Ketiga calon wakil presiden (cawapres) 2024 baik Muhaimin Iskandar, Gibran Rakabuming Raka, dan Mahfud MD kiranya cukup “hafal” dengan data yang mereka sampaikan dalam debat semalam. Namun, ketiganya yang kerap dinilai tak menjawab pertanyaan kiranya merupakan taktik tersendiri yang bahkan bisa berdampak bagi perjalanan politik mereka ke depannya.
Debat cawapres 2024 semalam bukan tidak mungkin akan sangat berpengaruh bagi karier politik masing-masing kandidat ke depannya, baik Muhaimin Iskandar, Gibran Rakabuming Raka, dan Mahfud MD.
Sebagai informasi kembali, tema debat tadi malam adalah ekonomi kerakyatan dan ekonomi digital, keuangan, pajak dan tata kelola APBN-APBD, investasi, perdagangan, infrastruktur, dan perkotaan.
Gibran Rakabuming Raka yang dielu-elukan, khususnya di media sosial, memang tampil cukup apik. Sementara itu, Muhaimin Iskandar atau Cak Imin dan Mahfud MD pun awalnya tampil cukup meyakinkan dengan data yang mereka sajikan sebagai pembuka.
Di awal, Cak Imin menyampaikan data – salah satunya – mengenai angka pengangguran yang mencapai delapan juta orang dan 80 juta bekerja secara informal.
Mengutip rilis data Badan Pusat Statistik (BPS) pada November 2023, angka pengangguran memang nyaris seperti apa yang disampaikan Imin, yakni 7,86 juta orang dan 82,67 orang bekerja secara informal.
Sementara itu, Gibran sempat menyajikan data mengenai keberadaan 64 juta UMKM dengan kontribusi 61 persen terhadap PDB nasional, sebuah data yang persis demikian berdasarkan Outlook 2023 KemenKopUKM.
Di sudut lain, Mahfud MD menyebut data pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tak pernah menyentuh angka 7 persen dalam sejarah Reformasi yang mana hal ini juga tepat dengan mengacu data dari Kementerian Keuangan.
Walaupun mungkin saja merupakan “hafalan” dan terdapat variabel lain secara substansial, data menjadi penting dikarenakan data-driven policy making atau pembuatan kebijakan berdasarkan data merupakan hal esensial dalam berbagai aspek pemerintahan.
Akan tetapi, satu hal lain saat menginterpretasi komunikasi politik para cawapres ialah momen pengalihan jawaban atau tak menjawab secara tepat pertanyaan dalam debat, yang menariknya, dituding masing-masing calon kepada calon lainnya.
Mengenai infrastruktur sosial, misalnya, Mahfud sempat menuding Gibran tak menjawab pertanyaan panelis karena justru hanya menjawab apa yang telah dilakukan di Solo.
Cak Imin pun kerap fokus pada gimik slepet dan jawabannya beberapa kali melebar dari apa yang ditanyakan panelis maupun oleh Gibran dan Mahfud.
Hal itu bermuara pada konteks yang kerap sedikit tak terarah dan menjadi variabel determinan dalam impresi penguasaan panggung debat kandidat yang lebih cerdik memanfaatkan situasi.
Impresi itu menjadi penting untuk dianalisis karenakan bukan tidak mungkin akan benar-benar membentuk arah kebijakan negara ke depan jika kandidat menang nantinya.
Secara politik, impresi itu juga agaknya akan menentukan nasib dan karier politik masing-masing di masa mendatang. Mengapa demikian?
Taktik Cerdik Debat
Selain bisa dikarenakan adrenalin politik di panggung debat yang sedikit memengaruhi, para kandidat yang menjawab tidak secara kontekstual dan tak lagi banyak membicarakan data seperti di boleh jadi merupakan strategi tertentu.
Dalam hal ini, pengalihan dalam dimensi spesifik yang disebut red herring mungkin saja diaktualisasikan para cawapres secara terencana.
Aristoteles dalam bukunya yang berjudul Sophistical Refutation menyebutkan ignoratio elenchi yang merupakan satu dari sejumlah fallacy yang bisa menjadi strategi komunikasi tersendiri dalam politik.
Ignoratio elenchi sendiri digunakan untuk menjelaskan argumen dalam sebuah perdebatan yang tidak membuktikan argumen sebelumnya. Proposisi baru yang kurang atau tidak relevan kemudian justru dimunculkan.
Menurut Christopher W. Tindale dari University of Windsor dalam bukunya yang berjudul Fallacies and Argument Appraisal, ignoratio elenchi sendiri terbagi menjadi sejumlah fallacy yang berbeda berdasarkan karakteristiknya. Salah satunya adalah ikan haring merah (red herring) yang tampak jamak dipraktikkan dalam debat cawapres 2024 semalam.
Red herring merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan upaya pengalihan perhatian pada ikan haring yang telah dibakar (berubah warna menjadi merah) agar pihak yang disasar – anjing atau karnivora lain – tidak lagi fokus mengejar kelinci (hare) yang diinginkan.
Dengan kata lain, red herring lebih menekankan pada adanya penambahan isu baru yang tidak relevan meski masih berada pada topik yang sama.
Praktik red herring yang mungkin “disengaja” cukup menarik saat diaktualisasikan semalam untuk membentuk dinamika debat cawapres beserta impresinya.
Meskipun seolah dilakukan oleh ketiga kandidat, Gibran menjadi sosok yang tampak paling diuntungkan dengan kecenderungan praktik pengalihan tersebut yang membuat dirinya tampak lebih menguasai panggung.
Menariknya, kesan terhadap Gibran kiranya lebih dari cukup untuk menjadikannya aktor politik sangat diperhitungkan ke depannya. Benarkah demikian?
From Zero to Hero?
Gelombang penilaian positif terhadap Gibran memang diikuti sejumlah kritik minor seperti kandidat hasil proses instan maupun berkat pertolongan “paman”.
Akan tetapi, hal itu kiranya tak berpengaruh dalam penilaian di tataran elite politik yang melihat betapa trengginasnya Gibran di debat cawapres semalam. Ihwal krusial yang dapat berkontribusi dalam titian tangga karier politik Gibran ke depan.
Bisa dipastikan, debat cawapres semalam adalah pertama kalinya publik melihat Gibran akhirnya debut berbicara secara terbuka. Selama ini, Gibran dikenal sangat irit berbicara, bahkan ketika membahas atau ditanya awak media mengenai hal-hal yang berpeluang menguntungkannya secara politik.
Sekali lagi, impresi dari debut Gibran di panggung politik level nasional agaknya akan menjadi variabel kunci yang membuat dirinya akan memiliki karier cukup menjanjikan, terlepas dari hasil Pilpres 2024 nanti.
Di titik ini, parpol seperti Partai Golkar, Partai Gerindra, hingga PSI bisa jadi sedang menyiapkan karpet merah bagi Gibran untuk bergabung.
Sementara itu, berbicara karier politik ke depan, Cak Imin yang dikenal cukup pragmatis agaknya tak akan terpengaruh jika kesan debat semalam membuat duetnya dengan Anies Baswedan tak terpilih di 2024.
Di sisi Mahfud MD, kepakarannya boleh jadi tetap akan membuat sosok yang kini menjabat sebagai Menko Polhukam itu dibutuhkan dalam penataan penegakan hukum di tanah air.
Bagaimanapun, satu hal yang lebih besar dan diharapkan dari dampak impresi debat dan karier politik para kandidat adalah bagaimana mereka benar-benar dapat menepati perkataan dan janjinya. (J61)