HomeNalar PolitikRadikalisme: Hantu Milik Siapa?

Radikalisme: Hantu Milik Siapa?

Fakta bahwa gerakan radikalisme sudah menjangkiti berbagai lapisan masyarakat tentu memprihatinkan. Tetapi, apakah benar gerakan tersebut murni karena alasan ideologi dan agama?


PinterPolitik.com

“The way to tackle Muslimphobia is to tackle prejudice against Muslims. What it is not is to pretend that Islamist extremism does not exist” – Maajid Nawaz, aktivis dan politisi

[dropcap]S[/dropcap]etidaknya hal itulah yang dapat disimpulkan dari hasil survei yang dilakukan oleh lembaga Alvara Research Center tentang menguatnya gerakan radikalisme di Indonesia. Hasil survei yang dilakukan pada pertengahan Oktober 2017 lalu ini menimbulkan kekhawatiran terkait dampak penyebaran paham radikal yang sudah menyasar hingga ke lapisan masyarakat paling bawah.

Beberapa fakta yang cukup mencengangkan dari survei tersebut adalah bahwa radikalisme nyatanya telah juga mempengaruhi hingga ke dunia pendidikan serta aparatur sipil negara (ASN). Bahkan, masih banyak Pegawai Negeri Sipil (PNS) – yang seharusnya menjadi salah satu garda pengaman ideologi Pancasila – justru menolak ideologi tersebut. Angka 19,4 persen bukanlah jumlah yang sedikit untuk PNS yang tidak setuju Pancasila menjadi ideologi negara.

Namun, pembeberan hasil survei yang jaraknya hanya sehari sebelum ketok palu Undang-Undang Organisasi Masyarakat (UU Ormas) di DPR juga menimbulkan pertanyaan. Kebetulan? Atau?

Bahkan, hasil survei ini digunakan oleh beberapa pihak sebagai landasan untuk mendesak percepatan pengesahan UU yang sedianya digunakan untuk mengontrol ormas-ormas keagamaan radikal dan yang dianggap bertentangan dengan Pancasila. Survei ini juga membuat semua pihak mengklaim bahwa ancaman radikalisme itu nyata dan sedang menggentayangi negara ini. Apakah benar demikian?

Menakar Hasil Survei

Radikalisme bahkan disebut-sebut telah menjangkiti dunia pendidikan. Dari seluruh responden yang dimintai keterangan dalam survei Alvara ini, 23,4 persen mahasiswa menyetujui adanya gerakan jihad untuk tegaknya Islam atau khalifah. Sementara, untuk pertanyaan yang sama, terdapat 23,3 persen pelajar SMA yang setuju pada gagasan jihad tersebut.

Apakah survei ini bisa dipertanggungjawabkan? Sejauh ini, Alvara Research Center yang bernaung di bawah PT Alvara Strategi Indonesia merupakan salah satu lembaga survei yang cukup kredibel – terlepas dari bias beberapa hasil survei yang dilakukannya. Artinya secara ilmiah, survei Alvara bisa dipertanggungjawabkan.

Sejak didirikan pada April 2012, Alvara menjadi salah satu lembaga survei yang cukup sering melakukan penelitian terhadap isu-isu politik. Alvara juga menjadi salah satu dari 56 lembaga yang terdaftar di KPU sebagai lembaga resmi yang melakukan survei dan quick count pada Pilpres 2014.

Baca juga :  “Parcok” Kemunafikan PDIP, What's Next?

Radikalisme: Hantu Milik Siapa?

Saat ini, Alvara dipimpin oleh CEO sekaligus pendirinya Hassanudin Ali. Menariknya, antara tahun 2006 sampai 2012, Hassanudin Ali pernah bekerja di MarkPlus Insight, sebuah perusahaan riset marketing yang juga melakukan riset terhadap isu-isu sosial dan politik. MarkPlus didirikan oleh begawan marketing, Hermawan Kertajaya. Hassanudin Ali bahkan sempat menduduki posisi chief executive di perusahan ini.

Adapun Hermawan Kertajaya adalah salah satu ahli marketing politik handal yang belakangan cukup dekat dengan PDI Perjuangan dan beberapa kali menjadi pembicara dalam Sekolah Partai tersebut.

Kiprah Alvara sebetulnya tidak selalu mulus. Pada tahun 2014 sempat muncul isu ‘survei pesanan’ ketika Alvara mengeluarkan hasil survei yang menyebut popularitas Aburizal Bakrie lebih tinggi dari pada Jokowi. Padahal, semua tahu saat itu popularitas Jokowi tidak ada tandingan.

Terkait hasil survei tentang radikalisme, apa yang dipublikasikan oleh Alvara sebetulnya telah menjadi bagian dari publikasi beberapa lembaga survei. Selain Alvara, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) juga pernah melakukan survei pada bulan Oktober 2017 dan menyebut 4 persen orang Indonesia setuju pada gerakan yang dilakukan oleh Islamic State of Iraq and Syria (ISIS).

Itu artinya ada 10 juta penduduk Indonesia yang setuju pada ISIS. Dari jumlah tersebut, 5 persen atau sekitar 500 ribu adalah mahasiswa. Hal ini berarti radikalisme memang telah masuk dalam ruang-ruang diskusi dan gerakan mahasiswa di kampus.

Survei Alvara tentang radikalisme ini memang bisa menjadi bahan penegas tentang menguatnya radikalisme. Namun, dari rilis hasil survei yang sangat berdekatan dengan ketok palu UU Ormas di DPR, boleh jadi ada bias dalam survei tersebut.

Hal ini wajar terjadi karena bagaimana pun juga sangat sulit untuk melihat lembaga survei tanpa melihat keberpihakan dan bias politik hasil survei yang dipublikasikan – meminjam kata-kata orang terkaya kesepuluh di dunia, Michael Bloomberg: “You can’t depend on polls!”

Radikalisme: Antara Ideologi dan Politik

Jika membaca tulisan cendikiawan NU, Dr. Sa’dullah Affandy dalam tulisannya yang berjudul Akar Sejarah dan Pola Gerakan Radikalisme di Indonesia, radikalisme memang ada dan sedang bertumbuh di Indonesia.

Kalau diperhatikan dengan seksama, perbincangan tentang Pancasila sebagai ideologi negara justru semakin menguat belakangan ini. Sementara itu, banyak pihak yang mulai ‘melempar bahasa’ ingin mengganti Pancasila dengan ideologi Islam yang dianggap lebih cocok untuk negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia ini. Jika radikalisme itu diartikan sebagai gerakan politik yang ingin mengubah ‘akar’ (radix = akar, Latin) ideologi sebuah negara, maka boleh jadi hal inilah yang sedang terjadi di negara ini.

Baca juga :  Prabowo dan Hegemoni Rasa Takut

Radikalisme di Indonesia juga sangat dipengaruhi oleh perkembangan gerakan tersebut di lingkup internasional. Munculnya kelompok-kelompok seperti Taliban dan ISIS juga ikut mendorong gerakan serupa tumbuh di Indonesia. Hanya saja, perlu dipahami bahwa Taliban, ISIS, atau gerakan radikal lain di Timur Tengah bukanlah gerakan yang murni tumbuh karena faktor ideologi saja. Ada alasan ekonomi, bisnis atau bahkan politik yang menguat di belakangnya.

Hal serupa juga terjadi di Indonesia. Sejak tahun 1980-an, Indonesia memang menjadi lahan tumbuh suburnya ajaran radikal dari Timur Tengah, misalnya Wahabisme dari Arab Saudi.

Reformasi 1998 menjadi tonggak menguatnya paham-paham tersebut dan membuka ‘tali’ pengikat gerakan-gerakan yang dikekang oleh Soeharto selama masa kekuasaannya demi alasan kestabilan politik domestik. Seiring waktu, sama seperti yang terjadi pada Taliban atau ISIS, aktualisasi gerakan radikalisme di Indonesia akhirnya juga mengarah tidak lagi hanya sebatas ideologi semata. Radikalisme akhirnya punya dimensi ekonomi, bisnis, dan juga politik. (Baca: Dahsyat, Ternyata ISIS Adalah Korporasi)

Hal ini cukup jelas terlihat selama dua tahun terakhir. Radikalisme seolah menjadi salah satu warna utama politik nasional dan bahkan cenderung dimanfaatkan untuk memenangkan pengaruh politik tertentu. Pilkada DKI Jakarta merupakan salah satu wahana yang menjadi panggung gerakan tersebut menunjukkan dirinya.

Sampai pada titik ini, kita bisa menyaksikan transformasi gerakan yang mengambil dasar ideologi agama berubah menjadi sebuah gerakan politik dengan tujuan kepentingan yang semakin luas. Bahkan, beberapa sumber menyebut radikalisme seolah menjadi ‘hantu’ dan memang sengaja ‘dipelihara’ untuk tujuan-tujuan tersebut – hal yang sama seperti ketika Hillary Clinton ‘keceplosan’ menjabarkan strategi politik Amerika Serikat yang memelihara ISIS dan Al-Qaeda.

Pada akhirnya, survei dari Alvara Research Center memang punya kekuatan faktual. Namun, sulit untuk tidak melihat bias hasil survei ini. Apalagi, UU Ormas dipercaya menjadi alat pemerintah untuk mencegah kemungkinan gerakan politik atas dasar agama muncul lagi ke permukaan seperti yang terjadi pada Pilkada Jakarta 2017.

Dengan melihat keterkaitan survei-survei sejenis dengan kebijakan pemerintah yang menekan ormas-ormas keagamaan, perlu kacamata yang lebih besar untuk melihat persoalan ini secara lebih jelas. Apalagi, akan ada kontes politik di 2019, dan elit-elit politik serta konglomerasi bisnis punya kepentingannya dalam pertarungan tersebut.

Pertanyaannya adalah: siapa yang akan memanfaatkan gerakan ini? Menarik untuk ditunggu. (S13)

 

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Prabowo dan Hegemoni Rasa Takut

Beberapa konglomerat menyiratkan “ketakutan” soal akan seperti apa pemerintahan Prabowo bersikap terhadap mereka.