Denny JA, pendiri Lingkaran Survei Indonesia (LSI) menyebut Jokowi saat ini unggul atas Prabowo dalam konteks 3M: money, media dan momentum. Namun, jika politik itu dianggap setara fisika kuantum, maka ada ketidakpastian yang menghantui – prinsip Heisenberg. Pilpres AS 2016 membuktikan kekuatan money dan media tak menjadi jaminan kandidat mendapatkan momentum, bahkan seringkali kandidat yang diprediksi unggul justru memperoleh kekalahan.
PinterPolitik.com
“The reality we can put into words is never reality itself.”
:: Werner Heisenberg (1901-1976) ::
[dropcap]L[/dropcap]ayaknya Sun Tzu – sang jenderal yang terkenal karena strategi-strategi perangnya di era Tiongkok kuno – Denny JA seolah telah menginternalisasi konsep “winning before the battle” dalam konteks Pilpres 2019 mendatang. Setidaknya, hal itu tampak dari analisisnya tentang keunggulan petahana Presiden Joko Widodo (Jokowi) dibandingkan sang penantang, Prabowo Subianto.
Denny menyebut saat ini kondisi politik tidak begitu menguntungkan untuk Prabowo sebagai penantang Jokowi. Dengan status sebagai petahana, Jokowi secara langsung maupun tak langsung jelas punya lebih banyak sumber daya – termasuk sumber daya negara – untuk kepentingan politiknya.
Pada saat yang sama, Denny menyebut Prabowo justru tidak memiliki sumber daya utama yang penting untuk pemenangan dirinya. Ia bahkan secara spesifik memperkenalkan istilah 3M yang mewakili money atau uang, media, dan momentum, sebagai faktor penting yang seharusnya dikejar oleh Prabowo.
Prinsip ketidakpastian Heisenberg sangat mungkin menjadi pembalikan 3M Denny JA dan akhirnya tidak ada ukuran yang pasti untuk memprediksi hasil Pilpres 2019 nanti. Share on XMenurut Denny, ketiga hal tersebut sangat penting dalam kontestasi politik sekelas Pilpres dan akan menentukan hasil akhir kontestasi. Sementara, Prabowo kini masih sangat jauh tertinggal dari Jokowi dalam hal 3M tersebut dan tentu saja akan mempengaruhi peluang sang jenderal untuk memenangkan kontestasi elektoral di tahun mendatang.
Terkait analisis Denny tersebut, Partai Gerindra membantahnya dan menyebut kubunya justru surplus 3M. Waketum Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad misalnya menyebut kondisi saat ini justru menguntungkan Prabowo dan cawapresnya Sandiaga Uno, terutama jika berkaca pada berbagai kebijakan pemerintah di bidang ekonomi.
Artinya momentum politik telah mereka miliki, pemberitaan media juga tidak begitu merugikan pihaknya, dan money tidak menjadi hal yang penting untuk kubunya sebab rakyat telah memberikan dukungan.
Pembelaan serupa juga dikeluarkan oleh aktivis Komunitas Tionghoa Anti Korupsi (KOMTAK), Zeng Wei Jian. Dalam sebuah tulisan di portal RMOL, Zeng menyebutkan bahwa dalam konsep money-media-momentum ala Denny JA tersebut, Jokowi tidak muluk unggul dari Prabowo.
Pria yang kerap keras mengkritik Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) itu menyebut Jokowi memang memiliki sumber daya money dan ia pun punya sumber daya media lewat para taipan pemilik media yang kini ada di barisannya. Namun, menurut Zeng, momentum politik tidak juga didapatkan Jokowi. Konteks ini diperparah dengan kondisi ekonomi nasional yang saat ini babak belur.
Coba inget2 soal kasus Ahok, jangan terulang yah, pinter2 kelak-kelok diantara isu
Denny JA kan sudah bilang ada 3M, tau gak yg paling mahal apa?
Momentum
— Bung Farid (@bungfarid) October 23, 2018
Menurut Zeng, hal ini justru sesuai dengan “prinsip ketidakpastian” momentum yang ada dalam ilmu fisika mekanika kuantum. Konsep yang diperkenalkan oleh fisikawan Jerman, Werner Heisenberg ini memang menyebutkan bahwa hampir tidak mungkin mengukur kedua besaran tertentu secara bersamaan.
Heisenberg memang berbicara dalam konteks partikel mikroskopis dan atom, namun apakah mungkin mengadopsi gagasan tersebut ke dalam konteks politik Indonesia di Pilpres 2019? Lalu apakah konsep 3M Denny JA benar-benar menjadi penentu utama hasil Pilpres 2019 nanti?
3M Tak Jamin Jokowi Menang
Jika diperhatikan secara spesifik, pendapat Denny JA tentang 3M memang masuk akal, namun pada beberapa bagian masih mendatangkan perdebatan. Pasalnya dalam beberapa kasus kontestasi politik elektoral, tidak ada jaminan 3M itu mampu menghadirkan kemenangan mutlak bagi calon yang unggul dalam hal tersebut.
Money atau uang misalnya, telah menjadi persoalan utama yang membelenggu Prabowo semenjak sebelum pendaftaran dirinya sebagai capres. Faktanya, memang dalam konteks politik Indonesia yang mahal, money memiliki porsi yang menentukan. (Baca: Dana Timses Prabowo Belum Cair?)
Namun, jika berkaca pada tulisan Kirby Goidel – profesor Ilmu Komunikasi Texas A&M University – dan Keith Gaddie – profesor Ilmu Politik dari University of Oklahoma – yang berjudul Money Matters, terlihat bahwa uang tidak melulu jadi penentu utama.
Pasalnya berdasarkan data yang dipaparkan oleh Goidel dan Gaddie terkait Pilpres Amerika Serikat (AS) 2016 lalu, Donald Trump adalah salah satu kandidat yang memiliki fund raising atau penggalangan dana paling minimal dibanding kandidat yang lain, demikian pun halnya dengan dana yang saat itu ada di tangannya.
Untuk cash on hand atau uang yang ada di tangan, Hillary Clinton adalah yang tertinggi dengan jumlah mencapai US$ 33 juta, sementara Trump – sekalipun seorang pengusaha yang kaya – hanya memiliki US$ 0,3 juta.
Hal ini juga diperkuat dengan data keseluruhan spending kampanye Hillary yang mencapai US$ 768 juta berbanding hanya US$ 398 juta milik Trump. Memang tidak dapat dipungkiri, konteks Pilpres AS 2016 adalah hal yang spesial dan seringkali tidak sesuai dengan teori yang umumnya terjadi. Namun, angka-angka tersebut cukup membuktikan bahwa money tak selalu menjadi hal utama.
Hal serupa juga terjadi dalam konteks media. Memang harus diakui, saat ini hampir semua pemilik media berada di kubu Jokowi. Taipan media seperti Hary Tanoesoedibjo dengan MNC Group-nya, Surya Paloh dengan Media Group yang membawahi Metro TV dan Media Indonesia, lalu belakangan Aburizal Bakrie dan Erick Thohir yang merupakan sosok kunci di Viva Group serta Mahaka Group, semuanya telah makin terbuka merapat ke Jokowi.
Artinya, Prabowo cukup tertinggal dalam hal ini. Namun, lagi-lagi, jika berkaca pada kasus Trump, faktor peran media ini pun akhirnya terbantahkan. Trump yang bermodalkan corong Fox News saja mampu meng-counter hampir semua media yang “ada di kubu seberang”.
Denny JA memang menyebut media konvensional seperti televisi masih berpengaruh dalam pembentukan opini karena media sosial hanya mampu meraih 30-40 persen suara. Namun, kasus Trump justru membuktikan sebaliknya bahwa konteks dukungan pemilik media belum bisa memastikan kemenangan calon tertentu.
Sementara dalam konteks momentum pun demikian. Hingga kini, Jokowi sepertinya belum bisa memanfaatkan “keunggulan” dalam hal money dan media yang ia miliki untuk mendongkrak elektabilitasnya dan mendapatkan momentum politik.
Pasalnya, survei Kompas yang dipublikasikan beberapa hari lalu misalnya menyebut elektabilitas Jokowi-Ma’ruf Amin hanya menyentuh angka 52,6 persen berbanding 32,7 persen milik Prabowo-Sandi. Jika dibandingkan dengan survei Kompas pada Oktober tahun 2017 lalu di mana Jokowi hanya meraih 46,3 persen suara, peningkatan dukungan terhadap Jokowi hanya menyentuh angka 6 persen.
Bandingkan dengan dukungan untuk Prabowo yang saat itu hanya 18,2 persen. Artinya, peningkatan elektabilitas Prabowo mencapai 3 kali lipat dibanding Jokowi. Elektabilitas yang merayap inilah yang membuat Jokowi sebenarnya tidak bisa dikatakan unggul dari segi momentum. Dalam konteks ini, Prabowo jauh lebih unggul.
Apalagi dengan kondisi ekonomi Indonesia yang terpuruk – kurs rupiah yang anjlok dan utang yang membengkak – Prabowo jelas punya momentum politik yang jauh lebih besar. Denny JA sendiri menyebut momentum sebagai kondisi yang berhubungan dengan hal-hal yang tidak dapat diprediksi, misalnya krisis ekonomi dan skandal tertentu.
Denny mungkin menafikan konteks kondisi ekonomi saat ini. Namun, dalam konteks nilai tukar rupiah, defisit anggaran, dan utang, mungkin justru sebaliknya momentum kini ada di kubu Prabowo sebagai penantang. Karena konteks ekonomi ini bisa menjadi kritik, sekalipun harus diakui isu ini belum mampu dimanfaatkan dengan baik.
Bung @DennyJA_WORLD kami itu mau mengalahkan elektabilitas Jokowi, bkn mengalahkan banyaknya uang mereka.
Dan jgn kerdilkan Demokrasi hanya soal uang dan media. pic.twitter.com/qGq0yX76e5
— FERDINAND HUTAHAEAN (@Ferdinand_Haean) October 22, 2018
Prinsip Heisenberg, Berharap pada M ke-4
Pada titik inilah konteks prinsip ketidakpastian Heisenberg mendapatkan pembenarannya – setidaknya dalam kaca mata Zeng Wei Jian. Dalam konteks fisika kuantum, Werner Heisenberg memang mengemukakan bahwa posisi (position) dan kecepatan (velocity) dari suatu obyek tidak bisa diukur secara bersamaan. Bahkan posisi dan kecepatan yang tepat (exact) pun sebetulnya tidak ada di alam.
Jika posisi adalah media, dan velocity adalah money, maka memang tidak ada ukuran yang pasti untuk menentukan hasil akhir kontestasi politik, termasuk dalam hal momentum yang tercipta di seputarannya.
Artinya, memang ukuran 3M tidaklah mutlak menjadi jaminan keunggulan Jokowi, bahkan dalam konteks tertentu dan dari sudut pandang tertentu, hal tersebut sangat mungkin justru menguntungkan Prabowo sebagai penantang – katakanlah jika bicara tentang krisis ekonomi misalnya.
Zeng juga menyebutkan bahwa Prabowo justru memiliki M ke-4, yaitu moral force atau kekuatan moral – bisa juga disebut sebagai massa. Kelompok ini ada dalam diri gerakan emak-emak, dan yang terbaru misalnya ada dalam rencana aksi Bela Tauhid sebagai buntut pembakaran bendera HTI. Jika mampu memaksimalkan hal ini, Prabowo dianggap justru sebaliknya mampu memenangkan pertarungan melawan Jokowi.
Faktanya – jika masih menggunakan analogi fisika – justru massa (biasa disebut sebagai berat benda, walaupun dalam fisika dimaknai secara berbeda) adalah faktor yang menjadi kunci dari momentum. Momentum adalah hasil kali antara massa dan velocity.
Jika massa yang berarti sekumpulan orang dianalogikan dengan massa benda, maka justru hal itulah (bersama velocity yang dianalogikan sebagai money) yang menghasilkan momentum – pada akhirnya menentukan kemenangan.
Pada titik ini, prinsip ketidakpastian Heisenberg memang sangat mungkin menjadi pembalikan 3M Denny JA dan akhirnya memang tidak ada ukuran yang pasti untuk memprediksi kemenangan kandidat-kandidat yang akan bertarung di Pilpres 2019 nanti.
Karena seperti kata Heisenberg di awal tulisan, realita yang kita sampaikan dengan kata-kata sesungguhnya tidak pernah menjadi realita itu sendiri. Dengan demikian, baik konsep 3M Denny JA maupun prinsip ketidakpastian yang diadopsi Zeng Wei Jian sangat mungkin bukanlah realita yang sedang terjadi. Segeralah ngopi sebelum anda tambah pusing! (S13)