Site icon PinterPolitik.com

Python Telan Manusia, Salahkan Menhut?

Biasanya piton dengan mudah mendapat mangsa untuk di makan karena bahan makanan melimpah. Tapi, karena hutan sudah berubah menjadi kebun sawit dan hewan liar disana pun diusir petani sawit, karena dianggap hama, ular pun menjadi kelaparan. Kekurangan mangsa merupakan sebab umum ular piton memangsa manusia


PinterPolitik.com

[dropcap size=big]W[/dropcap]arga Mamuju, Sulawesi Barat digegerkan dengan penemuan ular piton yang memangsa seorang manusia yang diketahui bernama Muhammad Akbar (25), korban merupakan seorang petani sawit.  Sebelumnya ia dinyatakan hilang, karena korban tidak kunjung pulang usai memanen sawit di kebunnya.

Pada awalnya Akbar berpamitan kepada keluarganya hendak memanen sawit. Dia meninggalkan rumahnya yang berlokasi di Dusun Pangerang, Desa Salubiro, Kecamatan Karossa, Kabupaten Mamuju Tengah, pada Minggu 26 Maret 2017 sekitar pukul 09.00 WIB. Namun, setelah seharian pergi, Akbar tidak kunjung pulang.

Keluarga yang cemas meminta bantuan warga desa untuk mencari Akbar. Mereka tidak menemukan Akbar, warga hanya menemukan ular piton yang ‘bertubuh’ raksasa. Perutnya yang terlalu kembung dicurigai bukan karena makan babi hutan atau monyet, makanan alamiahnya, tapi dicurigai sebagai Akbar. Seorang warga yang curiga pun membelah perut ular yang sedang kekenyangan tersebut.

Sayatan dimulai dari bagian ekor menuju kepala secara perlahan, namun warga dikagetkan setelah sayatan sudah memasuki bagian perut. Hal tersebut dikarenakan ada benda yang menyerupai kaki manusia. Kecurigaan mereka akhirnya terbukti benar saat perut ular sepanjang empat meter itu terbuka seluruhnya. Mayat Akbar tertelungkup dilapisi lendir isi perut ular dengan panjang tujuh meter tersebut.

Bagaimana Ular Piton Bisa Memangsa Manusia?

Berita ular memangsa warga Sulawesi Barat ini pun kontan menyebar dan menjadi perbincangan para masyarakat dunia maya. Pemberitaan tersebut pun membuat  Peneliti herpetologi dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Mirza D Kusrini. Menurutnya peluang manusia dimakan piton sebenarnya kecil. Ini dalam kondisi terpaksa, piton memangsa petani sawit itu. Kasus itu memberi gambaran bahwa manusia bisa menjadi mangsa ular, akibat yang dicari untuk makan, sudah habis.

“Biasanya piton dengan mudah mendapat mangsa untuk di makan karena melimpah. Karena sudah jadi kebun sawit dan hewan liar disana diusir petani sawit, karena dianggap hama, ular kelaparan. Kekurangan mangsa merupakan sebab umum piton memangsa manusia,”tuturnya.

Seperti yang diketahui bahwa ular piton yang memangsa Akbar ini memiliki panjang tujuh meter dan panjangnya tubuh ular tersebut berkorelasi dengan kekuatan dan daya lilitnya. Semakin panjang ukurannya, akan semakin kuat daya lilitan piton terhadap mangsanya.

Menurut Mary-Ruth Low, seorang peneliti, ahli konservasi, dan ahli ular piton dari Wildlife Research Singapura menuturkan tentang mengapa ular tersebut bisa memangsa tubuh Akbar? Hal tersebut dikarenakan ular piton memiliki rahang yang besar, sehingga ia bisa membuka mulutnya selebar mungkin dan menggerakan ototnya untuk mendorong mangsa masuk kedalam perutnya.

Lalu kenapa tubuh Akbar masih utuh? Alasannya adalah karena faktor kehadiran tulang belikat manusia. Tulang itu sulit untuk dilumat oleh hewan sekaliber ular piton jadi ular piton tersebut hanya bisa menelannya saja. Untuk menelan manusia ke dalam perutnya, ular piton harus mampu menghancurkan terlebih dahulu tulang belikat manusia.

Ular mampu menelan mangsa yang lebih besar seiring dengan pertumbuhan tubuhnya. Pada beberapa kasus, ular piton biasa memangsa hewan dengan ukuran dua kali lipat lebih besar dari ukuran tubuhnya. Namun, menelan manusia bukan kebiasaan hewan melata tersebut, salah satu contoh hewan besar yang mampu ditelan ular piton biasanya sapi atau babi hutan. Hewan melata ini juga sangat lama mengolah makanan dalam perutnya, ular piton membutuhkan waktu sekitar satu bulan untuk mencerna mangsa yang sudah di makan.

Walaupun kasus ular memangsa manusia ini tergolong kasus yang sangat langka. Selain Akbar, di Indonesia ternyata ada juga kasus serupa, dalam sebuah jurnal yang disusun F. Kopstein di awal 1920-an silam bertajuk “On the swallowing of humans by P. reticulatus”, kejadias serupa terjadi di Pulai Salibabu, Sulawesi Utara, saat itu ada seorang remaja berusia 15 tahun terbunuh dan hampir dimakan bulat-bulat oleh sanca sepanjang 5,17 meter.

Selain di Indonesia, ada juga kasus serupa yang terjadi di dunia. Beberapanya adalah,

Seorang pria dimangsa ular saat sedang mabuk di India

Pada 2013 lalu, dunia dihebohkan oleh kasus ular piton yang menelan seorang lelaki yang mabuk berat. Dilansir Horrosociety, kasus yang terjadi di Attapady, India ini bermula ketika ular piton menemukan pria nahas tersebut tak sadarkan diri di jalanan dan langsung memakannya.

Seorang anak berusia 10 tahun dimakan piton di Durban, Afrika

Pada 2002, Afrika Selatan pernah digegerkan oleh kasus anak berusia 10 tahun dimakan ular piton saat bermain di pohon mangga. Seorang saksi mata yang juga teman main korban, Khaye Buthelezi, menceritakan kalau ular piton itu membelit temannya dengan erat yang membuat korban meninggal.

“Ular itu membelitnya dengan keras hingga matanya terpejam dan meninggal, ular itu kemudian membuka mulutnya dan menelan dia dari kepala ke kakinya,” ujar Khaye.

Hilangnya habitat flora dan fauna karena pembalakan hutan

foto: google

Jika melihat dari peta geologisnya, menjadi sangat wajar apabila pertemuan manusia dan satwa liar berakhir dengan cerita yang tragis. Pertemuan dan kemudian berakhir dengan tragis karena di akibatkan persaingan untuk bertahan hidup, berawal dari manusia sendiri yang “menjajah” habitat asli hewan liar termasuk ular. Karena keserakahan manusia yang melakukan penggundulan hutan dalam skala besar tanpa memperhatikan dampak negatif terhadap ekologi hutan tersebut, sehingga para satwa liar merasa terancam kehidupannya.

Pertumbuhan sub-sektor kelapa sawit memang telah menghasilkan angka – angka yang menarik untuk pemerintah agar bisa mendatangkan investor ke Indonesia. Namun pengembangan areal perkebunan kelapa sawit ternyata menyebabkan meningkatnya ancaman terhadap keberadaan hutan Indonesia karena pengembangan areal perkebunan kelapa sawit utamanya dibangun pada areal hutan konversi.

Akibat deforetasi tersebut bisa dipastikan Indonesia mendapat ancaman hilangnya keanekaragaman hayati dari ekosistem hutan hujan tropis. Juga menyebabkan hilangnya budaya masyarakat di sekitar hutan. Disamping itu praktek konversi hutan alam untuk pengembangan areal perkebunan kelapa sawit telah menyebabkan jutaan hektar areal hutan konversi berubah menjadi lahan terlantar berupa semak belukar dan/atau lahan kritis baru, sedangkan realisasi pembangunan perkebunan kelapa sawit tidak sesuai dengan yang direncanakan

Menurut data dari Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian, luas lahan perkebunan kelapa sawit nasional pada tahun 2013 seluas 10,465 juta hektar. Pada 2014 bertambah menjadi 10,956 juta hektar, dan pada 2015 sudah menembus angka 11,444 juta hektar. Kalimantan pada 2013 memiliki lahan sawit seluas 3,306 juta hektar, tapi masih kalah dengan Sumatera yang dengan perkebunan sawit seluas 7,2 juta hektar. Selanjutnya ada Sulawesi (349.464 hektar), Maluku dan Papua (135.303 hektar), dan Jawa (36.163 hektar).

Dampak negatif terhadap deforetasi menjadi bertambah serius karena pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit tidak hanya terjadi pada kawasan hutan konversi, melainkan juga dibangun pada kawasan hutan produksi, hutan lindung, dan bahkan di kawasan konservasi yang memiliki ekosistem yang unik dan mempunyai nilai keanekaragaman hayati yang tinggi.

Kasus korupsi lahan hutan

foto: google

Mudahnya akses para investor untuk melakukan pembukaan lahan di wilayah Sumatra, Kalimantan, Sulawesi hingga Papua menjadi sebuah tanda tersendiri. Apakah ada oknum dari pemerintahan yang memuluskan jalannya para investor tersebut?

Menurut peneliti Indonesia Corruption Watch, Emerson Yuntho, mengatakan sektor kehutanan memang rawan untuk dikorupsi. “Korupsinya tidak menggunakan anggaran negara, tapi penyalahgunaan jabatan untuk pemberian izin yang menyimpang demi kepentingan pribadi,” kata Emerson.

Menurut Hitungan ICW, kerugian negara akibat suap lahan hutan menyentuh angka Rp 201, 82 triliun rupiah. Kerugian itu belum termasuk implikasi bencana kebakaran hutan dan lahan yang mengepung di akhir tahun 2015 ini.

Dewan Kehutanan Nasional Hariadi Kartodihardjo mengatakan pascakemerdekaan Indonesia sejak tahun 1963, izin eksploitasi hutan tidak sesuai dengan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Sebab sumber daya alam yang pemanfaatannya seharusnya dikuasai negara, diserahkan pada mekanisme pasar. Akibatnya menjadi ajang perebutan para pemilik modal.

Beberapa tahun lalu juga sempat menguap tentang korupsi kasup suap alih hutan Riau. Gubernur Riau, Annas Maamun  pun terindikasi melakukan aksi suap. Dalam pengakuannya, Annas Maamun menyebut pernah berencana untuk bertemu dengan mantan Menteri Kehutanan yang sekarang menjadi ketua MPR, Zulkifli Hasan terkait permohonan alih fungsi hutan yang beraroma suap ini. . Namun rencananya pupus karena keburu ditangkap KPK.

Zulkifli sendiri sudah dua kali diperiksa terkait kasus hutan yang terjadi di Riau dan Bogor, Jawa Barat. Namun, tidak ada bukti yang kuat untuk menjeratnya. Karena menurut KPK, sebelum menetapkan seseorang menjadi tersangka, KPK terlebih dahulu mencari lebih dari dua alat bukti yang cukup.

Saat itu pengacara Gubernur nonaktif Riau Annas Maamun, Eva Nora, membenarkan Ketua MPR Zulkifli Hasan pernah datang ke Riau saat menjabat sebagai Menteri Kehutanan periode 2009-2014. Ketika itu datang untuk menyerahkan Surat Keputusan Penetapan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Riau.

Dalam kasus itu diketahui Annas disangka menerima suap senilai Rp2 miliar dari Gulat Medali Emas Manurung, seorang pengusaha kelapa sawit terkait dengan proses alih fungsi hutan. Barang bukti yang berhasil disita dalam OTT meliputi 156.000 dollar Singapura dan Rp 500 juta.

Dunia sudah mengetahui bahwa Indonesia memang betul-betul menjadi negara yang tak bisa merawat dan menjaga hutannya. Hutan adalah paru-paru dunia, namun kekayaan hutan dan lahan subur di Indonesia telah menghasilkan masyarakat Indonesia yang haus akan harta, dengan cara membabat habis hutan, mengkonversinya menjadi lahan penghasil kekayaan pribadi.

Para satwa liar yang tergusur pun pasti marah karena ekosistem mereka terganggu. Jadi akan sangat wajar jika tragedi satwa liar menyerang manusia terjadi lagi di waktu yang akan datang. Jika begitu, patut dipertanyakan bagaimana kinerja Menteri Kehutanan RI, apakah sudah bekerja dengan benar atau hanya menjadikan jabatannya untuk mendapatkan keuntungan pribadi? Berikan pendapatmu. (A15)

Exit mobile version