Perang Rusia dan Ukraina berlangsung hampir satu tahun lamanya. Presiden Vladimir Putin sendiri sudah memberi sinyal bahwa Rusia sepertinya mulai kewalahan. Apakah Putin telah keliru memantik peperangan?
Perang antara Rusia dan Ukraina sudah berlangsung hampir satu tahun lamanya. Ribuan korban jiwa sudah berjatuhan tidak hanya dari sisi Ukraina, tapi juga Rusia.
Sejumlah pengamat melihat perkembangan konflik ini sebagai suatu anomali. Bagaimana tidak, di atas kertas Rusia seharusnya memiliki overwhelming odds atau peluang yang jauh lebih besar dari Ukraina untuk memenangkan peperangan dalam waktu yang singkat.
Pada awalnya, banyak yang mengira Presiden Vladimir Putin tidak benar-benar serius menyerang Ukraina, karena hanya mengerahkan sedikit demi sedikit pasukannya dan tidak menggunakan alutsista unggulan Rusia.
Namun, sepertinya sekarang kita bisa mulai yakin bahwa ada yang salah dalam apa yang dilakukan Putin di Ukraina, utamanya setelah ia menyebutkan Rusia kini terbuka dengan peluang negosiasi perdamaian.
Perkembangan ini besar dugaannya karena Putin mulai sadar bahwa pasukannya memiliki sejumlah masalah logistik akibat perang yang berkepanjangan, dan mengkalkulasi bahwa jika terjadi lebih lama maka Rusia akan dirugikan.
Sebelumnya, artikel PinterPolitik berjudul Putin Tidak Sepintar yang Kita Bayangkan? menyebutkan bahwa bisa jadi ada miskalkulasi dalam perang Ukraina dari pihak Putin yang akhirnya membuat Rusia kelawahan.
Nah, di tulisan kali ini kita akan membahas salah satu kemungkinan besar sumber miskalkulasi tersebut.
Putin dan Perangkap Perang Terbatas
Beberapa orang membandingkan Perang Ukraina dengan invasi Amerika Serikat (AS) ke Irak pada tahun 2003 silam karena kedua konflik melibatkan dua negara dengan militer besar berhadapan dengan negara kecil.
Perbedaannya, seperti diungkap ilmuwan politik Francis Fukuyama, kalau di invasi Baghdad AS mengerahkan kekuatan yang besar, Rusia di Ukraina membuka konflik dengan serangan-serangan kecil.
Dan perbandingan ini akan jadi fokus pembicaraan kita.
Mungkin sedikit yang sadar bahwa invasi besar-besaran yang dilakukan AS ke Irak adalah implementasi dari bentuk pembelajaran serangan yang dilakukan Paman Sam ke Vietnam pada tahun 1965.
Kala itu, AS menjalankan perang selama lebih dari delapan tahun di sebuah negara kecil yang pada awalnya dikira akan menjadi sebuah tugas yang “mudah”. Karena itu AS mengirimkan pasukannya dalam takaran sedikit demi sedikit dan tidak menggunakan alutsistanya yang tercanggih.
Strategi “menyicil serangan” tersebut dalam dunia militer disebut sebagai strategi limited war atau perang terbatas. Tujuannya adalah untuk meminimalisir peluang melebarnya perang sekaligus menghemat kekuatan dan biaya perang. Akan tetapi, strategi ini akhirnya jadi pisau bermata dua.
Sejumlah petinggi militer AS, seperti Jenderal MacArthur menilai strategi limited war di Vietnam adalah penyebab kenapa mereka kalah. Hal ini karena jumlah dan kapabilitas militer yang sangat terbatas tidak mampu berkutik melawan musuh yang jumlahnya jauh lebih banyak dan berada di medan yang mereka pahami.
Dengan demikian, strategi ini seharusnya justru dilakukan oleh negara yang dalam posisi defensif, bukan menyerang, karena objektif utama penyerang adalah mewujudkan supremasi militer secepat mungkin.
Nah, kalau kita melihat secara seksama, apa yang dilakukan Putin di Vietnam adalah cerminan dari strategi yang pernah digunakan AS dalam Perang Vietnam. Apapun alasannya, faktanya adalah Putin tidak mengerahkan seluruh kekuatan Rusia untuk mewujudkan supremasi militer secepat mungkin, dan pada akhirnya, ini justru menyakiti operasi militer mereka yang awalnya ditargetkan hanya akan habiskan waktu beberapa hari.
Jessica Farrell dalam tulisannya The Perils of Limited War, menyebut limited war sebagai sebuah strategi konyol yang beberapa kali telah menjadi ilusi dari negara dengan kekuatan militer besar seperti AS dan Rusia karena mereka kerap meremehkan kekuatan militer negara kecil.
Analogi sederhananya, Farrell menyebut negara yang melakukan limited war layaknya seseorang yang terjun dalam baku tembak namun hanya membawa pisau. Tentu orang yang membawa pisau itu akan kewalahan.
Pada akhirnya, meskipun ini hanya interpretasi belaka, sepertinya kuat dugaannya bila Rusia yang kewalahan di Ukraina adalah akibat strategi limited war yang mereka lakukan.
Mungkin pada awalnya Rusia memang berniat hanya ingin membuat Ukraina menyerah, namun di tengah jalan mereka mulai menyadari bahwa perlawanan Ukraina sepertinya jauh lebih keras dari yang mereka duga. Putin mungkin tidak menyangka bahwa AS dan sekutu akan agresif dan masif membantu Ukraina.
Dari sini kita bisa belajar bahwa seberapa kuat pun kita pikir diri kita, jangan sampai itu membuat kita meremehkan lawan yang sedang kita hadapi. (D74)