Dengarkan artikel ini:
Audio ini dibuat menggunakan AI.
Pertemuan “oknum” Nahdliyin dengan Presiden Israel Isaac Herzog mendapat kritik tajam di tanah air, termasuk dari PBNU sendiri. Namun, perdebatan akan esensi penting dibalik peran konkret apa yang harus dilakukan untuk perdamaian di Palestina kembali muncul ke permukaan. Meski kerap dianggap kontroversial, PBNU kiranya memang telah lebih selangkah di depan. Benarkah demikian?
Di tengah kekejaman Israel di Jalur Gaza, Palestina, pertemuan lima oknum Nahdliyin dengan Presiden Israel Isaac Herzog membuat geger dan memantik “amuk digital” seantero negeri. Dikatakan sebagai “oknum”, karena Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pun mengutuk pertemuan itu.
Amuk digital netizen +62 pun direspons cepat oleh PBNU dengan agenda memanggil orang-orang tersebut yang mana di antaranya berstatus sebagai cendekiawan dan pengurus organisasi massa Islam terbesar di Indonesia itu.
Ketua PBNU Savic Ali menyebut pertemuan itu melukai perasaan rakyat Palestina, sekaligus menjadi citra buruk bagi NU di mata internasional.
Sebelumnya, sebuah foto di akun Instagram @zenmaarif yang menarasikan lima orang Nahdliyin bertemu dengan Presiden Israel, Herzog menjadi perdebatan setelah tangkapan layarnya beredar di X.
“Alih-alih demonstrasi di jalanan, saya lebih suka berdiskusi dan mengungkap gagasan. Terkait konflik antara Hamas-Israel, dan relasi Indonesia-Israel. Saya bersama rombongan berdialog langsung dengan Presiden Israel, Isaac Herzog,” begitu keterangan penyerta foto kontroversial tersebut di akun @zenmaarif.
Menariknya, justifikasi salah satu dari lima orang tersebut adalah bagian dari meneladani tokoh NU sekaligus Presiden ke-4 RI, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang di permukaan tampak terbuka dengan Israel untuk mencari solusi efektif bagi penghentian kekerasan dan perdamaian di Palestina.
Di titik ini, kiranya terdapat dua kutub besar yang berbeda dalam memahami dan mengaktualisasikan tindakan konkret untuk menghentikan kekerasan Israel di Palestina.
Sebelum menjadi Ketua Umum (Ketum) PBNU, Yahya Cholil Staquf sendiri sempat bertemu dengan Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu pada tahun 2018.
Kendati telah mengklarifikasi bahwa pertemuan itu adalah undangan dalam rangka konferensi global ihwal perdamaian dunia, tak dapat dipungkiri bahwa positioning NU terhadap isu Israel-Palestina di bawah kepemimpinan Gus Yahya terus “dipantau”.
Saat di permukaan tampak kontroversial dengan momentum yang kerap dinilai sangat tidak tepat, visi NU yang dibentuk Gus Dur terhadap bagaimana mengaktualisasikan peran konkret untuk Palestina kiranya memang telah selangkah di depan. Mengapa demikian?
Hanya Persoalan Momentum?
Di Indonesia, gemuruh tekanan terhadap Israel untuk menghentikan kekejamannya di Jalur Gaza dan Tepi Barat, Palestina, telah eksis sejak pendudukan Israel kian semena-mena.
Kekerasan yang seolah laten dan terus berulang menciptakan dua kutub besar solusi yang bertransformasi menjadi perdebatan, yang sayangnya, tak kalah rumit.
Kutub pertama ialah mereka yang menganggap membuka komunikasi dan hubungan dalam bentuk apapun dengan Israel tak semestinya dilakukan.
Rasionalisasi kontemporer yang mendasarinya adalah ketidakpedulian Israel atas berbagai bentuk peringatan dan tekanan kelompok, negara-negara, hingga entitas multilateral, meski daya tawar mereka di atas kertas cukup besar.
Dalam konteks “oknum” NU dan mengacu pada hal itu, pertanyaan langsung tersorot pada daya tawar apa yang dimiliki ormas Islam tersebut dan pengaruhnya di relasi Israel-Palestina.
Sementara itu, kutub kedua, adalah mereka yang justru menginginkan komunikasi terbuka dan konstruktif harus dibangun dengan Israel jika menghendaki perdamaian. Justifikasi mereka justru berdasarkan kondisi saat ini di mana Israel seolah tidak peduli dengan tekanan.
Dalam dimensi tertentu, “faksi” di kutub kedua pun tak menutup kemungkinan menginginkan normalisasi dan membuka hubungan diplomatik resmi dengan Israel, terlebih bagi mereka yang sebelumnya menganggap itu mustahil terjadi.
Kelemahannya, kutub ini dapat memberikan kesan bahwa terdapat entitas lain, termasuk kelompok Islam, yang berpihak pada Israel meski kekejaman telah atau tengah mereka lakukan terhadap Palestina.
Kembali, persoalan yang muncul kemudian adalah mengenai daya tawar dan tarik menarik kepentingan di era kekinian yang menjadi variabel pembeda dengan keberpihakan dan aksi konkret seperti manuver yang menghasilkan beberapa episode Perang Arab-Israel.
Pada akhirnya, perdebatan tersebut membuat dilema dan ambiguitas positioning negara-negara yang ingin terlibat aktif membawa perdamaian di Palestina.
Terdapat preseden sejarah di mana suatu entitas, kerajaan, atau negara menyaksikan penindasan yang dilakukan oleh entitas lain, namun tidak mampu atau tidak mau melakukan intervensi secara efektif.
Salah satu sampelnya adalah sikap Kekaisaran Romawi selama konflik antara Kekaisaran Seleukia dan Yudea, khususnya selama Maccabean Revolt atau Pemberontakan Makabe.
Rangkaian peristiwa tersebut memiliki dinamika yang sama dengan konflik Israel-Palestina modern, meskipun konteks sejarah, budaya, dan politiknya sangat berbeda.
Republik Romawi memperluas pengaruhnya di Mediterania Timur tetapi memilih untuk tidak melakukan intervensi langsung dalam konflik Seleukia-Judea.
Itu dikarenakan, Roma memiliki perjanjian dan hubungan diplomatik dengan berbagai negara Helenistik dan tidak melihat manfaat langsung dari intervensi di Yudea.
Meskipun melihat penindasan dan konflik yang diakibatkannya, Roma tetap hanya menjadi bystander atau “pengamat” sampai mereka menyesuaikan kepentingan geopolitik mereka untuk terlibat lebih langsung di wilayah tersebut.
Pendekatan Roma dapat dipahami melalui kacamata realpolitik, sebuah teori yang menekankan pertimbangan pragmatis dan strategis dibandingkan pertimbangan moral atau ideologis.
Dalam hal ini Kekaisaran Romawi mempertimbangkan manfaat intervensi dibandingkan potensi kerugian dan kepentingan strategisnya.
Kembali, memberikan sikap keberpihakan secara konkret dengan Israel untuk menjembatani solusi perdamaian bagi Palestina pun tidak serta merta dapat dilakukan begitu saja.
Ambigu Selamanya?
Refleksi atas apa yang diwariskan Gus Dur agaknya memang tidak harus ditafsirkan secara harfiah.
Saat menjabat, Presiden Gus Dur yang didukung Menteri Luar Negeri Alwi Shihab dinilai menjadi sosok yang menjalankan politik luar negeri bebas aktif Indonesia secara jelas dan tidak ambigu.
Keduanya berangkat dari gagasan sederhana yakni Indonesia mustahil bisa berperan dalam perdamaian Palestina dan Israel jika tidak menjalin hubungan diplomatik dengan kedua negara.
Sebelumnya, pada tahun 1994, Gus Dur pernah diundang secara langsung oleh Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin untuk menyaksikan penandatanganan perjanjian damai antara Israel dan Yordania.
Akan tetapi konteks historis kala itu perlu dipahami lebih mendalam oleh segenap pihak, tidak hanya oleh Nahdliyin. Ihwal yang ditekankan oleh Wakil Ketua Badan Pengembangan Jaringan Internasional Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (BPJI PBNU), Achmad Munjid.
Ditekankan bahwa pendekatan Gus Dur terhadap Israel memiliki misi, peta, dan strategi yang jelas. Hal itu diiringi dengan indikator kemaslahatan bersama, kepentingan bangsa, kemanusiaan, serta kepekaan.
Prinsip-prinsip seperti perdamaian, keadilan, dan kesetaraan kemanusiaan adalah landasan utama Gus Dur.
Tidak tepatnya langkah yang diambil meski niat mendasarnya adalah meneladani esensi progresivitas Gus Dur, bukan tidak mungkin justru akan dimanfaatkan Israel untuk melakukan framing kepentingannya yang diiringi dengan kekerasan untuk mencaplok tanah Palestina.
Persoalan Israel-Palestina pun tak sederhana. Internal Palestina sendiri dengan politik dan pemerintahannya, belum sepenuhnya solid untuk bersatu memperjuangkan nilai yang sama. Terlepas dari dugaan taktik Israel memecah belah mereka.
Di ranah eksternal, ambiguitas terhadap isu Israel-Palestina kiranya akan tetap demikian adanya jika para pemimpin negara yang peduli akan kemanusiaan tidak melakukan aksi konkret apapun yang mana pasti akan mengorbankan sesuatu. (J61)