HomeHeadlineRahasia Besar Jatah Tambang NU-Muhammadiyah?

Rahasia Besar Jatah Tambang NU-Muhammadiyah?

Dengarkan artikel ini:

Audio ini dibuat menggunakan AI.

Konsesi pengelolaan lahan tambang yang diberikan kepada organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan mendapat kritik tajam karena dinilai memiliki tendensi beraroma politis. Terlebih yang mengarah pada Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Namun, terdapat satu interpretasi lain yang kiranya menjadi justifikasi konstruktif di balik alokasi aspek sosioekonomi itu.


PinterPolitik.com

Kontroversi kembali mengiringi kebijakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) jelang akhir masa jabatannya. Ihwal tersebut tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 yang ditandatangani oleh Presiden Jokowi sebagai pengganti PP Nomor 96 Tahun 2021 mengenai Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.

Salah satu aspek kontroversial dari perubahan ini adalah pemberian konsesi tambang kepada organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan. Kebijakan ini menimbulkan berbagai pro dan kontra, baik dari perspektif lingkungan, politik, maupun sosial.

Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia menjelaskan bahwa Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang sudah dicabut kepada ormas keagamaan diberikan kepada ormas Islam hingga Buddha.

Dalam justifikasi Bahlil, ormas keagamaan itu berjasa sejak masa pergerakan kemerdekaan dan sudah selayaknya pemerintah memberikan perhatian lebih dalam bentuk tertentu.

Sementara itu, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar menyebut pemberian itu lebih baik ketimbang ormas-ormas tersebut mengajukan proposal untuk pendanaan secara rutin.

Pemerintah menyebut pengelolaan oleh ormas keagamaan itu melalui lini bisnis yang mereka miliki dan memerhatikan kemampuan masing-masing.

Dan memang, sekali lagi, diperlukan kemampuan khusus untuk mengelola tambang yang dalam logika sederhananya tampak kurang relevan untuk dikelola oleh ormas keagamaan.

Lalu, mengapa konsesi itu tetap diberikan? Adakah alasan spesifik tertentu yang melandasinya?

Justifikasi Eko-Teologi?

Satu alasan normatif yang kemungkinan mendasari ormas keagamaan sebagai subjek penerima konsesi tambang adalah konsep echo-theology atau eko-teologi.

Konsep tersebut mengintegrasikan concern ekologis dengan ajaran agama, menekankan bahwa merawat Bumi adalah tugas spiritual. NU, Muhammadiyah, dan ormas lintas agama lain mempunyai kewajiban moral untuk memberi contoh dalam pengelolaan lingkungan hidup.

Baca juga :  Megawati Tumbangkan Pengaruh Jokowi-Anies

Di luar konteks kemampuan pengelolaan secara teknis, operasional pertambangan harus dinilai secara kritis dan dikelola dengan cara yang mencerminkan nilai-nilai eko-teologis, demi meminimalkan dampak kerusakan lingkungan dan mendorong restorasi ekologi.

Ormas keagamaan, berbekal ajaran dan nilai agama yang menekankan pentingnya menjaga alam. Ihwal yang berpotensi menjadikan mereka lebih bertanggung jawab dalam mengelola sumber daya alam.

Mereka dapat mengadopsi praktik pertambangan berkelanjutan yang meminimalkan kerusakan lingkungan dan memastikan bahwa kegiatan pertambangan dilakukan dengan etika yang tinggi.

Selain itu, ormas keagamaan juga memiliki kapasitas untuk mendidik masyarakat mengenai pentingnya menjaga lingkungan. Mereka dapat mengadvokasi praktik-praktik ramah lingkungan dan melibatkan komunitas lokal dalam upaya restorasi ekologi.

Lalu, dibandingkan dengan perusahaan swasta yang mungkin lebih fokus pada profit, ormas keagamaan dapat dianggap lebih transparan dan akuntabel. Ini terutama karena mereka diawasi oleh komunitas mereka sendiri dan harus mempertanggungjawabkan tindakan mereka di hadapan publik, serta utamanya, kepada Tuhan.

Lebih jauh, pemberian konsesi itu pun boleh jadi demi memenuhi tujuan seperti yang disiratkan Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar.

Itu dikarenakan, eksistensi ormas keagamaan, dengan segala kekuatannya, dapat mereduksi pungutan liar (pungli), ormas “liar”, dan local strongman yang menghambat serta menambah add cost bagi investasi dan laju perekonomian melalui sektor pertambangan.

Kendati demikian, terdapat beberapa kekhawatiran mengenai pemberian ruang bagi ormas keagamaan untuk mengelola tambang yang mana terdapat satu di antaranya memang bertendensi politis.

infografis polemik tambang ilegal

Eksploitasi di dalam Eksploitasi?

Meskipun ormas keagamaan memiliki landasan moral yang kuat untuk menjaga alam, tidak ada jaminan bahwa semua akan mematuhi prinsip-prinsip eko-teologi.

Terdapat risiko bahwa kepentingan ekonomi dan politik dapat mengalahkan tanggung jawab ekologi, terutama jika ada tekanan untuk menghasilkan pendapatan atau memenuhi target tertentu.

Baca juga :  Menyoal Kabinet Panoptikon ala Prabowo

Sementara itu, pemberian konsesi tambang kepada ormas keagamaan pun dapat menjadi alat politik. Mereka akan cukup rentan untuk dijadikan bumper politik atau alat untuk mencapai tujuan tertentu oleh pihak yang memiliki kepentingan.

Ada pula risiko bahwa ormas keagamaan akan menjadi sandera politik, baik dalam konteks kontestasi electoral maupun dalam konflik antara pemerintah dan kelompok-kelompok lain.

Pemberian konsesi tambang pun tak menutup kemungkinan akan bermuara transaksional, di mana dukungan politik atau sosial dibarter dengan akses terhadap sumber daya alam. Hal ini kemudian membuka peluang bagi terciptanya ekosistem korup baru yang justru merugikan masyarakat dan lingkungan.

Bagaimanapun, ormas keagamaan memiliki misi utama dalam bidang spiritual dan sosial. Keterlibatan dalam bisnis pertambangan bisa menimbulkan konflik kepentingan yang mengaburkan fokus utama mereka.

Maka dari itu, penting untuk menjaga keseimbangan antara misi spiritual dan aktivitas ekonomi agar tidak mengorbankan salah satu aspek.

Pemberian konsesi tambang kepada ormas keagamaan berdasarkan PP Nomor 25 Tahun 2024 menimbulkan berbagai reaksi dan diskursus. Dari perspektif eco-theology, ada potensi keuntungan besar dalam hal menjaga dan merestorasi lingkungan jika prinsip-prinsip moral dan etis diterapkan dengan konsisten.

Namun, risiko eksploitasi, manipulasi politik, dan transaksi yang tidak sehat juga harus diperhatikan secara serius.

Agar kebijakan ini berhasil, perlu adanya komitmen kuat dari semua pihak yang terlibat untuk memastikan bahwa kegiatan pertambangan dilakukan dengan cara yang berkelanjutan dan beretika.

Kerangka regulasi yang ketat, pengawasan yang efektif, pemberdayaan komunitas lokal, dan pemenuhan literasi berkelanjutan tentang eco-theology adalah kunci untuk mencapai tujuan tersebut.

Dengan demikian, publik dapat berharap bahwa ormas keagamaan dapat berperan positif dalam mengelola tambang dan menjaga keseimbangan ekologi di Indonesia. (J61)

spot_imgspot_img

#Trending Article

“Parcok” Kemunafikan PDIP, What’s Next?

Diskursus partai coklat atau “parcok" belakangan jadi narasi hipokrit yang dimainkan PDIP karena mereka justru dinilai sebagai pionir simbiosis sosial-politik dengan entitas yang dimaksud. Lalu, andai benar simbiosis itu eksis, bagaimana masa depannya di era Pemerintahan Prabowo Subianto dan interaksinya dengan aktor lain, termasuk PDIP dan Joko Widodo (Jokowi)?

Prabowo dan Prelude Gerindra Empire?

Partai Gerindra di bawah komando Prabowo Subianto seolah sukses menguasai Pulau Jawa setelah tiga “mahapatih” mereka, yakni Andra Soni, Dedi Mulyadi, serta Ahmad Luthfi hampir dapat dipastikan menaklukkan Pilkada 2024 sebagai gubernur. Hal ini bisa saja menjadi permulaan kekuasaan lebih luas di Jawadwipa. Mengapa demikian?

Kejatuhan Golkar di Era Bahlil?

Dengan kekalahan Ridwan Kamil dan Airin Rachmi Diany di Pilkada Serentak 2024. Mungkinkah Golkar akan semakin jatuh di bawah Bahlil Lahadalia?

Ridwan Kamil “Ditelantarkan” KIM Plus? 

Hasil tidak memuaskan yang diperoleh pasangan Ridwan Kamil-Suswono (RIDO) dalam versi quick count Pemilihan Gubernur Jakarta 2024 (Pilgub Jakarta 2024) menjadi pertanyaan besar. Mengapa calon yang didukung koalisi besar tidak tampil dominan? 

Prabowo dan Filosofi Magikarp ala Pokémon

Pemerintahan Prabowo Subianto siapkan sejumlah strategi untuk tingkatkan investasi dan SDM. Mungkinkah Prabowo siap untuk “lompat katak”?

Belah PDIP, Anies Tersandera Sendiri?

Endorse politik Anies Baswedan di Pilgub Jakarta 2024 kepada kandidat PDIP, yakni Pramono Anung-Rano Karno justru dinilai bagai pedang bermata dua yang merugikan reputasinya sendiri dan PDIP di sisi lain. Mengapa demikian?

Kok Megawati Gak Turun Gunung?

Ketua Umum (Ketum) PDIP, Megawati Soekarnoputri hingga kini belum terlihat ikut langsung dalam kampanye Pilkada. Kira-kira apa alasannya? 

Berani Prabowo Buka Pandora Papers Airlangga?

Ramai-ramai bicara soal kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen yang disertai dengan protes di media sosial, tiba-tiba juga ramai pula banyak akun men-share kembali kasus lama soal nama dua pejabat publik – Airlangga Hartarto dan Luhut Pandjaitan – yang di tahun 2021 lalu disebut dalam Pandora Papers.

More Stories

“Parcok” Kemunafikan PDIP, What’s Next?

Diskursus partai coklat atau “parcok" belakangan jadi narasi hipokrit yang dimainkan PDIP karena mereka justru dinilai sebagai pionir simbiosis sosial-politik dengan entitas yang dimaksud. Lalu, andai benar simbiosis itu eksis, bagaimana masa depannya di era Pemerintahan Prabowo Subianto dan interaksinya dengan aktor lain, termasuk PDIP dan Joko Widodo (Jokowi)?

Prabowo dan Prelude Gerindra Empire?

Partai Gerindra di bawah komando Prabowo Subianto seolah sukses menguasai Pulau Jawa setelah tiga “mahapatih” mereka, yakni Andra Soni, Dedi Mulyadi, serta Ahmad Luthfi hampir dapat dipastikan menaklukkan Pilkada 2024 sebagai gubernur. Hal ini bisa saja menjadi permulaan kekuasaan lebih luas di Jawadwipa. Mengapa demikian?

Belah PDIP, Anies Tersandera Sendiri?

Endorse politik Anies Baswedan di Pilgub Jakarta 2024 kepada kandidat PDIP, yakni Pramono Anung-Rano Karno justru dinilai bagai pedang bermata dua yang merugikan reputasinya sendiri dan PDIP di sisi lain. Mengapa demikian?