Dengarkan artikel ini:
Dibuat dengan menggunakan AI.
Terdapat kesamaan administrasi Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump dengan Presiden Prabowo Subianto, yakni mempercayakan posisi strategis kepada sosok berpangkat mayor. Kiranya, terdapat rahasia tertentu di balik kesamaan itu yang dapat mendukung support dalam dimensi tertentu ke pemerintahan masing-masing. Mengapa demikian?
Percakapan Presiden Prabowo Subianto & Presiden terpilih Amerika Serikat (AS) Donald Trump menguak kesamaan keduanya dalam menunjuk orang kepercayaan masing-masing yang terkait dengan tokoh muda berpangkat mayor.
Ya, saat Presiden Prabowo mempercayakan Teddy Indra Wijaya dan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dalam posisi strategis di Kabinet Merah Putih yang serta merta memantik analisis sosok berlatarbelakang militer berpangkat mayor.
Meski keduanya berbeda secara status aktif dan perjalanan kariernya, pangkat mayor menjadi menarik pasca Trump menunjuk Pete Hegseth, veteran US Army National Guard yang berpangkat serupa.
Selain faktor bernuansa kiprah dan takdir sosial-politik, terdapat faktor yang kiranya memengaruhi Presiden Prabowo dan Trump dalam penunjukkan sosok berpangkat mayor sebagai orang kepercayaan di kabinet masing-masing.
Aspek Kultur & Histori Politik?
Terkait dengan latar belakang pendidikan dan pengalaman kemiliteran, meskipun Teddy dan AHY hanya berpangkat mayor, keduanya dapat dianggap memiliki bekal yang cukup untuk memimpin jabatan politik di pemerintahan pertamanya. Terlepas dari AHY yang telah debut sebagai menteri di kabinet Jokowi-Ma’ruf sebelumnya.
Ketika mendapat “kritik” terkait pangkatnya, sampel dari AS bisa menjadi referensi dan gambaran untuk membuka kultur baru dalam penunjukkan sosok di politik-pemerintahan di Indonesia.
Sepajang sejarahnya,, AS pernah memiliki Menhan dengan latar belakang militer yang tidak sampai mencapai pangkat jenderal atau dengan kata lain bukan sosok yang secara kasat mata dianggap memiliki pengalaman lebih atau berpredikat “senior”.
Misalnya, Mark Esper yang terakhir berpangkat letnan kolonel namun menjabat sebagai Menhan di era Presiden Donald Trump. Selain itu, ada juga Donald Rumsfeld, Menhan di era George W. Bush, yang hanya berpangkat kapten, dan Charles Timothy “Chuck” Hagel, yang bertitel sersan namun menjabat sebagai Menhan dalam pemerintahan Barack Obama.
Sebelumnya, kultur politik-pemerintahan Indonesia masih belum terbiasa dengan praktik semacam itu. Di Indonesia, senioritas dan reputasi tampaknya tetap diutamakan, mengingat dalam sejarahnya belum ada pejabat muda atau nonjenderal yang memiliki tugas mengkoordinasikan pemerintahan setara pangkat “bintang empat”.
Selain itu, seorang menteri juga sering kali dilihat sebagai sosok yang terpengaruh oleh tarik-menarik kepentingan pihak ketiga, yang dapat mengintervensi perumusan kebijakan politik-pemerintahan dan dinamikanya.
Terobosan Apik?
Meskipun terdapat jurang pemisah yang jelas antara dunia fiksi, seperti Star Wars, misalnya, dan realita politik, kesamaan penujukkan sosok mayor dan “muda” oleh Presiden Prabowo dan Trump, pemanfaatan krisis untuk meraih keuntungan politik tetap relevan.
Dalam konteks Indonesia, krisis yang dimaksud adalah akselerasi yang mungkin dianggap stagnan dalam politik-pemerintahan oleh “golongan tua”.
Begitu pula dengan Trump dengan insiden penembakan beberapa waktu lalu yang dianggap akan memantik evaluasi besar dalam diskursus pertahanan dan keamanan, baik domestik maupun eksternal yang berpengaruh terhadap dinamika politik domestik AS.
Di dunia politik, setiap “insiden”—baik besar maupun kecil—selalu membawa dampak politik yang mendalam.
Pemimpin yang cerdik secara instingtif akan memanfaatkan momen krisis untuk memperkuat posisi dan pengaruhnya, apapun latar belakang insiden tersebut—apakah itu sebuah rekayasa politik atau sekadar kebetulan.
Perbandingan Trump dan Prabowo dalam penunjukkan sosok kepercayaan di kabinet dengan kebangkitan Kaisar Palpatine dalam Star Wars mengungkapkan bagaimana “krisis” dapat dipelintir untuk memperluas kekuasaan.
Kejadian-kejadian ini mengajarkan kita bahwa dalam politik, tidak ada yang kebetulan, dan krisis sering kali dipandang sebagai peluang strategis.
Sintesis tersebut tentu menjadi salah satu alternatif dalam melihat komparasi Prabowo dan Trump selain faktor kedekatan, daya tawar politik, dan bagaimana mengonsolidasikan politik-pemerintahan.
Akan tetapi, kembali, penjelasan di atas adalah interpretasi semata yang bisa saja relevan atau sebaliknya dalam memahami kesamaan administrasi Trump dan Prabowo. Tinggal kini, bagaimana dinamika ke depan akan benar-benar mengakselerasi pemerintahan ke depan. (J61)