Site icon PinterPolitik.com

Quo Vadis Politik Bermoral

Ilustrasi: Y14

Nero adalah kaisar Romawi yang tega membunuh Agrippina – ibu kandunganya sendiri – karena merasa bahwa ibunya mengancam kekuasaannya. Ia juga membunuh ketiga istrinya serta adik kandungnya, Britannicus dengan alasan yang sama.


pinterpolitik.comJum’at, 3 Februari 2017

Baru-baru ini publik dikejutkan oleh penangkapan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Patrialis Akbar dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Semua orang terkejut, lagi-lagi Hakim MK – lembaga yang dianggap sebagai pengawal konstitusi negara – terlibat dalam kasus suap dan korupsi. Terjeratnya Patrialis Akbar Pseolah mengingatkan kita kembali pada kasus yang sama yang menimpa Ketua MK, Akil Mochtar pada Oktober 2013 lalu. Tentu saja kejadian-kejadian ini mencoreng salah satu lembaga tertinggi di negara ini. Lembaga yang dianggap sebagai penjaga konstitusi ini akhirnya juga diinfeksi suap dan korupsi.

Kasus Patrialis Akbar ini seolah membuka tabir gelap pelanggaran hukum dan korupsi yang dilakukan oleh pejabat publik di lembaga tinggi negara. Patrialis juga adalah mantan politisi partai dan hal ini pun semakin menguatkan pendapat bahwa saat ini sedang terjadi degradasi moral dalam diri para politisi di Indonesia. Patrialis menjadi salah satu contoh kasus politisi yang mendambakan kekuasaan – karena memang demikianlah tujuan politik: mencapai kekuasaan –, namun menyalahgunakannya untuk memperkaya diri.

Selain itu, Patrialis Akbar adalah hakim MK yang kerap menggembar-gemborkan pentingnya akhlak dan kelakuan baik bagi politisi, namun dirinya justru terjerat dalam kasus korupsi. Ia juga menentang perkawinan di luar nikah, namun justru tertangkap saat bersama dengan wanita yang bukan isterinya.

Hal ini tentu akan menjadi cerita satire bagi jabatan sepenting seorang hakim MK yang menjadi garda terdepan perlindungan konstitusi – sumber dari segala sumber hukum di Indonesia.

Jabatan publik dan jabatan politik adalah sebuah amanat yang dipercayakan oleh masyarakat, dan oleh karenanya harus dijalankan dengan kebijaksanaan dan menjunjung tinggi moral – demikian yang diungkapkan oleh filsuf Tiongkok, Mencius (372-289 SM). Namun, kasus Patrialis ini membuktikan bahwa dalam banyak kasus di Indonesia seringkali moral tidak dibawa masuk dalam kekuasaan. Padahal kekuasaan harus tetap dijalankan dalam koridor moral.

Hal inilah yang membuat mantan Presiden Cekoslovakia Vaclav Havel, atau Nelson Mandela, atau bahkan Aung San Suu Kyi disebut sebagai moral heroes. Sementara saat hal tersebut gagal dilakukan, maka seorang pemimpin akan menjadi seperti Adolf Eichmann (1906-1962) – seorang  Letnan Kolonel Schutzstaffel (SS) – sebutan untuk pasukan paramiliter Nazi Jerman – yang bertanggungjawab pada Holocaust – sebuah tragedi pembantaian besar-besaran terhadap orang Yahudi di Jerman. Eichmann berpandangan bahwa keberadaan orang Yahudi menjadi ancaman bagi kekuasaan Nazi di Jerman, sehingga harus dimusnahkan – membuat kekuasaannya kehilangan moralitas.

Namun, benarkah moral adalah hal yang harus melekat pada kekuasaan? Politik adalah cara atau jalan yang dipakai untuk membawa seseorang kepada kekuasaan. Apakah hal itu berarti moral juga harus melekat pada politik? Kasus Patrialis Akbar ini justru malah mengungkapkan hal yang sebaliknya: saat seseorang telah berhasil meraih kekuasaan, moral rasanya menjadi hal yang makin menjauh darinya. Benarkah demikian?

Distorsi Moral dalam Politik

Bagaimana sebetulnya hubungan moral dalam politik? Ada banyak pandangan berbeda tentang penting atau tidaknya moral dalam politik. Pada dasarnya di satu kubu banyak pemikir yang mengatakan bahwa moral harus dipisahkan dari politik dan kekuasaan. Moral akan melemahkan seseorang untuk bergerak menuju kekuasaan tersebut atau mempertahankan kekuasaan tersebut.

Semantara itu, di kubu lain banyak juga pemikir yang menganggap moral adalah hal yang penting dalam politik karena kekuasaan adalah tanggungjawab atas orang banyak, sehingga harus dikelola dengan tetap mengedepankan nilai, norma dan kebijaksanaan.

Niccolo Machiavelli (1469-1527) – seorang politisi, diplomat, filsuf, sejarahwan dan penulis asal Italia – merupakan salah satu orang yang menyebutkan bahwa moral harus dipisahkan dari politik – salah satu pandangan yang membuat dirinya disebut sebagai ‘setan atau iblis’, dicap atheis, dan karya-karyanya dimusnahkan oleh otoritas Gereja pada masa lampau.

Dalam bukunya yang berjudul Il Principe (1513), Machiavelli menggambarkan secara jelas pentingnya pemisahan antara politik dan moral. Machiavelli mengatakan bahwa legitimasi moral seringkali tidak dibutuhkan ketika kekuasaan sedang menjadi taruhan atau sedang diancam. Ia mengatakan bahwa sehubungan dengan kepentingan pertahanan dan ekspansi kekuasaan, penguasa bukanlah personifikasi dari keutamaan-keutamaan moral.

Machiavelli menganut semacam sinisme moral dalam filsafat politik. Tujuan dari semua usaha penguasa -juga menjadi bagian dari politik – adalah mempertahankan stabilitas suatu negara, negara tetap eksis dan bila ada ancaman, dilakukan tindakan penyelamatan dari ancaman-ancaman itu. Dalam mengambil tindakan, maka pertimbangan yang dilakukan oleh penguasa pertama-tama tidak bertolak dari kemauan rakyat mengenai apakah tindakan yang akan diambil itu dinilai oleh masyarakat baik atau buruk, tetapi bertolak dari segi efisiensi secara politik. Pilihan-pilihan tindakan tergantung dari tuntutan keadaan dan desakan situasi sosial.

Politik adalah cara yang ditempuh untuk mencapai kekuasaan, dan dengan demikian politik harus bebas moral. Hal inilah yang menyebabkan seringkali moral ‘dibuang’ oleh pemimpin-pemimpin yang berpedoman pada pemikiran Machiavelli ini. Pemimpin-pemimpin yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kekuasaan, mempertahankan kekuasaan tersebut, serta mengambil keuntungan yang sebesar-besar darinya merupakan contoh para pemimpin Machiavellian.

Pemikiran Machiavelli ini mungkin bisa dilihat secara ‘gila’ salah satunya pada masa pemerintahan Kaisar Nero (37-68 M) di kekaisaran Romawi. Nero adalah kaisar Romawi yang tega membunuh Agrippina – ibu kandunganya sendiri – karena merasa bahwa ibunya mengancam kekuasaannya. Ia juga membunuh ketiga istrinya serta adik kandungnya, Britannicus dengan alasan yang sama. Nero menekan legitimasi moralnya karena merasa kekuasaannya terancam oleh ibunya, isterinya, atau adik kandungnya sendiri. Contoh kasus kaisar Nero inilah yang membuat pemikiran Machiavelli oleh banyak orang dianggap gila.

Secara rasional, pemikiran untuk melepaskan moral dari politik – seperti yang dilakukan Nero – merupakan hal yang bisa diterima. Politik berkaitan erat dengan kekuasaan, dan oleh karenanya harus diupayakan sepenuhnya untuk mewujudkan kekuasaan atau mengamankannya dengan cara apa pun. Namun demikian, hal ini tentunya membuat kekuasaan menjadi hal yang buta atau gelap nilai. Kekuasaan seperti menjadi tidak lebih dari kalkulasi matematis. Dalam masyarakat yang sadar nilai, hal ini tentu saja tidak lagi bisa diterima.

Di kubu lain, pemikiran Machiavelli ini berlawanan dengan konsep moral sebagai hal yang utama dalam kekuasaan. Kekuasaan tanpa moral hanya akan berujung pada penyimpangan. Nilai, norma moral, serta pandangan-pandangan hidup – misalnya agama – dipandang sebagai hal yang harus mendasari kekuasaan seseorang. “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely. Great men are almost always bad men.” Demikianlah kalimat terkenal yang pernah diungkapkan oleh John Dalberg-Acton (1834-1902) atau yang lebih dikenal dengan nama Lord Acton – seorang penulis, sejarahwan dan politisi dari Inggris.

Kekuasaan dalam taraf tertentu akan semakin membuat orang dekat dengan penyimpangan. Tanpa keberadaan moral dalam diri pemimpin, maka kekuasaan hanya akan berujung pada korupsi dan pelanggaran. Hal yang sama juga disebutkan oleh Al-Ghazali (1058-1111) – bukan anaknya Ahmad Dhani, tetapi filsuf yang berasal dari Iran – yang menganggap moral sebagai hal yang penting dalam politik dan kekuasaan. Desires makes slaves out of Kings and patience makes Kings out of slaves”, demikian salah satu ungkapannya yang terkenal.

Nafsu adalah hal yang harus dijauhi karena akan membuat seorang raja menjadi budak keinginan-keinginan, sementara kesabaran adalah hal yang harus dimiliki oleh seseorang karena bisa menjadikan seorang budak sebagai raja. Kebijaksanaan untuk menyikapi hal tersebut hanya bisa didapat jika seorang pemimpin kuat secara moral. Menurut Al-Ghazali, moral dalam sebuah masyarakat yang terus berkembang akan menentukan bagaimana seorang pemimpin dipandang dan bagaimana kekuasaannya akan tetap bertahan. Dengan demikian, moral adalah sesuatu yang tak dapat dipisahkan dari kekuasaan, sama halnya juga tidak bisa dipisahkan dari politik.

Pandangan yang sama juga diungkapkan oleh Confucius (551-479 SM) dan penerus pandangannya, Mencius (372-289 SM). Walau Confucius tidak secara tegas menyebut pentingnya moral dalam negara, Mencius – yang adalah konfusian paling besar setelah Confucius sendiri – mengatakan bahwa moral akan sangat mempengaruhi jalannya pemerintahan di suatu negara.

Menurut Mencius, pemerintahan seorang raja yang bijaksana dipilih melalui instruksi moral dan pendidikan. Dengan demikian jelas bahwa kebijaksanaan pemimpin diturunkan dari moral dan pendidikan.  Sementara kebijaksanaan merupakan hal terpenting yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Jelaslah bahwa moral tidak bisa dilepaskan dari kekuasaan seseorang.

Pada pelaksanaannya, dua pandangan tersebut dilakukan secara bervariasi. Banyak pemimpin yang mengadopsi pemisahan moral dari politik dan kekuasaan – dan karenanya tidak sedikit yang menjadi semena-mena -, sementara itu tidak sedikit pula yang berpandangan bahwa moral harus menjadi dasar pijak kekuasaan dan aktivitas politik.

Moral dalam Politik dan Penegakan Hukum di Indonesia

Bagaimana dengan yang terjadi di Indonesia? Ada sebuah kecenderungan di negara ini, politisi ataupun pejabat dan pemangku kebijakan yang berkuasa menggunakan moral untuk membentuk persepsi publik atas dirinya. Moral juga dijadikan alat untuk mencapai kekuasaannya. Persoalan kemudian muncul ketika moral yang digembar-gemborkan tersebut ternyata hanya sebatas lip service atau sebatas ucapan belaka – meminjam penggalan syair lagu dangdut: “hanya di bibir saja”.

Moral hanyak menjadi hiasan kampanye politisi. Moral hanya menjadi slogan-slogan yang diucapkan dalam pidato-pidato. Pada kenyataannya para politisi tersebut justru tidak berpegang pada moral yang disebutnya itu, dan malah melakukan hal yang sebaliknya.

Sebut saja hal yang menimpa Patrialis Akbar – yang menampilkan diri sebagai pejabat yang bermoral dan selalu memperjuangkan nilai-nilai moral. Faktanya? Ia malah tertangkap tangan menerima suap – hal yang terlarang untuk seorang pejabat publik – dan yang lebih parah lagi, saat itu ia tengah berada bersama perempuan yang diduga bukan isterinya – bertolak belakang dengan sikapnya yang sering berucap menolak perzinahan dan perkawinan di luar nikah.

Apa yang menimpa Patrialis Akbar merupakan gambaran kecil dari banyak kasus lain yang terjadi di negara ini yang berhubungan dengan moralitas lip service tersebut. Tentu saja hal ini masih harus dibuktikan kebenarannya. Yang jelas, saat ini tengah terjadi penurunan tingkat moralitas dalam politik dan kekuasaan. Kasus korupsi yang terjadi misalnya, banyak menimpa pejabat negara (pejabat eselon misalnya) yang punya pendapatan besar serta posisi strategis. Korupsi juga terjadi di lembaga politik seperti DPR. Korupsi juga terjadi di lembaga penegakkan hukum seperti kepolisian, kejaksaan, hingga lembaga kehakiman seperti MK.

Dari Berbagai Sumber (K-12)

Selain korupsi, kasus yang paling sering menimpa pejabat publik dan politik berhubungan dengan perselingkuhan, penyalahgunaan narkoba, serta hal-hal lain yang bertentangan dengan moralitas. Padahal mereka-mereka inilah yang sering berbicara tentang moralitas. Makin jelas lah bahwa moralitas lip service sedang merajalela di Indonesia.

Pertanyaannya tentu saja adalah mengapa hal ini bisa terjadi? Ada banyak penyebab penurunan moral dalam politik. Dalam kaitan dengan korupsi misalnya, ada sebuah teori yang diungkapkan oleh Jack Bologne yang mengatakan bahwa sebetulnya ada 4 akar penyebab korupsi, yakni: Greed (rakus), Opportunity (kesempatan), Need (kebutuhan), Exposes (hukuman yang tidak memiliki efek jera), yang disingkat menjadi Gone Theory.

Khusus untuk greed atau keserakahan dan kerakusan sangat berkaitan dengan moralitas para pelaku korupsi. Koruptor adalah orang yang tidak puas pada keadaan dirinya, punya satu gunung emas, berhasrat punya gunung emas yang lain, punya harta segudang, ingin pulau pribadi. Hal ini tentu tidak akan terjadi jika orang secara moral-nya kuat, tidak tergoda, dan tahu bahwa korupsi artinya mencuri uang rakyat. Greed ini juga berhubungan dengan banyak hal lain selain korupsi. Perselingkuhan misalnya, terjadi juga karena greed – orang merasa tidak cukup dengan pasangan yang ada.

Moralitas lip service ini memprihatinkan. Moralitas lip service bisa juga disebut sebagai hipokrisi – istilah yang sama artinya dengan kemunafikan. Kisah tentang hipokrisi ini membawa kita kembali pada cerita zaman Yunani kuno pada abad 4 SM, tentang Demosthenes yang menghina Aeschines – seorang aktor yang kemudian sukses dalam politik karena kemampuan aktingnya dibawa serta dalam berpolitik.

Lalu, apa itu berarti hipokrisi adalah hal yang salah dalam politik? Kalau dalam konteks politik yang bermoral tentu saja hal ini bisa dianggap salah. Namun, kalau dari sisi politik sebagai pencarian rasional atas jalan untuk mencapai kekuasaan, hal tersebut tidak bisa disalahkan sepenuhnya. Bagaimanapun juga Machiavelli adalah pemikir yang rasional dan melihat politik sebagai entitas terpisah dari moralitas.

Masa depan politik yang bermoral

‘Moralitas adalah hal yang relatif dalam politik’. Mungkin hal tersebut berlebihan karena moralitas seringkali juga dikaitkan dengan urusan pribadi, which is di banyak negara seringkali tidak dicampur-baurkan dengan kepentingan politik. Perancis misalnya adalah salah satu negara yang tidak terlalu fokus pada moral para politisinya. Sebut saja Marine Le Pen, calon presiden Perancis yang pernah menikah dua kali, dan saat ini punya hubungan dengan pengurus partainya, atau Presiden Francois Holande yang oleh masyarakatnya tidak terlalu dipedulikan dengan wanita mana dia berhubungan. Namun, apakah hal yang sama bisa terjadi juga di Indonesia?

Agaknya hal tersebut sulit terjadi. Indonesia adalah negara beragama yang artinya sangat menjunjung tinggi moral. Moral adalah hal yang dijunjung tinggi di negara ini. Sampai kapan pun moral akan tetap ada dalam kekuasaan dan politik. Hanya saja permasalahannya jika moral itu hanya menjadi lip service, apa bedanya? (S13)

Exit mobile version