Peran Qatar dalam kawasan Timur Tengah (Timteng) tampaknya tidak bisa dipandang sebelah mata. Negara ini kini menjadi salah satu negara Arab yang menjadi pemain utama di Timteng lewat berbagai perannya dalam menyelesaikan konflik di kawasan, termasuk dalam konflik, termasuk dalam konflik terbaru Israel-Hamas. Mengapa demikian?
Qatar semakin menancapkan pengaruhnya untuk jadi penengah di kawasan Timur Tengah (Timteng), utamanya setelah berhasil menjadi penengah negosiasi gencatan senjata Israel dan Hamas. Sekarang, negara tersebut dianggap sebagai calon pemimpin dunia Arab.
Hal ini berkat beberapa hal, yakni hubungan dekat mereka dengan Amerika Serikat (AS), komunikasi dengan Israel sejak 1995, dan dukungan dana terhadap Gaza sebesar US$1 miliar sejak 2014.
Qatar juga punya posisi unik secara diplomasi untuk meredakan kebuntuan dalam pembicaraan gencatan senjata antara Israel dan Hamas, yang juga melibatkan mediator AS dan Mesir.
Sebelumnya, perundingan gencatan senjata di antara Israel dan Hamas hampir gagal setelah Hamas menuduh Israel gagal memenuhi kesepakatan sebelum Qatar ikut campur demi mencegah semuanya berantakan.
Kunjungan publik pejabat Qatar ke Israel untuk melakukan negosiasi gencatan senjata menjadi momen bersejarah kedua negara yang tidak mempunyai hubungan diplomatik ini.
Pada 9 November, pejabat AS bertemu dengan pemimpin Qatar dan kepala intelijen Israel Mossad untuk membahas kesepakatan dengan Hamas.
Ini juga seakan menekankan pengaruh besar negara kecil di Timteng yang super kaya itu untuk menyelesaikan konflik negara-negara Timteng.
Keterlibatan Qatar dalam perundingan gencatan senjata antara Israel dan Hamas pun kemudian membuahkan hasil, kedua belah pihak pun menyetujui adanya gencatan senjata sementara.
Peran serta Qatar dalam menunjukkan kekuatan diplomatiknya untuk menyelesaikan konflik di kawasan bukan terkait konflik antara Israel dan Hamas saja.
Sebelumnya, Qatar juga pernah menjadi pemain utama negara-negara Arab dalam koalisi pimpinan NATO di Libya pada 2011 lalu dan memainkan peran penting dalam usaha mengatasi konflik kawasan.
Hal ini menujukkan jika Qatar menjadi negara yang patut diperhitungkan kekuatannya di kawasan Timteng. Terutama, kekuatan negosiasi dan diplomatiknya.
Lantas, mengapa Qatar kini menjadi salah satu negara yang cukup berpengaruh di kawasan?
Faktor Kedekatan dengan AS?
Qatar memainkan peran signifikan dalam mencapai kesepakatan gencatan senjata antara Israel dan Hamas meskipun tanpa memiliki hubungan diplomatik formal dengan Israel.
Kunci dari keberhasilan Qatar dalam mediasi ini dapat dipahami melalui prisma teori geopolitik yang melibatkan dinamika regional dan hubungan internasional yang rumit.
Kebijakan luar negeri Qatar yang proaktif dan jaringan hubungan yang kuat telah memungkinkannya untuk berperan dalam menengahi konflik yang kompleks di kawasan.
Meskipun tidak memiliki hubungan diplomatik formal dengan Israel, Qatar memiliki kepentingan strategis untuk mempertahankan stabilitas di kawasan tersebut.
Ini tercermin dari kedekatan Qatar dengan AS yang telah menjadi mitra strategis dalam berbagai bidang, termasuk keamanan. Kehadiran pangkalan militer AS Al Udeid di Qatar memiliki dampak besar dalam hubungan kedua negara.
Pangkalan militer AS terbesar di Timteng ini tidak hanya memperkuat hubungan bilateral, tetapi juga memberikan Qatar akses ke informasi strategis dan keamanan regional.
Selain itu, eksistensinya memberi Qatar legitimasi dalam peran mediasinya, memperkuat posisinya sebagai pemain penting dalam politik regional.
Hal itu sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Robert Keohane dan Joseph Nye pada konsep interdependence atau adanya saling ketergantungan dalam sebuah hubungan antar negara.
Interdependensi adalah fenomena di mana tindakan atau keputusan satu negara memiliki dampak signifikan pada negara-negara lainnya.
Mereka juga menyoroti bahwa dalam situasi interdependensi yang tinggi, negara-negara cenderung mempertimbangkan dampak dari keputusan mereka terhadap negara lain, sehingga mendorong adanya kerjasama dan ketergantungan.
Hal ini terlihat dari hubungan AS dan Qatar, mereka mendapatkan keuntungan dengan adanya pangkalan militer AS di Qatar. Seperti yang diketahui, negeri Paman Sam pastinya mendapatkan keuntungan dengan adanya pangkalan mereka di Qatar.
Sementara itu, Qatar sendiri mendapatkan keuntungan karena hal itu akan berpengaruh terhadap daya tawar mereka di kawasan.
Oleh karena itu, selain faktor kekuatan diplomasi dan negosiasi, kedekatan mereka dengan AS membuat akhirnya menjadi negara yang diperhitungkan di Timteng.
Di masa depan, Qatar kemungkinan akan terus memainkan peran penting dalam upaya penyelesaian konflik di Timteng, dan hubungan kuatnya dengan AS akan tetap menjadi salah satu pilar utama dalam geopolitiknya.
Diterima Semua Pihak
Banyak negara di dunia mendambakan peran mereka sebagai juru damai sebuah konflik untuk dapat mempertegas pengaruhnya dalam politik internasional.
Sejauh ini, negara Emir Qatar Sheikh Tamim bin Hamad Al Thani itu berhasil menjadi negara yang dapat memainkan peran itu dengan cukup baik.
Sebelum sukses menjadi negosiator gencatan senjata Israel dan Hamas, Qatar telah sukses dalam berbagai diplomasi internasional. Salah satunya, pada tahun 2020 lalu, Qatar sukses menjadi penengah antara AS dan Taliban di Afghanistan.
Munculnya Qatar sebagai negara yang menjadi negosiator dalam beberapa konflik menjadi sebuah anomali dalam politik internasional. Selama ini, banyak yang memandang hanya negara dengan kekuatan besar saja yang bisa mempengaruhi keputusan masalah global.
Namun, dengan hadirnya Qatar seolah membuktikan negara yang tidak memiliki hard power pun memiliki kapasitas dan sama efektifnya dengan negara besar dalam politik internasional.
Padahal, pada era tahun 1990-an, Qatar masih berada dibawah bayang-bayang Arab Saudi. Tapi, sejak awal abad ke-21, Qatar mulai aktif dalam keterlibatan internasional agar membuat mereka tidak bergantung lagi pada Arab Saudi.
Jika dilihat berbagai konflik yang difasilitasi Qatar, terlihat jika mereka dapat diterima segala pihak. Bahkan, termasuk Israel yang tidak memiliki hubungan diplomatik dengan mereka.
Hal itu adalah buah dari sikap netral Qatar yang konsisten. Bagaimana tidak, Qatar bisa menampung tokoh-tokoh politik yang membuat kebanyakan negara-negara Arab alergi, tapi juga disisi lain menjadi pangkalan militer AS.
Seperti ketika tokoh pimpinan Hamas yang terusir dari Suriah pada 2012 lalu setelah menentang pemerintahan Bashar Al Assad, Qatar bersedia menampung mereka di negaranya.
Selain sikap netralnya, Qatar juga tak segan berkomitmen membantu secara finansial pasca konflik. Sejatinya, hal itu yang membuat pihak-pihak yang berkonflik bersedia menerima mereka sebagai fasilitator damai.
Melihat hal itu, Qatar seakan “mengajarkan” dunia internasional untuk menjadi mediator konflik yang efektif dengan modal netralitas dan kesanggupan membantu secara finansial pihak-pihak yang berkonflik.
Tanpa kedua hal itu, kiranya akan sulit bagi negara manapun untuk menjadi mediator konflik internasional dan menyaingi kemampuan Qatar dalam diplomasi dan negosiasi di kancah perpolitikan internasional. Menarik bukan? (S83)