Dengarkan artikel ini:
Audio ini dibuat menggunakan AI.
Setelah Wali Kota Semarang yang juga politisi PDIP, Hevearita Gunaryanti Rahayu ditetapkan sebagai tersangka dugaan kasus korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), plus, Sekretaris Jenderal PDIP, Hasto Kristiyanto yang masih menjalani proses hukum sebagai saksi di KPK dan Polda Metro Jaya, PDIP agaknya akan mengulangi apa yang terjadi ke Partai Demokrat setelah tak lagi berkuasa. Benarkah demikian?
Hevearita Gunaryanti Rahayu, Hasto Kristiyanto, dan Harun Masiku menjadi tiga kader PDIP yang disorot karena dugaan pusaran kasus hukum di mana bisa saja membuat impresi dan simpati terhadap partainya terjerembap ke titik nadir.
Ya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Hevearita sebagai tersangka dalam dugaan kasus rasuah setelah menggeledah Kantor dan Rumah Dinas Wali Kota Semarang pada 17 Juli lalu.
Kendati menghormati langkah KPK dan proses hukum yang sedang berjalan, PDIP, melalui Ketua DPP mereka Deddy Sitorus merespons dan menyebut penetapan tersebut penuh nuansa politis.
Memang, PDIP seakan sedang digelayuti awan gelap saat beberapa elitenya tampak berada dalam pusaran kasus hukum. Termasuk yang menerpa Sekretaris Jenderal PDIP, Hasto Kristiyanto dan misteri hilangnya Harun Masiku.
Menariknya, pada 5 Juli lalu, Ketua Umum (Ketum) PDIP, Megawati Soekarnoputri sempat menyentil kadernya yang juga Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly karena dianggap tak “melindungi” sesama kader partai dari masalah hukum.
Lalu, mengapa dan benarkah kader PDIP seolah menjadi target jerat hukum? Apakah secara politik ada keterkaitan tertentu yang bernuansa politis?
PDIP Berhak Denial?
Untuk memahami apakah kader PDIP menjadi “target” jerat hukum atau tidak, beberapa perspektif kiranya mutlak untuk dilihat.
Politik merupakan arena yang penuh dengan intrik dan strategi, di mana setiap tindakan dan reaksi memiliki tujuan dan makna yang mendalam.
Dalam konteks penetapan tersangka terhadap Hevearita Gunaryanti Rahayu oleh KPK dan kasus yang sedang mengarah pada Hasto, PDIP dengan cepat memberikan reaksi yang bisa dipahami sebagai “denial politik”.
Denial politik dapat dikatakan merupakan strategi yang digunakan oleh partai politik atau politisi untuk menolak, menyangkal, atau mempertanyakan tuduhan atau serangan yang ditujukan kepada mereka.
Langkah ini sering diambil untuk mempertahankan citra partai dan melindungi kader dari dampak negatif yang bisa merusak reputasi dan kepercayaan publik.
Tudingan adanya nuansa politis yang menyelubungi kasus hukum terhadap kader PDIP tidak bisa dilepaskan dari upaya tak langsung PDIP untuk membuat benak publik mempertanyakan ulang mengenai motif di balik langkah KPK dan aparat penegak hukum lain.
Dengan demikian, PDIP berusaha untuk mempengaruhi opini publik bahwa tindakan hukum tersebut bukan murni berdasarkan bukti dan hukum, melainkan ada agenda politik tersembunyi di baliknya.
Secara sederhana, tujuan utama dari denial politik ini adalah untuk menjaga stabilitas dan solidaritas internal partai. Dengan menyatakan bahwa penetapan tersangka terhadap kader mereka bermuatan politis, PDIP pun kiranya berusaha untuk menyatukan barisan dan memperkuat dukungan internal.
Denial politik juga berfungsi untuk mengalihkan perhatian dari isu utama, yaitu dugaan korupsi, dan mengubah narasi menjadi pertarungan politik. Ini memberikan ruang bagi partai untuk memobilisasi dukungan dari para pendukungnya yang mungkin merasa bahwa partai mereka sedang diserang oleh kekuatan politik lain.
Selain itu, denial politik bertujuan untuk melindungi reputasi partai di mata publik. Dengan mempertanyakan motif di balik penetapan tersangka, PDIP berusaha untuk menjaga kepercayaan publik terhadap integritas partai.
Ini sangat penting terutama menjelang dan pasca pemilu, di mana citra dan kepercayaan publik terhadap partai politik sangat menentukan perolehan suara dan keberlangsungan partai ke depan.
Namun, penting untuk dicatat bahwa kesan bahwa kader PDIP menjadi target hukum bukan berarti bahwa semua tuduhan dan penetapan tersangka terhadap kader mereka adalah tidak berdasar. Sistem hukum di Indonesia, meskipun seringkali dipolitisasi, tetap memiliki mekanisme dan prosedur yang harus dihormati.
Maka dari itu, penetapan tersangka terhadap Hevearita Gunaryanti Rahayu harus dilihat sebagai bagian dari proses hukum yang berjalan, dan bukan semata-mata sebagai hasil dari pertarungan politik.
Secara normatif, hukum seharusnya memang dipandang terpisah dari dinamika politik. Dalam sistem demokrasi yang ideal, hukum adalah alat untuk mencapai keadilan, bukan alat politik.
Namun, realita acap kali berbeda. Dalam bukunya yang berjudul Politik Hukum di Indonesia, Mahfud MD menyatakan bahwa hukum di Indonesia tak jarang dipengaruhi oleh kekuatan politik.
Secara tersirat, Mahfud menjelaskan bahwa hukum di Indonesia tidak bebas nilai dan selalu terkait dengan kepentingan kekuasaan. Oleh karena itu, meskipun secara ideal hukum harus netral, dalam praktiknya hukum sering digunakan sebagai alat politik untuk mencapai tujuan tertentu.
Mahfud MD dalam bukunya mengemukakan bahwa politik hukum di Indonesia sangat dipengaruhi oleh dinamika politik dan kekuasaan. Hukum, tak hanya di Indonesia, kerap dipengaruhi oleh kepentingan ekonomi dan sosial dari kelompok-kelompok tertentu, yang membuat hukum tidak sepenuhnya netral dan independen.
Dengan interpretasi tersebut, klaim bahwa kader PDIP menjadi target jerat hukum kiranya harus dilihat dari dua sisi. Di satu sisi, mungkin saja nuansa politis dalam penegakan hukum eksis. Namun, di sisi lain, harus diakui bahwa proses hukum harus tetap berjalan dan penegakan hukum yang adil harus ditegakkan tanpa pandang bulu.
Lalu, apakah citra PDIP akan terpengaruh dan simpati terhadap mereka akan menurun drastis setelah deretan kasus hukum yang menjerat kadernya?
PDIP Tak Mudah Terkalahkan?
Sejumlah kasus hukum yang menerpa kader PDIP, termasuk Hevearita, praktis memberikan dampak negatif terhadap citra partai tersebut. Dalam dunia politik, persepsi publik adalah faktor kunci yang menentukan dukungan masyarakat kendati kepercayaan terhadap partai politik tak selalu baik.
Ketika elite sebuah partai terjerat kasus korupsi, publik cenderung melihat partai tersebut sebagai institusi yang korup dan tidak dapat dipercaya.
Hal ini diperkuat oleh media massa dan rekaman jejak digital di lini masa yang sering kali mengekspose skandal korupsi dan meningkatkan kesadaran publik tentang perilaku koruptif para politisi.
Pengalaman Partai Demokrat yang mengalami penurunan drastis dalam dukungan setelah sejumlah kadernya terlibat kasus korupsi memberikan gambaran yang jelas tentang bagaimana skandal rasuah dapat memengaruhi keberlangsungan partai politik.
Setelah lengser dari kekuasaan pada tahun 2014, Partai Demokrat berjuang untuk mendapatkan kembali dukungan publik, namun hingga kini belum berhasil kembali ke posisi puncak. Hal yang sama berpotensi terjadi pada PDIP jika mereka gagal mengelola krisis ini dengan baik.
Namun, berbeda dengan Partai Demokrat, penting untuk dicatat bahwa PDIP memiliki sejumlah keunggulan struktural yang dapat membantu mereka mengatasi krisis ini.
Sebagai partai yang memiliki akar yang kuat dalam sejarah politik Indonesia dan dukungan dari basis massa yang loyal, PDIP memiliki kapasitas untuk melakukan reformasi internal dan memperbaiki citra mereka.
Kepemimpinan karismatik Megawati Soekarnoputri dan potensi kader-kader muda yang bersih dari skandal dapat menjadi aset penting dalam usaha pemulihan citra partai.
Untuk menghindari nasib seperti Partai Demokrat, PDIP kiranya perlu mengambil langkah strategis dalam menghadapi skandal ini.
Transparansi dalam penanganan kasus hukum, pemberian sanksi yang tegas terhadap kader yang terlibat korupsi, serta upaya untuk membangun kembali kepercayaan publik melalui program-program pro-rakyat dapat menjadi langkah yang efektif.
Selain itu, satu yang mungkin jadi menarik dan mau tak mau dilakukan PDIP secara taktis dan strategis, mereka kiranya perlu mempererat kembali hubungan dengan Presiden Joko Widodo meski setelah tak menjabat kelak dan memastikan bahwa mereka berada di frekuensi kekuatan politik yang sama saat berkaca pada realita politik dan hukum di Indonesia. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)