Dengarkan artikel ini:
Audio ini dibuat menggunakan AI.
Di tengah kompetisi untuk tetap eksis di blantika politik Indonesia, Zulkifli Hasan dan Muhaimin Iskandar tampak begitu kuat bersama PAN dan PKB. Kelihaian masing-masing untuk tetap eksis dan bahkan turut menjadi aktor berpengaruh tampak ditopang oleh rahasia tersendiri. Benarkah demikian?
Hanya Muhaimin Iskandar (Cak Imin) dan Zulkifli Hasan (Zulhas) yang tampak cukup lihai menempatkan partainya masing-masing, PAN serta PKB, untuk tetap memiliki daya tawar dan berada di lingkar kekuasaan.
Bahkan, keduanya mendapat posisi Menteri Koordinator (Menko) dan jatah total empat menteri dan wakil menteri di Kabinet Merah Putih Prabowo-Gibran.
Menariknya, hal itu terjadi di tengah kritik karena kontroversi masing-masing. Zulhas dengan kebijakan hingga perilaku politik personal serta “flexing” keluarganya, sementara Cak Imin dengan inkonsistensi politik hingga intriknya dengan beberapa elite Nahdlatul Ulama (NU) dan trah Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
Sebagai ekstensi dari ceruk suara Muhammadiyah dan NU, PAN dan PKB – di luar PKS yang memiliki ceruk suara tersendiri – juga berhasil menjadi parpol dengan hakikatnya berakar Islam yang bertahan di DPR. Mengalahkan persaingan dengan PPP yang harus “terdegradasi”.
Cak Imin dan Zulhas pun di ambang menorehkan sejarah sebagai ketum terlama yang menjabat di partai masing-masing.
Ihwal tersebut kemudian memantik pertanyaan, yakni mengapa Cak Imin dan Zulhas memiliki daya tawar politik yang begitu kuat?
Imin The Phoenix?
Terdapat satu perspektif menarik untuk melakukan interpretasi atas eksistensi, kekuatan, dan kelihaian Cak Imin dan Zulhas di blantika politik Tanah Air, yakni gagasan filsuf Yunani Kuno, Aristoteles, yang paling dikenal luas: manusia pada hakikatnya adalah political animal atau makhluk politik atau “hewan” politik.
Menganalogikan para aktor politik dengan makhluk lainnya, terutama dalam mitologi tertentu, kiranya dapat menggambarkan spirit animal dari masing-masing makhluk politik untuk menjelaskan karakter dan kekuatannya.
Sebelum Aristoteles, Plato menggunakan istilah political animal dalam Phaedo. Baru, pada bab kedua dari buku Πολιτικά atau Politiká karya Aristoteles ditemukan versi gagasan political animal yang terperinci.
Berkat meningkatnya minat kontemporer terhadap karya-karya “zoologi” Aristoteles, kini menjadi pengetahuan umum di antara para peneliti karya sang filsuf bahwa menjadi politis bukanlah hak istimewa manusia.
Dengan kata lain, manusia dikatakan bukanlah satu-satunya “hewan politis”, tetapi mereka lebih politis daripada hewan politis lainnya.
Para cendekiawan yang menelaah Politiká karya Aristoteles sampai pada konklusi bahwa manusia harus terlibat dalam bentuk-bentuk organisasi sosial dan politik yang kooperatif untuk memenuhi sifat mereka, dan bentuk-bentuk kerja sama ini memerlukan konsepsi tertentu yang inheren atau khas dari tiap-tiap individu.
Dari beberapa makhluk mitologi yang memiliki karakter khas, Phoenix atau burung Fenix kiranya tepat untuk menggambarkan seorang Cak Imin.
Phoenix melambangkan regenerasi, kelahiran kembali, dan ketahanan. Layaknya burung phoenix yang bisa bangkit dari abunya, Cak Imin tampak telah menemukan jati dirinya kembali setelah sempat mengalami kemunduran politik (Pilpres 2024), dan sering kali muncul lebih kuat.
Hal itu mencakup dalam menghadapi ketegangan internal partai maupun tekanan eksternal. Cak Imin kiranya telah menunjukkan kemampuan untuk mengubah citra dan memposisikan ulang PKB sebagai kekuatan yang signifikan dan memiliki daya tawar tak main-main sebagai partai The Big Five Pileg 2024.
Dalam siklus adaptif dalam ekologi politik, para pemimpin phoenix seperti Muhaimin mewujudkan model ini, sebagaimana turut disiratkan Niccolò Machiavelli dalam The Prince tentang kecerdikan dan kemampuan beradaptasi.
Pendekatan Cak Imin juga cenderung tampak lebih condong pada kelincahan dan kecerdasan, terutama dalam cara ia menavigasi sistem multikoalisi dan multipartai di Indonesia.
Dengan memahami dan memanfaatkan lanskap politik, Cak Imin telah memposisikan dirinya secara strategis, berpihak pada berbagai koalisi sambil mempertahankan identitas dan relevansi partainya sendiri untuk kembali ke lingkaran kekuasaan.
Hal itu teraktualisasi dari bagaiman Cak Imin mengimplementasikan relasi patron-klien di PKB, mengelola faksi-faksi yang ada sebagai kekuatan, memaksimalkan NU kultural, serta terus melakukan ekspansi pluralitas ke ceruk suara “unik” dan merangkul minoritas seperti di NTT, misalnya.
Lalu, bagaimana dengan Zulhas?
Zulhas The Griffin?
Di antara beberapa makhluk mitologi, Griffin kiranya relevan untuk menggambarkan karakter politik Zulhas.
Griffin adalah makhluk mitologi berbadan singa dan bersayap elang, melambangkan sifat ganda — kekuatan yang dipadukan dengan mata yang waspada dan tajam dalam melihat situasi.
Selama ini, kecenderungan Zulhas dalam politik adalah mengamati, menunggu, dan “menyerang” pada saat yang tepat. Pendekatannya yang hati-hati, terutama dalam iklim politik yang sering kali tidak stabil, menunjukkan strategi untuk menghindari keputusan yang tergesa-gesa dan berfokus pada keuntungan jangka panjang.
Pendekatan Zulkifli dalam politik agaknya memadukan sikap yang begitu memprioritaskan partainya dan posisi dengan visi strategis yang lebih luas, terlibat saat diperlukan tetapi “mundur” saat situasi membutuhkan kebijaksanaan.
Pada praktiknya, hal itu selaras dengan bagaimana Zulhas bermanuver selama mengampu jabatan politik, termasuk sebagai Ketum PAN.
Selain dari logistik yang memang mumpuni mengingat dirinya merupakan pengusaha, kekuatan Zulhas juga ditopang oleh konsolidasi internal yang apik, terutama melalui sosok seperti Hatta Rajasa, Sutrisno Bachir, Drajad Wibowo, hingga Bara Hasibuan.
Secara eksternal pun, PAN dapat dikatakan sangat loyal kepada Prabowo Subianto. Di tiga edisi pemilihan presiden terakhir, PAN selalu berada di koalisi parpol pengusung Prabowo, dua di antaranya saat Zulhas menjadi ketum.
Kendati demikian, dua kali pula Zulhas membawa PAN merapat ke pemenang Pilpres, yakni edisi 2014 dan 2019, dan tetap menjaga hubungan positif dengan Prabowo.
Terakhir, Zulhas juga konsisten dengan ideologi “tengah” dengan moderasi paradigma partai untuk terus fleksibel dan beradaptasi dengan tren politik dan relevansi ceruk suara, terutama dalam konteks menggalang artis menjadi kader sekaligus salah satu elemen kekuatan politik utama.
Namun, penjabaran di atas merupakan interpretasi yang mungkin memiliki derajat relevansi berbeda dalam dimensi yang berbeda pula. Yang jelas, Zulhas dan Cak Imin seolah menjadi anomali karena tetap menjadi aktor politik berpengaruh yang kuat meski diterpa berbagai kritik dan sentimen publik. (J61)