HomeNalar PolitikRafael Dibesar-besarkan untuk Sri Mulyani?

Rafael Dibesar-besarkan untuk Sri Mulyani?

Tidak hanya mendapat sorotan yang luar biasa, kasus Rafael Alun Trisambodo (RAT) terlihat menjadi pintu masuk terbukanya berbagai kasus keuangan. Mungkinkah kasus Rafael Alun dibesar-besarkan?


PinterPolitik.com

“Any coincidence is worth noticing. You can throw it away later if it is only a coincidence” – Agatha Christie

Rafael Alun Trisambodo (RAT) resmi menjadi sorotan publik setelah Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) melaporkan adanya kepemilikan harta kekayaan milik RAT yang mencapai Rp50 miliar. Kenaikan ini lantas mengundang polemik dikarenakan harta sebanyak itu justru dimiliki oleh seorang pegawai Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan harta milik RAT ini hampir menyamai harta kekayaan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati yang mencapai Rp56 miliar.

Pelaporan ini kemudian ditindaklanjuti oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dikarenakan ada unsur pencucian uang sepanjang transaksi yang dilakukan RAT. Selain itu, kasus RAT ini juga “menurun” ke beberapa pejabat DJP yang disorot atas permasalahan yang sama dan kasus ini praktis menurunkan citra Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang selama ini “ngotot” soal pentingnya pajak untuk pembangunan negara.

Kasus ini diprediksi akan membuka “kotak pandora” soal banyaknya permasalahan yang tidak terungkap di dalam Kemenkeu maupun lembaga lainnya.

Namun demikian, kasus RAT di satu sisi juga memunculkan pertanyaan akan sorotan yang bombastis dari media massa. Apakah kasus RAT memang benar-benar murni sebuah kasus atau hanya merupakan sorotan yang dibesar-besarkan?

infografis mario dandy sambo jilid 2

Kasus RAT Dibesar-besarkan?

Kasus RAT mendapatkan momentum yang pas ketika pemerintah selalu menekankan warganya untuk membayar pajak secara tertib. Laporan Kemenkeu menyebutkan bahwa penerimaan pajak tahun 2022 mengalami surplus sebesar Rp1,6 kuadriliun dan penerimaan tersebut menjadi sebuah kesuksesan dari Kemenkeu untuk mendukung pemulihan ekonomi negara.

Surplus ini nyatanya juga membawa “berkah” bagi anak buah Sri Mulyani dikarenakan sebagian dari hasil pajak tahun 2022 akan diberikan kepada pegawai DJP dalam bentuk tunjangan kinerja. Besaran yang diberikan pun beragam, mulai dari Rp5 juta hingga Rp117 juta. Besaran ini dibagikan sesuai dengan jabatan mereka di instansi terkait.

Namun demikian, isu pemberian bonus kepada pegawai DJP seolah tertutup dengan pemberitaan kasus RAT yang viral di media sosial. RAT yang merupakan pejabat eselon III DJP Jakarta Selatan langsung disorot karena dugaan pencucian uang dan hal ini juga menjadi efek domino dari perilaku Mario Dandy yang melakukan penganiayaan kepada David Ozora.

Baca juga :  Belah PDIP, Anies Tersandera Sendiri?

Namun, ada satu kejanggalan yang bisa ditemukan dalam sorotan publik kepada RAT ini. Apakah pelaporan ini memang betul untuk membuka jalan untuk membersihkan Kemenkeu dari kasus korupsi atau justru hanya untuk mengalihkan perhatian publik semata?

Mungkin bisa dikatakan bahwa ada motif mulia dibalik pelaporan ini, yaitu untuk membuka “kotak pandora” korupsi di lingkungan Kemenkeu yang belum terjangkau publik. Namun, mungkin juga ada motif lain dibalik pelaporan ini, yaitu untuk menutupi sorotan publik kepada kepolisian dan pemerintah yang masih menuai kontroversi di tengah masyarakat.

Pengalihan isu jamak dilakukan untuk mengalihkan publik pada mereka yang dilaporkan secara masif oleh media dan hal ini diklaim akan menguntungkan pihak yang tidak mendapatkan sorotan media. Elizabeth Dougall dalam Management Issue menyebutkan bahwa pengelolaan isu digunakan oleh media untuk menampilkan isu lain kepada publik dan mencegah tersorotnya isu domestik yang lebih penting untuk diketahui.

Pada konteks RAT, terlihat bahwasanya pengelolaan isu digunakan untuk menyoroti masalah di dalam Kemenkeu alih-alih memberitahukan publik bahwa ada hal lain yang patut disorot. Pemberian bonus kepada pejabat Ditjen Pajak termasuk isu yang seharusnya menjadi perhatian publik dikarenakan bonus tersebut tidak seimbang dengan masyarakat yang seharusnya dapat disejahterakan melalui pajak.

Kasus RAT seolah menjadi isu besar yang harus diperhatikan, padahal yang perlu diperhatikan adalah bagaimana pengelolaan surplus pajak tahun 2022 lalu benar-benar memberikan keadilan ekonomi kepada masyarakat. Hal ini lantas menimbulkan pertanyaan mengenai apakah peliputan pada RAT memang selayaknya mendapatkan perhatian lebih dari publik.

poster wkwkwk forever

Amplifikasi Kasus untuk Sri Mulyani?

Tidak bisa dipungkiri bahwa pemberitaan korupsi masih menjadi segmen berita yang menarik perhatian bagi sebagian besar masyarakat Indonesia dan pemberitaan korupsi masih menjadi instrumen publik dalam mengawasi kinerja pejabat.

Dugaan pencucian uang RAT masih menggoda media arus utama untuk dijadikan sebagai topik utama mengingat kasus ini diklaim dapat membongkar kebobrokan Kemenkeu yang selama ini terpendam. Namun apakah ini akan menjadi “harapan” dari masyarakat atau hanya sekedar rekayasa kasus untuk menjatuhkan satu pihak tertentu?

Baca juga :  Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Well, bisa keduanya kendati bobot yang besar justru terletak pada rekayasa kasus. Rekayasa kasus merujuk pada tindakan satu pihak yang cenderung membesar-besarkan suatu isu hanya untuk mendapatkan atensi yang besar dari publik dan kasus ini juga digunakan sebagai batu pijakan untuk menjatuhkan mereka yang terdampak kasus ini.

Mengacu pada penjelasan Moa Eriksson Krutrök dan Simon Lindgren dalam tulisan mereka Social Media Amplification Loops and False Alarms, “rasa haus” publik terhadap informasi di media sosial (medsos) bisa berujung pada kekacauan informasi (informational chaos). Orang-orang akhirnya beramai-ramai mencari dan mengisi diskursus terkait peristiwa yang menjadi fokus publik – mengalami amplifikasi.

Amplifikasi ini akhirnya bisa berdampak pada persepsi publik terhadap pihak-pihak yang terkait dengan kasus RAT. Ini sejalan dengan penjelasan Michael F. Meffert, Sungeun Chung, Amber J. Joiner, Leah Waks, dan Jennifer Garst dalam tulisan mereka The Effects of Negativity and Motivated Information Processing During a Political Campaign yang menemukan banyak riset psikologi sosial yang menunjukkan bahwa informasi negatif lebih berdampak dibandingkan informasi positif.

Bisa jadi, sorotan yang berlebih terhadap kasus RAT ini memunculkan dugaan bahwasanya kasus ini sengaja dibesar-besarkan untuk menjatuhkan Sri Mulyani. Sri Mulyani termasuk menteri yang memiliki kinerja terbaik kedua berdasarkan survei Indikator Politik tahun 2022 dan penilaian ini didasarkan pada kiprahnya yang mampu mengelola pendapatan negara untuk pemulihan ekonomi.

Namun demikian, tentu ada beberapa kelompok yang tidak suka dengan Sri Mulyani di belakang layar oleh karena beberapa faktor dan merebaknya dugaan pencucian uang oleh RAT jelas akan merembet kepada Sri Mulyani selaku “boss” mereka. Selain itu, dengan pengusutan yang dilakukan oleh KPK terhadap RAT, bukan tidak mungkin Sri Mulyani juga akan ikut terseret dalam “memerahkan” Kemenkeu atas kasus turunan lainnya.

Well, sebagai penutup, rentetan kasus di Kemenkeu – yang dimulai dari kasus RAT – ini bisa jadi memiliki dampak pada kementerian yang dipimpin oleh Sri Mulyani karena dibesar-besarkan di media sosial – entah sengaja atau tidak. Dampak ini mulai terasa dari bagaimana publik dan media menyoroti Sri Mulyani sejak kasus RAT meledak. (D90)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Reshuffle Jokowi Menguntungkan Prabowo?

Pergantian (reshuffle) kabinet telah dilakukan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Beberapa nama seperti Budi Arie Setiadi, Nezar Patria, hingga Djan Faridz resmi menduduki posisi kabinet....

Golkar Sedang “Didesak” Mempercepat Langkah?

Beredar kabar Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Partai Golkar akan diselenggarakan. Agenda itudigaungkan dan bertujuan menggantikan Airlangga Hartarto dari posisinya sebagai Ketua Umum (Ketum)...

Gamal Mustahil Kalahkan Kaesang?

Kaesang Pangarep disebut-sebut siap untuk menjadi Wali Kota Depok selanjutnya. Menghadapi langkah Kaesang yang tampak “cukup berani” ini, PKS menyiapkan tiga nama untuk menghadapi...