Kementerian Pertahanan (Kemhan) baru saja mengumumkan pengaktifan kontrak pembelian jet Rafale dengan Prancis. Apakah ini memang akan jadi momen peningkatan kekuatan militer Indonesia, atau justru malah menjadi blunder?
Dari sejak awal menjabat sebagai Menteri Pertahanan (Menhan), Prabowo Subianto beberapa kali disorot media melakukan sejumlah kunjungan diplomatis ke berbagai negara besar. Yang utamanya barangkali adalah ketika Prabowo berkunjung ke Prancis, dan membawa pulang ke Indonesia perjanjian pembelian jet tempur canggih generasi 4.5, Dassault Rafale.
Tidak main-main, jumlah jet yang rencananya dibeli bahkan mencapai 42 unit, ini artinya Indonesia tidak hanya akan menjadi pengguna pertama jet Rafale di Asia Tenggara, tapi juga jadi salah satu negara berkembang dengan jet tempur generasi 4.5 terbanyak.
Kontrak ini sontak menjadi kebanggaan Kementerian Pertahanan (Kemhan). Dan sesuai perkembangannya, disebutkan bahwa baru-baru ini kontrak pembelian Rafale sudah mulai aktif. Pihak Kemhan mengatakan per tanggal 9 September Indonesia sudah mulai mencicil pembelian Rafale sebesar kurang lebih US$1,3 miliar. Pembayaran tahap awal ini akan mendatangkan enam dari total 42 jet.
Akan tetapi, di saat yang bersamaan Indonesia sebenarnya juga diketahui akan membeli sejumlah jet tempur dari negara-negara lain. Sejak dua tahun terakhir Prabowo telah menunjukkan ketertarikan membeli jet canggih Amerika Serikat (AS), F-35. Namun karena diklaim antrean pembelian F-35 masih panjang, maka pada semester pertama tahun 2022 Indonesia akhirnya berhasil dibelokkan untuk membeli jet tempur yang kelasnya sedikit di bawah F-35, yakni F-15 EX.
Tidak hanya itu, pada tahun ini Prabowo pun mengumumkan Indonesia sedang terlibat dalam proyek pengembangan jet tempur siluman bernama KF-21 Boramae dengan Korea Selatan (Korsel), dan akan. Setidaknya memiliki 50 unit di masa depan. Namun, hingga kini isu gagal bayar pengembangannya oleh Indonesia masih mengudara di pemberitaan, utamanya media-media asal Korsel.
Dari sini, kita bisa menyadari bahwa Indonesia memiliki proyek-proyek alat utama sistem senjata (alutsista) yang sangat beragam, bahkan tidak hanya soal jet tempur saja, tapi pembelian fregat perang pun kita mendatangkannya dari beberapa negara, seperti Italia dan Jepang.
Pertanyaan besarnya kemudian adalah, apakah diversifikasi alutsista ini adalah sebuah strategi yang baik, atau justru akan menjadi blunder besar?
Rafale Hanya Akan Jadi Pajangan?
“Gajah di dalam ruangan” dari pembelian besar-besaran alutsista canggih ini tentu adalah masalah pendanaan. Mulai dari pengamat-pengamat militer dalam negeri sampai media asing, semuanya memiliki pertanyaan yang sama: dari mana uangnya Indonesia beli jet-jet tempur canggih?
Direktur Eksekutif Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia (Lesperssi) Rizal Darmaputra menduga bahwa demi mencegah membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) triliunan, maka besar kemungkinannya pemerintah akan gunakan skema kredit ekspor. Masalahnya, walau kredit ekspor bisa jadi salah satu solusi, itu juga akan menambah utang negara.
Namun, permasalahan pengadaan alutsista ini sebenarnya tidak hanya sebatas uang membelinya saja. Ada beberapa alasan lain kenapa pengadaan jet-jet tempur canggih seperti Rafale, F-15, dan KF-21 tetap akan menjadi masalah besar meskipun kita punya uang yang cukup untuk membelinya.
Pertama, ini akan menjadi logistic nightmare atau mimpi buruk logistik. Fitri Bintang Timur, pengamat Centre for Strategy and International Studies (CSIS), dalam artikelnya Indonesia’s defence shopping spree, menilai bahwa keputusan Indonesia untuk menghadirkan jet tempur dari tiga benua berbeda (Amerika, Eropa, Asia) memiliki tantangan yang sangat besar, yakni kemampuan untuk menghadirkan fasilitas pelatihan personil, pengadaan suku cadang, amunisi, dan pemeliharaan yang juga ikut terdiversifikasi.
Sebagai konteks saja, teknologi jet tempur adalah sebuah kekayaan intelektual yang kerahasiaan dan eksklusivitasnya sangat dijaga oleh masing-masing negara pengembang. Oleh karena itu, setiap pengoperasian jet tempur pun membutuhkan pengembangan dan perawatan yang hanya bisa didatangkan dari negara pengembangnya.
Dengan demikian, jika Indonesia memang akhirnya jadi membeli Rafale, F-15, dan KF-21, maka anggaran yang dibutuhkan diprediksi akan sangat membengkak karena perlu mendatangkan suku cadang dari tiga negara berbeda. Selain itu, kalaupun Indonesia hanya membeli Rafale, itu tetap akan menjadi masalah karena untuk saat ini kita juga sudah mengoperasikan jet tempur yang berbeda-beda nasionalitas, seperti SU-27 dari Rusia dan F-16 dari AS.
Mimpi buruk logistik ini sebenarnya sudah terlebih dahulu terjadi di India. Saikat Datta dalam artikelnya The Rafale deal is a perfect case study in what is wrong with India’s defence planning and purchases, menilai bahwa setelah India berniat mendatangkan Rafale, Angkatan Udara India (IAF) tampak seperti sebuah “sirkus”, karena mereka juga memiliki jet-jet tempur dari AS, Rusia, dan berbagai negara Eropa lainnya. Ini tentu berdampak pada anggaran yang membengkak.
Kedua, pengadaan Rafale dan jet tempur dari berbagai negara berbeda juga akan menyebabkan kekacauan interoperabilitas. Ian Storey dalam tulisannya Indonesia’s Defence Procurement Strategy: Diversification but at What Cost?, menyebutkan manufaktur jet tempur yang beragam akan sangat mempersulit operasional militer Angkatan Udara (AU) Indonesia.
Storey mengatakan, sebuah alat tempur canggih seperti jet tempur umumnya hanya bisa mencapai konektivitas yang optimal dengan alat-alat lain yang dibuat oleh produsen yang sama. Jika AU Indonesia ingin mengintegrasikan Rafale, SU-27, dan F-16, maka akan diperlukan upaya yang cukup memberatkan agar jet-jet tempur ini bisa “berkomunikasi” dengan satu sama lain.
Permasalahan ini pun dapat menjadi lebih kompleks mengingat pengintegrasian sistem berpotensi mengekspos teknologi rahasia suatu jet tempur negara yang satu dengan negara yang lainnya. Artinya, kalaupun Indonesia memang mampu mengintegrasikan, belum tentu negara-negara produsen mengizinkannya dengan mudah. Akan ada syarat-syarat tertentu yang bisa memberatkan Indonesia.
Ketiga, pengadaan Rafale melalui industri domestik juga besar kemungkinannya akan mangkrak. Jadi, disebutkan dalam perjanjian pembelian Rafale dengan Prancis bahwa Prancis bersedia melakukan transfer teknologi agar industri Indonesia bisa dengan mudah membuat jet tempurnya sendiri. Masalahnya, industri jet tempur yang dilibatkan, yakni PT Dirgantara Indonesia (PTDI) pun memiliki masalah-masalahnya sendiri.
Untuk mengembangkan fasilitas produksi pesawat baling-baling N219 saja, PTDI disebut masih membutuhkan dana tambahan setidaknya sebesar US$ 119 juta. Dari perspektif yang lebih luas, PTDI pun bisa dikatakan bukan badan usaha milik negara (BUMN) kesayangan Indonesia karena memiliki nilai yang sangat lemah.
Menurut data dari Katadata, PTDI hanya memiliki aset Rp11,03 triliun, jauh lebih rendah dari BUMN-BUMN lain seperti PT PLN (Rp1.589 triliun) dan PT Pupuk Indonesia (Rp135 triliun). Padahal, di negara-negara lain yang juga punya ambisi militer tinggi, seharusnya BUMN sektor pertahanan memiliki aset yang sangat tinggi. Itu baru dari masalah kekayaan, belum lagi menyentuh sektor kepegawaian yang juga memiliki masalah.
Berdasarkan penjabaran ini, bisa kita interpretasikan bahwa meskipun Indonesia akhirnya hanya mendatangkan Rafale, maka itu tetap akan berpotensi menjadi salah satu masalah besar AU Indonesia. Pada akhirnya, Rafale Indonesia berpotensi menjadi sebuah proyek besar yang ditelantarkan karena kita tidak bisa merawatnya.
Namun, masih ada satu pertanyaan yang tersisa. Besar kemungkinannya pemerintah sebenarnya sudah tahu akan masalah yang tadi, akan tetapi, kenapa kita tetap berambisi membeli jet tempur yang didiversifikasi?
Modernisasi Alutsista Hanya Untuk Pamer?
Jun Yan Chang dalam tulisannya The paradox of defence diplomacy in Southeast Asia, menyampaikan sebuah analisis menarik tentang diplomasi pertahanan yang dilakukan negara-negara Asia Tenggara.
Sebagai suatu wilayah yang diakui memiliki kompetisi tinggi, wajar bila banyak negara Asia Tenggara yang berkoar ketika mampu membeli alutsista canggih dari negara-negara besar. Namun, karena wilayah ini sebenarnya adalah wilayah yang anggotanya cukup saling ketergantungan, maka diplomasi pertahanan yang dilakukan hanya akan sebatas boasting atau menyombongkan saja.
Indonesia dan tetangga-tetangganya memang memiliki catatan historis pertempuran antar satu sama lain, seperti ketika tahun 1960-an saat Indonesia berseteru dengan Malaysia. Namun, konteks persaingan di zaman tersebut sudah berbeda dengan zaman sekarang. Dulu kita bertarung karena ada tarikan kekuatan dengan negara-negara kolonial Barat, namun ketika sudah merdeka sekarang, kita tidak memiliki motivasi yang cukup kuat untuk berseteru secara militer dengan tetangga Asia Tenggara.
Oleh karena itu, unggul-unggulan alutsista adalah salah satu jawaban alternatif kompetisi sesama negara Asia Tenggara. Nah, dengan logika ini, maka kita sepertinya bisa wajarkan bila fungsionalitas jet tempur yang terdiversifikasi tidak diprioritaskan, karena proses pembeliannya pun hanya akan dijadikan sebagai ajang pamer.
Dan mungkin, pada ujungnya negara kita tetap akan terjebak dalam apa yang disebut monopoli global industri alutsista. Ethan B. Kapstein dalam tulisannya America’s Arm Trade Monopoly menyebutkan bahwa ada sebuah monopoli besar dalam mengatur aktivitas jual-beli sekaligus pembangunan industri alutsista dunia.
Dengan berbagai cara, contohnya seperti embargo, AS disebut berupaya semampu mungkin agar negara-negara dunia tetap ketergantungan membeli senjata yang diproduksi AS atau sekutunya, dan mencegah semampu mungkin agar tidak muncul pemain industri alutsista besar lainnya yang bukan berasal dari kubu Barat.
Well, pada akhirnya, tentu semua ini hanya interpretasi belaka. Kita harap saja pemerintah sudah memiliki rencana yang matang untuk mengatasi logistik dan pendanaan jika kita akhirnya mendatangkan 42 jet Rafale, F-15 EX, dan KF-21. (D74)