Seolah bagai pahlawan yang melindungi UMKM dan pedagang offline, TikTok Shop resmi dilarang pemerintah melalui revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) teranyar. Namun, masalah utama yang telah menjadi rahasia umum seolah tak dihiraukan. Mengapa demikian?
PinterPolitik.com X socioloop.co
Jika memang ingin menjadi pahlawan dan memperjuangkan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dan produk dalam negeri, kebijakan melarang TikTok Shop melalui Permendag 31 Tahun 2023 agaknya jauh dari kata cukup.
Ya, setelah viral pedagang di Pasar Tanah Abang Jakarta yang sepi pembeli dan beriringan dengan fenomena maraknya penjualan live plus transaksi melalui TikTok Shop, pemerintah silih berganti bersuara seolah ingin memasang badan bagi para pelaku bisnis dan UMKM tanah air.
Tercatat, Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Menkop UKM) Teten Masduki hingga Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan atau Zulhas turut menyoroti benturan persaingan bisnis tersebut.
Tak terkecuali Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang turut prihatin atas penjual e-commerce yang memasang harga jauh lebih rendah di platform media sosial dan mengancam pasar offline dan UMKM di Indonesia.
Akhirnya, solusi yang ditawarkan, kembali, adalah revisi Permendag 50 Tahun 2020 menjadi Permendag 31 Tahun 2023 yang mengatur larangan media sosial berperan ganda sebagai e-commerce.
Meski keberatan dan disebut akan merugikan jutaan pedagang Indonesia di TikTok Shop, perwakilan TikTok Indonesia tetap menghormati peraturan yang telah ditetapkan pemerintah.
Di Indonesia sendiri terdapat 64,2 juta UMKM yang memiliki persentase kontribusi sekitar 61 persen bagi produk domestik bruto (PDB).
Proyeksi minor andai TikTok Shop terus beroperasi, maka platform asal Tiongkok itu bisa memonopoli pasar karena pembelian secara live maupun online dapat dipengaruhi oleh percakapan di media sosial.
Fenomena TikTok Shop sendiri tampak semakin membuat rumit pengaturan ruang bisnis bagi kepentingan UMKM Indonesia.
Sejatinya, konsep TikTok Shop sendiri merupakan bagian dari inovasi bisnis yang tak bisa dibendung.
Akan tetapi, regulasi yang sejak awal terlihat kurang berpihak pada UMKM dan terkesan setengah-setengah dalam memperbaikinya, membuat sejumlah pelaku usaha dalam negeri dengan level yang sangat beragam kiranya tetap tak berubah.
Di balik keputusan pelarangan TikTok Shop yang seakan menjadi senjata pamungkas pemerintah, misalnya, masih terdapat persoalan dan celah besar lain yang seakan tak dihiraukan dan tetap mengancam UMKM. Mengapa bisa dikatakan begitu?
Butuh Sosok “Jahat”?
Sebelum menjawab persoalan dan celah besar lain yang mengancam UMKM dalam negeri, respons pemerintah atas fenomena TikTok Shop agaknya tepat untuk menjadi batu pijakan analisis pertama.
Di permukaan, keputusan cepat pemerintah dengan melakukan pelarangan bagi media sosial untuk berperan ganda sebagai e-commerce tampak cukup heroik dan menjawab secara instan.
Akan tetapi, respons itu agaknya tak menjawab secara komprehensif atau bahkan tak menjawab sama sekali persoalan fundamental tersudutnya sejumlah pelaku usaha dan UMKM di negeri sendiri.
Sejak interpretasi terhadap hal tersebut hanya sebatas respons yang tak substansial, Permendag 31 Tahun 2023 yang menjadi senjata untuk melumpuhkan TikTok Shop kiranya hanya bagian dari framing pembingkaian persoalan belaka.
Dalam komunikasi politik dan pemerintahan, framing cukup vital dalam membentuk persepsi publik. Framing memanfaatkan arus sosial yang ada saat masyarakat memiliki persepsi kolektif terhadap sebuah permasalahan.
Namun, dalam banyak kasus, persepsi kolektif tidak mengemuka secara menyeluruh dan komprehensif. Hanya terdapat satu atau maksimal dua diskursus persepsi yang menjadi pusat perhatian saat suatu permasalahan muncul.
Akibatnya, jawaban atas permasalahan itu kerap dihadirkan parsial, tak substansial, serta tak komprehensif dalam sebuah komunikasi politik. Utamanya yang dilakukan pemerintah dalam case TikTok Shop vs UMKM dan pengusaha dengan platform offline.
Framing dalam komunikasi politik pun kerap memunculkan peran hero atau pahlawan dan villain atau penjahat. Dalam konteks ini, pemerintah melalui Kemendag sebagai hero dan TikTok yang seolah dianggap villain.
Terlebih jelang tahun politik di 2024 saat setiap aktor yang ada di dalamnya tentu tak ingin mendapatkan impresi negatif sekecil apapun.
Padahal, villain atau ancaman terbesar bagi para UMKM dan pelaku usaha offline bukanlah TikTok Shop, melainkan variabel-variabel saling terkait yang untuk mengatasinya dibutuhkan nyali politik tersendiri.
Impor Harusnya Sangat Dibatasi?
Di titik di mana terdapat satu arus sosial, setiap masyarakat mempunyai arus baliknya masing-masing atas persepsi kolektif luas yang telah dianut sebelumnya. Ihwal yang kerap disebut sebagai telaah kritis sebagai upaya membongkar framing dalam komunikasi politik.
Saat praktik dalam TikTok Shop dilarang, terdapat arus balik persepsi yang muncul. Hal itu berupa nada satir, kritik, serta saran bagi pemerintah untuk menjawab secara tuntas dengan kebijakan konkret atas permasalahan seperti “tsunami” impor produk murah dari luar negeri, khususnya Tiongkok, yang tak mampu dibendung oleh UMKM dalam negeri.
Memang, sebagian besar dari pembaca interpretasi ini tentu pernah membeli produk impor tersebut karena ketersediaan, akses belanja yang mudah, dan harganya yang terjangkau jika dibandingkan produk buatan Indonesia.
Akan tetapi, jika tujuan bersama bangsa adalah kejayaan produk dalam negeri di negeri sendiri, kebijakan impor berbagai produk dari luar negeri sebaiknya ditinjau kembali, dikalkulasi ulang untuk kemudian diperbaiki agar UMKM tetap berada di ruang utama pasar.
Sebenarnya, Menkop UKM Teten Masduki telah menyadari hal itu. Menurut catatan Teten, perdagangan online di Indonesia 56 persen revenue-nya dinikmati asing karena produk yang dijual 90 persen merupakan hasil impor.
Jika terus dibiarkan, Teten pun memiliki analisis risiko bahwa dampak berantai aspek ekonomi dan sosialnya akan sangat besar, yakni produksi dalam negeri bisa lumpuh, berimbas pada pengangguran yang meningkat, dan daya beli masyarakat menurun.
Selain faktor utama derasnya “tsunami” impor, faktor lain menurunnya gairah produk dalam negeri dipengaruhi oleh permintaan produk lintas daerah yang lesu, serta literasi dan skill digital yang masih menjadi kendala bagi berkembangnya UMKM.
Faktor atau variabel yang saling memengaruhi itu wajib dibenahi, terutama jika ada individu maupun kelompok yang mendapatkan keuntungan pribadi di balik stagnasi UMKM dalam negeri dan derasnya arus impor produk asing.
Selain itu, kebijakan maupun regulasi tak substansial dan komprehensif, maupun respons berupa spill data atas realita saja masih jauh dari kata cukup untuk menghilangkan ancaman bagi para UMKM dan pelaku usaha offline di Indonesia.
Bagaimanapun, meski ironis jika diselami lebih dalam, jelang tahun politik, para aktor yang akan berkontestasi seharusnya berlomba-lomba menelurkan gebrakan kebijakan maupun aksi nyata yang pro kepada rakyatnya sendiri. Bukan bermain kebijakan di belakang topeng kepahlawanan, namun tak berani menjawab permasalahan yang tak berkesudahan. (J61)