Site icon PinterPolitik.com

‘Rajawali Ngepret’ Cawapres Jokowi?

‘Rajawali Ngepret’ Cawapres Jokowi?

Dengan pengalamannya sebagai menteri di bidang ekonomi, Rizal Ramli sangat mungkin membantu Jokowi memperbaiki sektor ekonomi Indonesia. (Foto: istimewa)

Nama Rizal Ramli muncul di urutan 3 dalam daftar calon potensial yang berpeluang mendampingi Jokowi di 2019 nanti berdasarkan hasil survei Kedai Kopi. Pasangan yang cocok?


PinterPolitik.com

“Everything is possible, from angels to demons to economists and politicians.” – Paulo Coelho, novelis

[dropcap]B[/dropcap]ukan tanpa alasan Rizal Ramli dikenal dengan julukan ‘Rajawali Ngepret’. Dalam hal kepentingan bangsa dan negara, ia memang dikenal sebagai sosok yang akan selalu mengkritik pihak-pihak yang tidak memperjuangkan kepentingan masyarakat banyak, tak peduli siapa pun itu.

Kini, namanya munculnya dalam hasil survei Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia (Kedai Kopi) sebagai salah satu calon wakil presiden (cawapres) paling potensial untuk mendampingi Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Pilpres 2019. Rizal berada di urutan ketiga, di belakang Jenderal Gatot Nurmantyo dan Kapolri Tito Karnavian.

Sebelumnya, nama Rizal Ramli memang sempat pula muncul ke permukaan di pertengahan tahun 2017. Dalam sebuah tulisan di sebuah portal berita daring, Sekretaris Jenderal Seknas Jokowi, Osmar Tandjung menyebut Rizal Ramli sebagai sosok cawapres alternatif yang layak untuk diduetkan dengan Jokowi.

Osmar melihat saat ini kekuasaan di sektor ekonomi dikuasai oleh ekonom-ekonom beraliran neoliberal – paham yang kontras dengan pemikiran Rizal Ramli. Hal ini menyebabkan program-program ekonomi belum mampu menyejahterakan masyarakat secara keseluruhan.

Selain itu, sektor ekonomi inilah yang menjadi salah satu titik lemah Jokowi. Dengan memilih ekonom yang tepat sebagai pendamping, maka Jokowi bisa mengupayakan pembangunan ekonomi yang lebih baik di kemudian hari.

Lalu, apakah Rizal Ramli adalah sosok yang layak untuk itu? Bukan rahasia lagi jika mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ini dikenal sebagai sosok yang cenderung kontroversial. Apakah dengan segala macam kontroversinya tersebut Rizal adalah pilihan yang positif untuk Jokowi?

The Power of Rajawali Ngepret

Harus diakui, Rizal Ramli adalah satu ahli ekonomi top yang dimiliki Indonesia. Ia ada di barisan teratas dalam daftar ekonom paling berpengaruh di Indonesia, setidaknya dalam 20 tahun terakhir, bersama dengan Boediono, Emil Salim, atau Kwik Kian Gie.

Namun, secara politik, ia mungkin melampaui semua ekonom itu. Rizal punya pendekatan politik yang berbeda, apalagi ia juga terkenal ceplas ceplos ketika mengemukakan sesuatu dan seolah tanpa takut. Terkait sikapnya ini, Rizal menyebut dirinya sebagai ‘fighter’.

Oleh karena itu, dengan segudang pengalaman dan prestasi yang dimilikinya, posisi cawapres Jokowi bukanlah hal yang berlebihan bagi seorang Rizal Ramli. Apalagi, ia juga punya andil dalam program perbaikan ekonomi nasional pasca krisis 1998, terutama di era pemerintahan Presiden Gus Dur.

Rizal pernah menjadi Menteri Keuangan, komisaris di beberapa BUMN, serta tentu saja yang terbaru, menjadi Menteri Koordinator (Menko) Bidang Kemaritiman di era Jokowi. Artinya, secara kapabilitas, sulit untuk mengabaikan seorang Rizal Ramli.

Lalu, bagaimana secara politik?

Sikap ceplas-ceplos yang dimilikinya membuat Rizal cukup disegani. Hal ini salah satunya tampak ketika ia menjabat sebagai Menko Kemaritiman. Rizal secara berani mengkritik oligarki politik macam Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK).

Tentu banyak yang masih mengingat ketika usulan Rizal tentang pembatalan pembelian pesawat baru untuk maskapai plat merah Garuda Indonesia mendatangkan keributan. Atau ketika ia secara keras mengkritik program ambisius 35 ribu MW yang disinyalir sarat kepentingan Wapres JK. Bahkan, JK sempat marah besar terkait kritikan Rizal Ramli ini.

Setelah lepas dari jabatan menteri pun Rizal tetap konsisten dengan kritikannya. Hingga kini  ia masih sering keras terhadap menteri-menteri ekonomi Jokowi. Salah satunya adalah terkait postur utang yang menyedot anggaran dari APBN.

Bahkan, kritik Rizal Ramli terbilang sangat keras, terutama ketika ia menyebutkan istilah ‘menteri penjilat’, ‘menteri penggembos elektabilitas’, dan lain sebagainya. Terlihat bahwa Rizal Ramli seolah ‘memusuhi’ Menteri Keuangan Sri Mulyani yang disebutnya neolib.

Melihat semua kritikan tersebut, sulit membayangkan jika Jokowi pada akhirnya memilih Rizal Ramli sebagai cawapresnya. Bukan begitu?

Tunggu dulu.

Emirza Adi Syailendra dari Rajaratnam School of International Studies (RSIS) menyebut justru Jokowi-lah yang menarik Rizal Ramli ke dalam kabinetnya. Ia menyebut di tengah persinggungan antara oligarki politik di kabinet Jokowi, Rizal Ramli diberikan kursi sebagai Menko Kemaritiman sebagai ‘perimbangan kekuasaan’.

Jika demikian, sosok Rizal Ramli yang ceplas-ceplos tentu menjadi senjata sangat ampuh untuk tujuan ini. Memang dari luar terlihat bahwa kabinet Jokowi justru menjadi sangat gaduh. Namun, jika apa yang ditulis Emirza ini benar, maka bisa jadi Rizal Ramli menjadi ‘alat’ Jokowi untuk tetap menyeimbangkan kekuasaan di antara para oligarki politik koalisi pemerintahan.

Apalagi, saat ini kondisi pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak beranjak jauh dari 5 persen dan merupakan salah satu kelemahan pemerintahan Jokowi. Jika menjadi wakil presiden, Rizal dipercaya akan mampu membantu Jokowi dalam hal peningkatan ekonomi dan pemerataan kesejahteraan.

Jejak Rizal yang selalu penuh kritik ini memang menjadi kekuatan tersendiri untuknya. Jangankan terhadap politisi, Rizal juga cukup keras mengkritik semua yang menurutnya tidak sesuai dengan garis pemikirannya, termasuk para konglomerat dan pebisnis besar.

Namun, apakah itu cukup? Jika menilik elektabilitas Jokowi yang hampir pasti akan menang dengan siapa pun wakilnya, maka Rizal Ramli tentu saja punya peluang untuk menjadi pendamping Jokowi.

Selain itu, Rizal Ramli juga cukup netral dan punya perimbangan pandangan terhadap siapa pun. Hal ini misalnya terlihat ketika ia di satu sisi memuji PKS sebagai partai besar, namun di sisi lain tetap mengkritik aliran ekonomi partai ini yang disebutnya justru cenderung neoliberalis.

Memilih cawapres dari kelompok ekonom adalah pertaruhan yang besar jika melihat kuatnya sentimen agama dan berkuasanya kelompok militer. Apakah Jokowi berani? (Foto: istimewa)

Persoalannya adalah apakah ia bisa cocok dengan Jokowi? Jika menilik kiprah Jokowi dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) – tokoh yang juga ceplas ceplos tanpa takut – sangat mungkin duet Jokowi-Rizal Ramli bisa terjadi.

Namun, persoalannya adalah elektabilitas saja tidak cukup. Rizal Ramli harus punya posisi tawar yang mumpuni agar mampu bukan hanya sejalan dengan Jokowi saja, tetapi juga dengan partai-partai pendukung.

Elegi Cawapres Jokowi

Pada akhirnya, menebak-nebak siapa cawapres Jokowi masih akan menjadi bahan pergunjingan yang menarik. Jika Jokowi salah pilih, maka boleh jadi hal ini juga bisa berpengaruh terhadap Jokowi sendiri. Sosok Rizal Ramli tentu ada positif, tetapi ada negatifnya juga, dan Jokowi harus memperhitungkan semua variabel yang ada.

Sedikitnya ada 3 variabel isu utama yang bisa dijadikan pertimbangan Jokowi untuk memilih cawapres di 2019 nanti, yakni militer, agama, dan ekonomi. Dengan potensi menguatnya sentimen agama di 2018 dan 2019, sangat mungkin pilihan cawapres dari golongan ekonom adalah pilihan yang sangat sulit dibuat.

Jokowi tentu saja harus berhitung secara politik karena bagaimana pun juga, calon wakilnya tetap akan ikut menentukan jalan politiknya di 2019. Jika mengabaikan isu agama, boleh jadi mimpi periode kedua akan berakhir. Hal yang sama juga terjadi pada sosok dari militer karena bagaimana pun militer masih memegang kendali politik di negara ini.

Oleh karena itu, butuh lebih dari sekedar keberanian untuk memilih seorang ekonom seperti Rizal Ramli menjadi cawapres. Jokowi mungkin ingin meniru apa yang dilakukan oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ketika memilih Boediono. Tetapi, apakah ia cukup berani mengambil risiko itu sekarang? (S13)

 

Exit mobile version