Site icon PinterPolitik.com

Qatar Dibully?

Foto: istimewa

Konflik di kawasan Timur Tengah jauh lebih kompleks dari yang dibayangkan. Sejak zaman perang dingin, Amerika Serikat dan Uni Soviet (Rusia) memang telah mengacak-acak Timur Tengah, termasuk mendukung dan membiayai gerakan radikalisme.


PinterPolitik.com

“Peace is not absence of conflict, it is the ability to handle conflict by peaceful means” – Ronald Reagan (1911-2004)

[dropcap size=big]T[/dropcap]imur Tengah kembali memanas, setidaknya demikianlah judul besar yang dipakai oleh media-media nasional maupun internasional untuk menggambarkan kondisi yang saat ini sedang terjadi di kawasan tersebut. Tajuk itu dipakai untuk menjelaskan kondisi yang saat ini menimpa Qatar yang diputushubungan oleh tujuh negara tetangganya. Ketujuh negara yang resmi memutuskan hubungannya dengan Qatar adalah Arab Saudi, Bahrain, Uni Emirat Arab (UEA), Yaman, Mesir, Libya dan Maladewa.

Negara-negara tersebut menuduh Qatar mendanai berbagai kelompok radikal yang saat ini sedang mengganggu beberapa negara di Timur Tengah. Qatar juga dianggap menjalin hubungan dengan Iran yang tidak lain adalah musuh Arab Saudi dan sekutunya. Otoritas pemerintah Arab Saudi telah menutup wilayah perbatasan daratnya dengan Qatar dan memutus semua distribusi barang ke Qatar. Hal ini tentu berdampak bagi Qatar, mengingat pasokan bahan makanan dan kebutuhan sehari-hari masyarakat Qatar mayoritas didatangkan dari Arab Saudi.

Selain itu, maskapai seperti Etihad Airways, Emirates dan Flydubai akan menghentikan penerbangan ke Qatar. Otoritas negara-negara tersebut juga akan menutup bandara-bandara mereka dari Qatar Airways. Ketujuh negara tersebut ditengarai sedang melakukan politik isolasi pada Qatar. Tentu banyak yang bertanya-tanya, ada apa di balik keputusan tersebut? Apakah hanya semata karena persoalan tuduhan mendanai gerakan terorisme ataukah karena persoalan lain?

‘Duri’ di Kawasan Teluk

Beberapa pekan lalu, publik di Arab Saudi dan Qatar dikejutkan dengan pemberitaan yang dimuat oleh kantor berita milik pemerintah Qatar. Pemberitaan itu memuat pernyataan Emir Qatar, Sheikh Tamim bin Hamad Al Thani yang memuji Israel dan Iran, dua musuh terbesar Arab Saudi di kawasan tersebut. Otoritas Qatar mengatakan bahwa berita tersebut adalah palsu dan kantor berita pemerintah dibajak oleh hacker – pernyataan yang tidak diterima sepenuhnya oleh Arab Saudi. Kalau pun benar demikian, maka boleh jadi konflik ini adalah salah satu kasus konflik yang disebabkan kejahatan cyber yang tentu saja belum banyak terjadi.

Puncaknya adalah ketika Sheikh Tamim mengucapkan selamat atas terpilihnya Hassan Rouhani sebagai presiden Iran beberapa hari kemudian. Hal tersebut dianggap sebagai tindakan ‘menantang’ yang dilakukan Qatar terhadap Saudi Arabia. Atas persoalan tersebut – ditambah tuduhan bahwa Qatar mendanai gerakan ekstrimis di Bahrain – menjadi alasan negara-negara tetangga mengisolasi Qatar.

Terjadilah demikian, Qatar, sebuah negara semenanjung kecil di antara negara-negara anggota Gulf Cooperation Council (GCC/Negara Teluk) – organisasi yang beranggotakan Arab Saudi, UAE, Oman, Qatar, Bahrain dan Kuwait – diisolasi oleh Arab Saudi – negara yang luasnya mencapai 186 kali wilayah Qatar – dan negara-negara lain di sekitarnya. Qatar sendiri memprotes kebijakan tersebut dan menganggap keputusan itu tidak punya dasar yang jelas. Lalu apakah hanya karena alasan membiayai teroris Qatar kemudian diisolasi?

Faktanya, konflik di kawasan Timur Tengah jauh lebih kompleks dari yang dibayangkan. Sejak zaman perang dingin, Amerika Serikat dan Uni Soviet (Rusia) memang telah mengacak-acak Timur Tengah, termasuk mendukung dan membiayai gerakan radikalisme. Amerika Serikat dengan menggandeng Arab Saudi dan sekutunya disebut-sebut ikut membiayai penyebaran paham-paham radikal sebagai upaya untuk menghadang pengaruh Uni Soviet di Asia Tengah. Al-Qaedah merupakan salah satu contoh organisasi yang dibiayai oleh pemerintah Amerika Serikat untuk menghadapi invasi Soviet di Afghanistan pada tahun 1979.

Setelah Uni Soviet hancur, benih-benih gerakan radikal tersebut akhirnya bertransformasi menjadi gerakan terorisme modern yang saat ini ada di mana-mana. Arab Saudi dan sekutunya negara-negara teluk juga berperan besar dalam penyebaran radikalisme selama perang dingin untuk membantu Amerika Serikat melawan pengaruh Uni Soviet.

Situasi ini memburuk dengan makin menguatnya politik identitas Islam Sunni dan Islam Syi’ah – dua aliran dalam agama Islam di Timur Tengah. Karena Islam Sunni dianut oleh Arab Saudi dan semua negara Teluk serta mayoritas negara Timur Tengah lainnya, maka keberadaan pemeluk Islam Syi’ah dianggap sebagai ‘duri di dalam daging’ di kawasan tersebut. Sementara kelompok-kelompok sisa-sisa ekstrimis – yang dulunya dibiayai oleh Amerika Serikat – tidak sedikit yang memanfaatkan pertentangan Syi’ah dan Sunni untuk mendapatkan dukungan.

Peta penyebaran pemeluk Islam Sunni dan Islam Syi’ah (Foto: businessinsider.com)

Hal ini bisa dilihat dalam kasus konflik yang terjadi di Yaman yang salah satunya diprakarsai oleh keberadaan pemberontak Houti yang beraliran Syi’ah. Arab Saudi ikut menggempur para pemberontak Houti, sementara Iran yang menganut Islam Syi’ah membantu para pemberontak tersebut. Hal yang serupa – namun tidak sama – juga terjadi di Suriah di mana Arab Saudi mendukung para pemberontak, sementara pemerintahan Bashar al Assad – seorang muslim Alawi (salah satu cabang sinkretisme aliran Islam Syi’ah) – didukung bahkan dibantu persenjataan dan pendanaannya oleh Iran.

Kasus tersebut juga terjadi di Irak, negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam Syi’ah. Sementara di Libya – yang merupakan salah satu dari 2 sekutu Iran di jazirah Arab selain Suriah – hal yang sama dilakukan untuk meredam Muamar Gaddafi yang mendukung Iran dalam perang Iran vs Iraq.

Negara-negara sekutu Arab Saudi juga ikut terlibat dalam konflik-konflik yang terjadi di beberapa negara di Timur Tengah. UAE dan Qatar sangat berperan dalam konflik di Libya. Kuwait, Oman, UAE, dan Qatar adalah negara teluk yang ikut dalam Operation Enduring Freedom (OEF) di Afghanistan. Sementara konflik di Irak – termasuk dukungan untuk ISIS – adalah bagian dari upaya Arab Saudi untuk melawan pengaruh Iran di Iraq yang mayoritas masyarakatnya menganut Islam Syi’ah.

Hal inilah yang menyebabkan konflik di Timur Tengah lebih terlihat sebagai perebutan pengaruh atau yang sering disebut sebagai proxy war. Perbedaan antara Sunni dan Syi’ah merupakan hal yang oleh negara-negara Timur Tengah sendiri dianggap sebagai sumber konflik utama. Ini bisa dilihat dari keterlibatan Arab Saudi dalam perang di Yaman melawan pemberontak Syi’ah. Bahkan Arab Saudi disebut-sebut ‘membantu’ ISIS untuk memenangkan kota-kota di Irak yang berpenduduk muslim Syi’ah dan mendorong agar Iraq tidak dipimpin oleh pemerintahan Syi’ah. Negara teluk lain seperti Bahrain juga disebut-sebut ikut serta dalam memberikan bantuan pada ISIS.

Sementara Amerika Serikat – terutama bagi faksi-faksi dalam kompleks industri militer – hanya mengamati dan mengambil keuntungan dari konflik tersebut – misalnya dengan menyediakan persenjataan atau menyewakan tentara bayaran (mercenary).

Mengapa Qatar?

Dalam konteks inilah Qatar yang awalnya adalah sekutu Arab Saudi dituduh telah melakukan ‘gerakan yang membahayakan keamanan regional’ – demikian bahasa tuduhan tersebut. Untuk beberapa waktu, Qatar memang menjadi aktor penting dalam upaya penumpasan terorisme dan radikalisme. Bahkan Amerika Serikat sendiri mengakui hal tersebut dalam salah satu cuitan keduataan Amerika Serikat di Qatar pada tahun 2016 lalu.

Namun, bagi negara-negara seperti Arab Saudi, Bahrain, UAE, dan sekutu-sekutnya, Syi’ah adalah gerakan ekstrimisme – hal yang membuat negara-negara itu selalu terlibat dalam perang-perang di Timur Tengah yang ada hubungannya dengan Syi’ah. Hal inilah yang membuat perbedaan aliran tersebut menjadi hal yang sangat sensitif. Bukan tidak mungkin kalau Qatar tidak berubah sikap, apa yang terjadi di Libya atau Yaman dapat terulang kembali.

Kunjungan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump ke Arab Saudi beberapa waktu lalu dan pernyataannya yang mengajak negara-negara Islam untuk memusuhi Iran seolah menjadi legitimasi bagi Arab Saudi untuk bertindak dengan ‘lebih keras’. Qatar adalah korban pertama sikap ‘lebih keras’ yang ditunjukkan oleh Arab Saudi. Sikap keras ini kemudian didukung sendiri oleh Trump dalam cuitannya di twitter.

Padahal, Qatar adalah bagian dari negara-negara teluk sekutu Amerika Serikat. Amerika Serikat memiliki pangkalan militer di Qatar, tepatnya di Al Udeid Air Base, yang terletak di barat daya Doha. Dalam kunjungannya ke Arab Saudi beberapa waktu lalu, Trump sempat memuji Qatar sebagai ‘rekan’ dan ada dalam ‘hubungan yang baik’. Namun, saat ini sepertinya hal tersebut telah dilupkan.

Hamad Al Thani (Foto: istimewa)

Hubungan Arab Saudi dengan Qatar sebetulnya mengalami pasang surut dalam 2 dekade terakhir. Perubahan arah kepemimpinan di Qatar mulai terlihat pada tahun 1995 ketika Hamad bin Khalifa Al Thani – ayah dari Tamim Al Thani – melakukan ‘kudeta tidak berdarah’ terhadap ayahnya sendiri Khalifa bin Hamad Al Thani. Kudeta ini menandai perubahan pada Qatar yang seolah keluar dari bayang-bayang Arab Saudi.

Hamad cenderung menjalin hubungan yang lebih dekat dengan Iran – hal yang membuat hubungannya dengan Arab Saudi sering memanas. Hubungan Arab Saudi dengan Qatar juga kembali memanas saat Hamad memberikan mandat sebagai Emir Qatar pada anaknya Tamim Al Thani. Panasnya hubungan itu terkait tuduhan bahwa Arab Saudi membantu upaya kudeta terhadap Tamim Al Thani pada tahun 2013 lalu.

Selain karena persoalan tuduhan-tuduhan terhadap Arab Saudi, keberadaan kantor berita Al Jazeera juga sering menjadi penyebab meningkatnya tensi antara Qatar dengan beberapa negara di jazirah Arab. Al Jazeera adalah kantor berita yang didirikan dan disubsidi Hamad pada tahun 1996. Karena sering memberitakan secara terbuka persoalan domestik negara-negara tetangga, Al Jazeera sering dikecam, bahkan tidak jarang jurnalisnya ditangkap.

Al Jazeera pernah diputus hak siarnya oleh Bahrain pada tahun 2000 terkait pemberitaan pemilihan umum di negara tersebut. Jurnalis Al Jazeera juga sering ditangkap oleh pemerintah beberapa negara, misalnya Mesir yang pernah memenjarakan beberapa jurnalis kantor berita tersebut. Kasus terbaru, jurnalis Al Jazeera bernama Mahmoud Hussein saat ini ditahan oleh pemerintah Mesir sejak 20 Desember 2016 lalu.  Saat ini, siaran Al Jazeera juga sudah diputus Arab Saudi seiring dengan aksi blokade terhadap Qatar.

Isu Biaya Perang?

Beberapa analisis muncul dari praktisi politik yang mengatakan bahwa pemutusan hubungan dengan Qatar yang dilakukan oleh Arab Saudi dan beberapa negara lain adalah terkait persoalan pembiayaan perang-perang yang terjadi di Timur Tengah. Bukan rahasia lagi bahwasanya atas dasar proxy war melwan Iran, Arab Saudi dan negara-negara sekutunya ikut terlibat dalam berbagai konflik yang terjadi di Timur Tengah, termasuk dalam hal pembiayaan.

Qatar memang menjadi sekutu Arab Saudi dalam perebutan pengaruh di Timur Tengah melawan Iran. Namun, belakangan Qatar menjadi dekat dengan Iran. Hal inilah yang disebut-sebut membuatnya dianggap tidak ‘sepenuh hati’ membantu Arab Saudi misalnya dalam konflik di Yaman. Adanya keterlibatan Iran dalam konflik di Yaman dianggap sebagai bahaya besar oleh Arab Saudi, mengingat Yaman berbatasan langsung dengan Arab Saudi. Di saat yang sama, kepemimpinan di Qatar yang kecenderungannya juga mulai ‘baik’ dengan Iran, dianggap tidak mampu lagi sepenuhnya dikontrol oleh Arab Saudi. Hal inilah yang membuat Arab Saudi – secara geopolitik – merasa terancam.

Kesepakatan militer bernilai ratusan miliar dollar yang terjadi antara Arab Saudi dan Amerika Serikat dalam lawatan Trump beberapa waktu lalu terjadi bukan tanpa alasan. Arab Saudi memang sedang merasa ‘terancam’ secara politik. Faktanya Qatar adalah negara dengan GDP per kapita tertinggi di dunia jika dilihat dari power purchasing parity (PPP). Cadangan devisa Arab Saudi (urutan 4 di dunia) senilai 492,9 miliar dollar tentu jauh lebih besar disbanding cadangan devisa Qatar (peringkat 45 di dunia) yang ‘hanya’ berjumlah 36,03 miliar dollar. Namun, dari sisi GDP per kapita, Qatar ada di peringkat 1 di dunia, sementara Arab Saudi ada di urutan 21. Dari sisi ekonomi, Qatar – yang walaupun secara kekuatan militer hanya menempati peringkat 90 di dunia – punya potensi mengubah peta politik di kawasan jazirah Arab dan punya kemampuan ekonomi untuk melakukan hal itu.

Isu biaya perang menjadi masuk akal jika menilik kondisi ekonomi Arab Saudi yang saat ini cukup terdampak krisis minyak global. Sementara Qatar sudah melakukan alih bidang ekonomi dan mulai lebih fokus pada investasi dan pariwisata.

Bayangkan, negara kecil ini akan menjadi tuan rumah penyelanggaran Piala Dunia Sepakbola pada tahun 2022. Gelaran akbar ini berdaya bisnis sangat besar dan akan mendatangkan efek perekonomian yang luar biasa besar di Qatar. Tentu menarik untuk ditunggu, apakah krisis diplomatik yang terjadi di Qatar ini akan berdampak pada gelaran akbar olahraga ini. Sebagai catatan tambahan, Qatar yang saat ini mempersiapkan gelaran tersebut, menghabiskan biaya 500 juta dollar per minggu untuk persiapan. Tidak terbayang seberapa kaya negara ini.

Pada akhirnya, krisis diplomatik yang menimpa Qatar yang seperti di-bully oleh negara-negara tetangganya ini akan menjadi lembaran-lembaran menarik analisis-analisis politik internasional di koran-koran pagi, atau potongan-potongan diskusi menarik di ruang-ruang kuliah hubungan internasional. Bagi masyarakat Indonesia mungkin yang terpenting adalah bagaimana negara-negara tersebut mampu mencapai solusi damai dan tidak berujung pada perang. Jika sampai terjadi perang, maka dampaknya akan sangat mengganggu perekonomian dunia, apalagi negara-negara teluk adalah pengekspor minyak terbesar di dunia.

Proxy war akan selalu menjadi warna politik di Timur Tengah, bahkan mungkin di seluruh dunia. Banyak pihak yang menilai kasus-kasus radikalisme – misalnya yang terjadi di Filipina – juga disebabkan oleh perebutan pengaruh di kawasan, apalagi di tengah pergeseran kebijakan ekonomi beberapa negara di Asia Tenggara yang mulai mengarah ke Tiongkok.

Yang jelas, bagi negara seperti Amerika Serikat, fokusnya akan selalu ada pada kepentingan ekonomi apa yang bisa didapatkan dari berbagai konflik yang terjadi. Jika mengamati pola yang sama dalam pemerintahan di negara adikuasa tersebut, maka boleh jadi akan ada perang-perang baru di masa pemerintahan Partai Republik dan Donald Trump sekarang ini. Bagi penggemar sepakbola seperti saya, mungkin yang terpenting adalah jangan sampai gelaran Piala Dunia 2022 di Qatar batal digelar, bukan begitu? (S13)

Exit mobile version