenominasi karena kebijakan tersebut dianggap baik untuk reputasi ekonomi Indonesia serta juga untuk efisiensi dan akuntabilitas.

Redenominasi: Tingkatkan Kredibilitas Rupiah?

Redenominasi adalah kebijakan penyederhanaan nilai mata uang menjadi lebih kecil tanpa mengubah nilai tukarnya. Misalnya, nilai uang Rp 100.000 setelah diredenominasi dengan menghapuskan 3 angka ‘nol’, akan menjadi Rp 100. Namun, nilai uang Rp 100.000 tetap setara dengan Rp 100 yang baru. Redenominasi berbeda dengan sanering yang ikut memotong nilai uang tersebut, sehingga terjadi penurunan daya beli masyarakat.

Faktanya, di ASEAN, hanya Indonesia dan Vietnam saja yang menjadi negara dengan nilai mata uang mencapai 6 digit angka. Bahkan jumlah denominasi angka dalam mata uang Indonesia saat ini berada di urutan kedua di dunia setelah Vietnam. Nilai tertinggi mata uang Vietnam, Dong adalah pecahan senilai 500.000. Indonesia ada di belakang Vietnam dengan pecahan tertinggi senilai 100.000. Hal inilah yang mungkin membuat Gubernur BI kembali mewacanakan redenominasi mata uang rupiah.

Mata uang Vietnam, Dong 500.000 (foto: istimewa)

Bukan tanpa alasan wacana ini digulirkan. Redenominasi mata uang rupiah diharapkan akan mampu meningkatkan kredibilitas mata uang rupiah. Selain itu, redenominasi juga akan membuat transaksi ekonomi  menjadi lebih mudah, mengingat nilai uang yang diperjualbelikan menjadi lebih sederhana. Mata uang rupiah juga akan lebih dipandang dan dihargai di tingkat global. Redenominasi juga dapat menghentikan atau mengurangi laju inflasi yang tinggi serta menciptakan stabilisasi perekonomian.

Hingga saat ini, tercatat sudah banyak negara yang menerapkan kebijakan redenominasi mata uangnya, setidaknya sejak 1963-2008, ada 30 negara yang menerapkan kebijakan tersebut. Negara yang melakukan redenominasi umumnya adalah negara berkembang yang punya sejarah inflasi yang gawat. Tercatat ada beberapa negara yang memangkas 6 angka nol dalam mata uangnya antara lain Turki pada 2005, Angola pada 1999, Georgia pada 1995, Peru pada 1991, dan Bolivia pada 1987.

Bagi negara-negara yang sukses, semisal Turki, kebijakan redenominasi mampu menciptakan stabilitas ekonomi serta membantu negara tersebut ketika bergabung dengan Uni Eropa. Saat itu Turki meredenominasi mata uang Lira (TL) menjadi Yeni (artinya ‘baru’) Lira (YTL) secara bertahap selama 7 tahun yang dimulai sejak 2005. Pada tahap awal, mata uang TL dan YTL beredar secara simultan selama setahun. Kemudian mata uang lama ditarik secara bertahap digantikan dengan YTL. Pada tahap selanjutnya, sebutan ‘Yeni’ pada uang baru dihilangkan sehingga mata uang YTL kembali menjadi TL dengan nilai redenominasi.

Sementara bagi negara yang gagal menerapkan redenominasi, kebijakan ini justru memperparah inflasi. Hal ini misalnya terjadi di Ghana. Negara di Afrika ini terjebak pada apa yang disebut efek money illusion. Efek ini terjadi ketika masyarakat menganggap harga barang lebih murah ketika angka ‘nol’ banyak dipangkas dari mata uang mereka.

Dampak Redenominasi

Selain program sanering yang dilakukan pada tahun 1950 dan 1959, Indonesia sebenarnya pernah melakukan redenominasi pada tahun 1965. Namun, baik sanering maupun redenominasi mata uang rupiah tersebut gagal dilakukan. Hal tersebut juga diungkapkan oleh Agus Martowardoyo saat masih menjabat sebagai Menteri Keuangan di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Saat dilaksanakan, redenominasi tidaklah sesederhana konsepnya. Menghapus tiga angka nol memang sesuatu yang tak sulit, tetapi lagi-lagi yang berat adalah menimbang dampak setelahnya.

Menurut Editor Kompartemen Harian Kontan, Thomas Hadiwinata redenominasi memang bisa meningkatkan efisiensi serta akuntabilitas. Salah satu manfaat yang bisa dipetik misalnya perusahaan bisa lebih efisien dalam menyiapkan laporan keuangan karena nilai aset menjadi lebih pendek atau sederhana. Namun, masih sulit menakar manfaat redenominasi bagi orang kebanyakan. Yang lebih mudah terlihat justru efek samping redenominasi, yaitu meningkatkan inflasi.

Walaupun berbeda dengan sanering, redenominasi ternyata masih berpotensi menciptakan inflasi. Menurut Thomas Hadiwinata, hal ini dikarenakan saat ini masih banyak barang dan jasa yang memasang banderol harga dalam nilai ratusan rupiah. Sebut saja mie instan, bumbu dapur atau sabun. Jika redenominasi tidak membuka peluang kehadiran pecahan yang lebih kecil daripada Rp 1, maka yang sangat mungkin terjadi adalah produsen membulatkan harga ke atas. Dengan demikian, barang yang semula berharga Rp 1.300 akan menjadi Rp 2, alih-alih menjadi Rp 1.

Efek inflasi bahkan bisa berlangsung setelah redenominasi terjadi. Perlu dicatat pula bahwa kebijakan menaikkan harga sudah seperti tradisi tahunan bagi para produsen. Untuk barang kebutuhan sehari-hari, kenaikan harga nilainya berkisar ratusan rupiah. Jika nilai rupiah tidak ada yang lebih kecil daripada Rp 1, kenaikan harga otomatis lebih tinggi karena kelipatan kenaikan minimal adalah Rp 1, atau Rp 1.000 dalam nilai sekarang. Bayangkan jika setiap tahun harga barang naik dalam jumlah yang lebih besar dari biasanya, pasti inflasi yang lebih besar akan terjadi.

Jika nominal rupiah yang paling kecil adalah Rp 1, maka bisa dibayangkan spillover effect atau efek ‘luapan’ redenominasi tersebut pada kenaikan harga barang dan biaya hidup. Setiap selesai Idul Fitri misalnya, produsen umumnya menaikan harga barang. Oleh karena itu, kebijakan redenominasi harus direncanakan dengan matang dan dipikirkan juga dari sisi bagaimana aturan kenaikan harga barang tersebut harus dijalankan oleh produsen.

Kebijakan Taktis Politis?

Terlepas dari baik buruknya kebijakan redenominasi, banyak pihak yang menilai program ini merupakan selentingan yang digulirkan oleh Gubernur BI di tengah kebijakan pemerintah yang memberikan wewenang pada Ditjen Pajak untuk bisa ‘mengintip’ rekening nasabah-nasabah perbankan. Seperti diketahui, pemerintah telah mengeluarkaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2017 tentang akses informasi keuangan.

Perppu ini memungkinkan Ditjen Pajak ‘mengintip’ rekening nasabah tanpa membutuhkan persetujuan Menteri Keuangan dan Gubernur BI. Di satu sisi, Perppu tersebut membuat Ditjen Pajak mampu menelusuri aliran dana yang dimiliki seseorang dan menghindarkan negara dari kerugian akibat penggelapan pajak atau tindak kejahatan keuangan lainnya. Namun, dari sisi kerahasiaan perbankan, hal ini akan berdampak pada dunia perbankan sendiri karena boleh jadi banyak nasabah yang akan merasa ‘dimata-matai’ keuangannya. Bisa jadi banyak yang kemudian memindahkan dananya ke luar negeri atau ke tempat lain.

Perppu tersebut akan berlaku selama satu tahun, dan jika tidak disetujui oleh DPR, tidak akan berubah menjadi Undang-Undang. Jika dikaitkan dengan wacana redenominasi rupiah, maka boleh jadi ini adalah combo program untuk menggusur peredaran uang ‘haram’, bahkan boleh jadi menertibkan mafia-mafia di sektor keuangan. Banyak selentingan yang menyebut uang-uang rupiah yang beredar saat ini ada juga yang ‘aspal’ atau asli tapi palsu. Sebutan tersebut merujuk pada uang asli yang diterbitkan oleh Perum Peruri, namun merupakan hasil kerja para mafia tersebut.

Bahkan, beberapa pihak mensinyalir uang ‘aspal’ tersebut diduga banyak digunakan untuk pembiayaan terorisme. Apakah benar demikian? Mungkin perlu penelusuran yang lebih jauh soal itu. Yang jelas gosip-gosip terkait hal tersebut telah beredar di mana-mana.

Wacana redenominasi juga akan menjadi selentingan yang bisa membuat ‘kalang kabut’ pihak-pihak yang selama ini menyimpan uang tunai dalam jumlah besar di brankas-brankas pribadinya. Tidak jarang juga uang-uang tersebut merupakan hasil kejahatan penggelapan, korupsi, suap, hingga pencucian uang. Jika jadi diterapkan, redenominasi rupiah dan aksi ‘mengintip’ Ditjen Pajak ini akan menyebabkan banyak pihak yang kepentingannya terganggu. Mungkinkah hal ini yang menjadi agenda tersembunyi program-program tersebut? Hanya pemerintah yang tahu. Begitu pun jika menimbang aspek politis, hanya yang berkepentingan saja yang tahu siapa politisi yang akan ikut terjerat.

Walaupun demikian, pemerintahan Presiden Joko Widodo patut diapresiasi jika sukses melakukan dua kebijakan tersebut.  Jokowi nekat? Boleh jadi ya. Kebijakan redenominasi akan membuat penimbunan uang rupiah di brankas-brankas yang berasal dari sumber ‘haram’ seperti korupsi dan pencucian uang akan mudah diketahui dan terbongkar. Sementara kebijakan ‘mengintip’ rekening akan membuat uang-uang ‘haram’ di rekening-rekening akan ketahuan sumber-sumbernya.

Pada akhirnya, redenominasi butuh kajian yang mendalam dan timing yang tepat untuk dilaksanakan. Jokowi memang belum bersuara terkait pernyataan Gubernur BI. Namun, harapannya kata-kata Jokowi tidak seperti ucapan Putin di awal tulisan ini karena apa pun program pemerintah, kalau bertujuan untuk kepentingan rakyat banyak, sudah selayaknya diperjuangkan. Bukankah begitu? (S13)

 

 

Exit mobile version