Terkait pengganti Presiden Jokowi, Arief Poyuono menilai jawabannya terletak pada ramalan Jayabaya. Mengacu pada notonegoro, sosoknya mengerucut pada Airlangga Hartarto dan Ganjar Pranowo. Seperti kata Arief, haruskah jabatan RI-1 ditempati oleh orang Jawa?
“Myth is the facts of the mind made manifest in a fiction of matter.” – Maya Deren, sutradara
Isu terkait Presiden Indonesia haruslah orang Jawa telah menjadi pembahasan lama di tengah masyarakat. Melihat faktanya, semua presiden memang memiliki darah Jawa. Ada pula desas-desus soal nama presiden yang harus berakhiran singkatan notonegoro, yang notabene merujuk pada nama Jawa. Begitulah kira-kira yang tertuang dalam ramalan Jayabaya, sebuah ramalan yang kembali disinggung oleh Arief Poyuono baru-baru ini.
Menurut mantan Wakil Ketua Partai Gerindra ini, ramalan Jayabaya merupakan kunci dalam melihat siapa pengganti Presiden Joko Widodo (Jokowi). Dia haruslah orang Jawa, yang lahir di Jawa Timur atau Jawa Tengah. Mengacu pada akronim notonegoro, maka kandidatnya mengerucut pada dua sosok, yakni Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Kedua sosok ini memang digadang-gadang akan maju di kontestasi pilpres mendatang.
Terkait Presiden Jokowi, Arief mengungkap fakta menarik, yakni nama lahir sang RI-1 adalah Mulyono, yang mana itu memenuhi akronim notonegoro karena akhirannya “No”. Ini sama dengan Soekarno dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Menurut Arief, ketika Indonesia tidak dipimpin oleh presiden dengan nama akhiran notonegoro, yakni pada tahun 1999-2004, terjadi berbagai konflik di Tanah Air. Selain itu, masa kepresidenan mereka juga diketahui tidak lama.
Apa yang diungkapkan Arief sekiranya mengingatkan pada pernyataan Jusuf Kalla (JK) pada 25 Juli 2018. “Di Amerika butuh 170 tahun untuk orang Katolik jadi presiden di Amerika, butuh 240 tahun untuk orang hitam jadi presiden di Amerika, jadi mungkin butuh 100 tahun dari kemerdekaan orang luar Jawa jadi presiden [Indonesia],” ungkap JK.
Tentu pertanyaannya, apakah Presiden Indonesia haruslah orang Jawa? Kemudian, seperti kata Arief, apakah akan terjadi konflik jika presiden tidak mengikuti ramalan Jayabaya?
Panah Relasi
Sebelum membahas haruskah presiden dari orang Jawa, kita perlu membedah terlebih dahulu asumsi Arief yang menyebut terjadi konflik ketika presiden tidak berakhiran notonegoro memimpin. Untuk kepentingan ini, kita perlu membaca buku Nassim Nicholas Taleb yang berjudul The Black Swan: Rahasia Terjadinya Peristiwa-Peristiwa Langka yang Tak Terduga.
Dalam pembahasannya mengenai Kesalahan Naratif, Taleb memperkenalkan istilah menarik yang disebut dengan arrow of relationship – kita dapat menerjemahkannya menjadi panah relasi. Ini adalah kekeliruan bernalar yang terjadi ketika kita keliru dalam melihat rangkaian fakta, sehingga memaksakan sebuah keterkaitan logis. Sederhananya, kita kerap menyebutnya sebagai cocoklogi.
Ada dua alasan kuat kenapa asumsi Arief merupakan panah relasi. Pertama, faktanya, setiap era kepemimpinan selalu mengalami turbulensi dan konflik. Di era Soekarno, misalnya, terjadi instabilitas politik tak berujung. Ada pula berbagai pemberontakan, seperti Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada tahun 1958. Di era SBY juga terjadi berbagai konflik. Di awal pemerintahannya bahkan terjadi tsunami yang sangat besar. Ada pula konflik di berbagai daerah, seperti di Aceh dan Ambon.
Kedua, konflik yang terjadi antara tahun 1999-2004, lebih disebabkan karena Indonesia sedang mengalami transisi dari masa Orde Baru. Kepemimpinan Habibie sangatlah berat karena mengemban misi Reformasi yang begitu sulit. Pun demikian dengan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), terlalu banyak PR yang harus dikerjakan. Era-era ini memang penuh ketidakstabilan politik, hal yang umum terjadi pada masa transisi.
Kembali mengutip Taleb, gambaran yang disampaikan Arief bahwa terjadi konflik jika tidak dipimpin presiden berakhiran notonegoro juga disebut dengan kesalahan naratif (narrative fallacy). Ini adalah kesalahan yang terjadi karena kita memiliki kecenderungan membuat tafsiran berlebihan, serta membuat cerita menjadi lebih ringkas dan padat.
Sebuah jam rusak pun masih menunjukkan waktu yang benar dua kali sehari. Begitu pula dengan kesalahan naratif, selalu ada tendensi untuk mencocokkan suatu fakta dengan keyakinan yang telah kita miliki. Secara khusus, ini disebut dengan confirmation bias.
Singkatnya, kita dapat memberi bantahan meyakinkan terhadap asumsi Arief tersebut. Kemudian, lanjut ke pertanyaan terpenting, apakah presiden harus orang Jawa?
Fakta Tak Terbantahkan?
Terkait ramalan Jayabaya, mengacu pada adagium jam rusak sebelumnya, mudah mengatakan itu hanyalah ramalan, suatu hal yang tidak rasional dan tidak memiliki bukti ilmiah. Jika memahami ramalan tersebut sebagai preseden atau penyebab, kita dapat 100 persen setuju. Namun beda halnya jika ramalan tersebut dipahami sebagai konsekuensi atau selubung narasi.
Untuk ini, kita perlu membaca buku Rolf Dobelli yang berjudul The Art of Thinking Clearly. Di dalamnya, Dobelli memperkenalkan istilah menarik yang disebut dengan swimmer’s body illusion atau ilusi tubuh perenang. Ini adalah kekeliruan bernalar yang terjadi ketika kita keliru dalam menentukan mana yang menjadi penyebab, dan mana yang menjadi akibat.
Sekarang kita perlu meluruskan, apakah ramalan Jayabaya merupakan preseden, atau merupakan selubung narasi?
Untuk menjawabnya, kita perlu membangun analisis terkait mengapa presiden selalu memiliki darah Jawa. Dan yang terpenting, mengapa para kandidat Pilpres 2024 merupakan orang Jawa?
Pertama, tentunya terkait populasi, yakni 41 persen penduduk Indonesia merupakan suku Jawa. Selain itu, penduduk Indonesia masih terkonsentrasi di Pulau Jawa, sebesar 151,59 juta jiwa atau 56,10 persen dari total penduduk. Terkait data ini, kita mudah merujuknya pada konsep mimikri, yakni manusia memiliki kecenderungan untuk memilih sesuatu yang sama dengannya.
Kedua, alasan para kandidat didominasi oleh kepala daerah dari Pulau Jawa adalah garis start yang tidak sama. Dengan fakta kegiatan ekonomi dan industri masih berpusat di Pulau Jawa, kepala daerah dari Pulau Jawa mestilah memiliki keunggulan terkait jumlah anggaran yang dimiliki. Ini jelas berimbas pada jumlah dan terobosan program, sehingga peluang untuk tampil menonjol menjadi lebih besar.
Ketiga, mengutip Ross Tapsell dalam bukunya Media Power in Indonesia, berkumpulnya hampir semua pusat kantor media di Jakarta, telah membuat isu-isu regional Jakarta, seolah menjadi isu nasional. Ini membuat kepala daerah yang berada dan bersinggungan dengan ibu kota mendapat atensi media yang lebih besar daripada luar Jakarta, khususnya luar Pulau Jawa.
Keempat, melihat datanya, mayoritas pemimpin partai politik merupakan orang Jawa. Sedikit tidaknya, ini membuat cara penentuan kandidat merujuk pada kacamata Jawa. Seperti pernyataan Aris Huang dalam tulisannya Jokowi-Prabowo political reconciliation as Javanese strategy, dominasi Jawa di Indonesia telah membentuk lanskap politik di Tanah Air.
Keempat faktor ini kemudian menjadi pertimbangan yang berkonsekuensi pada dominannya para kandidat berasal dari Pulau Jawa. Dengan kata lain, ramalan Jayabaya bukanlah preseden atas presiden dari Jawa, melainkan sebagai selubung narasi atas fakta dan variabel yang menunjukkan kandidat memang idealnya dari Pulau Jawa.
Jika ingin keluar dari dominasi presiden Jawa, solusinya adalah membangun Jakarta-Jakarta baru di luar Jawa. Gap pembangunan dan ekonomi harus ditekan agar kepala daerah dari luar Pulau Jawa memiliki kesempatan untuk memulai dari garis start yang sama. (R53)