Rusia telah melancarkan operasi militer ke Ukraina sejak 24 Februari. Mengacu pada ketimpangan kekuatan militer yang besar, muncul satu pertanyaan, kenapa Vladimir Putin belum mampu menaklukkan Ukraina? Apakah Putin tidak serius melakukan serangan?
“Let your plans be dark and impenetrable as night, and when you move, fall like a thunderbolt.” – Sun Tzu, ahli strategi Tiongkok
Jika boleh jujur, operasi militer Rusia ke Ukraina sebenarnya tidak mengejutkan. Pada Maret 2014, Rusia telah melakukan aneksasi atau pencaplokan wilayah Ukraina, yakni Krimea. Dunia internasional, termasuk NATO mengecam peristiwa ini karena dinilai sebagai pencaplokan ilegal. Di sisi lain, Rusia tegas membantah dengan menyebutnya sebagai integrasi Republik Krimea yang merdeka.
Menurut Rusia, penduduk Krimea yang meminta izin untuk menjadi bagian dari Rusia. Ini adalah keinginan rakyat Krimea untuk bergabung dengan negara yang lebih besar.
Dengan demikian, operasi militer Rusia yang dimulai pada 24 Februari sebenarnya sangat bisa diprediksi probabilitasnya. Ini yang disebut sebagai strategic surprise, yakni fenomena yang dapat diprediksi, namun tetap terjadi karena kurangnya persiapan atau tindakan preventif.
Contoh strategic surprise adalah serangan Jepang ke Pearl Harbor pada 7 Desember 1941. Yang menarik, saat itu Amerika Serikat (AS) sudah mendapatkan informasi intelijen bahwa Jepang akan menyerang. Paman Sam juga telah menempatkan berbagai alutsista di Pearl Harbor untuk menghadapi serangan.
Namun, karena terlalu percaya diri dengan penempatan berbagai pesawat dan kapal perangnya, AS menjadi menganggap enteng potensi ancaman. Akibatnya, Pearl Harbor benar-benar dibombardir oleh pesawat dan kapal perang Jepang.
Pada operasi militer Rusia terhadap Ukraina, itu juga dapat disebut sebagai strategic surprise. Pasalnya, berbagai negara telah mewanti-wanti potensi serangan. Intelijen AS bahkan pernah memprediksi Vladimir Putin akan memberi perintah penyerangan pada 16 Februari.
Well, terlepas dari kurangnya persiapan atas potensi serangan Rusia, ada satu poin menarik yang patut diperhatikan. Per 15 Maret, operasi militer Rusia genap mencapai 20 hari. Dengan fakta besarnya ketimpangan kekuatan militer kedua negara, mengapa Putin belum mampu menaklukkan Ukraina?
Putin Kurang Persiapan?
Kembali pada poin strategic surprise. Dengan kurangnya persiapan atas serangan Rusia, bukankah sangat mudah menembakkan rudal untuk membunuh Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky?
Seperti yang disebutkan Michael I. Handel dalam tulisannya Intelligence and the Problem of Strategic Surprise, keuntungan dari strategic surprise adalah meningkatkan daya hancur serangan, dan sekaligus mengurangi biaya dalam melakukan serangan.
Jika Zelensky mati di hari pertama serangan, bukankah Rusia dapat langsung mengklaim kemenangan? Sekalipun tidak demikian, seperti kata Handel, ini akan memberikan kerusakan psikologis yang luar biasa bagi Ukraina. Dan pada ujungnya, keuntungan berada di pihak Rusia.
Strategi menghantam pimpinan musuh merupakan salah satu strategi perang yang paling tua. Ini misalnya dapat dilihat dalam Thirty-Six Stratagems, yakni 36 strategi Tiongkok kuno yang digunakan dalam politik, perang, dan interaksi sipil.
Dalam strategi nomor 18 disebutkan, “Defeat the enemy by capturing their chief” (擒賊擒王, Qín zéi qín wáng). Artinya, kalahkan musuh dengan menangkap atau membunuh pemimpinnya.
Selain strategi nomor 18, jika membaca buku strategi perang Sun Tzu yang berjudul The Art of War, Putin juga tidak terlihat melakukan dua strategi utama yang paling mendasar. Pertama, seperti kutipan Sun Tzu di awal tulisan, mengapa serangan awal Putin tidak menggelegar seperti petir? Kenapa tidak langsung melakukan serangan besar untuk melumpuhkan Ukraina?
Francis Fukuyama dalam tulisannya Ukraine, Looking Backward and Forward juga melihat hal ini. Tulis Fukuyama, anehnya, tidak seperti invasi AS ke Irak pada 2003 yang langsung melakukan serangan mengejutkan dan besar, Rusia justru hanya meluncurkan sejumlah kecil rudal jelajah dan balistik.
Kedua, karena dalam perang yang paling penting adalah logistik, Sun Tzu sangat mewanti-wanti untuk memutus jalur logistik musuh. Di sini kita kembali bertanya, kenapa jalur logistik untuk membantu Ukraina tidak dihancurkan Putin? Kenapa Rusia tidak melakukan strategi pengepungan? Berbagai warga Ukraina bahkan bebas keluar dari negaranya.
Kemudian, ada pula berita tank-tank Rusia kehabisan bahan bakar. Bagaimana mungkin logistik penting seperti itu luput dari perhitungan?
Sebagai sosok yang menempa diri selama belasan tahun di badan intelijen Uni Soviet, Komitet Gosudarstvennoy Bezopasnosti (KGB), mengapa Putin terkesan kurang persiapan dalam melakukan serangan?
Dalam berbagai literatur ilmu intelijen, disebutkan bahwa seorang intelijen mestilah memiliki pemikiran yang presisi dan tajam. Mereka dilatih untuk mengumpulkan sebanyak mungkin informasi dan membuat berbagai kemungkinan.
Lantas, mengapa sosok sekaliber Putin yang belasan tahun di KGB melakukan serangan setengah-setengah seperti itu?
Mungkin ada menjawab karena Ukraina mendapatkan berbagai bantuan militer dari negara Barat dan NATO. Namun, kembali pada nasihat Sun Tzu, mengapa bantuan itu dibiarkan Putin?
Selain itu, jika dikalkulasi, bantuan-bantuan yang diberikan kepada Ukraina sebenarnya tidak besar. Ini misalnya dapat dilihat dari pernyataan Zelensky yang tengah meminta bantuan militer tambahan ke berbagai negara.
Menuju Meja Perundingan?
Atas berbagai keganjilan yang ada, terdapat dua asumsi yang dapat dibuat. Pertama, mengutip analisis Dosen Kajian Rusia dan Eropa Timur Universitas Airlangga, Radityo Dharmaputra dalam tulisannya Perluasan NATO bukan alasan utama Rusia menginvasi Ukraina, semakin besar operasi militer Rusia akan semakin menguatkan eksistensi NATO. Artinya, mungkin ada kekhawatiran dari Putin atas meningkatnya intervensi NATO yang akan memberi dampak destruktif bagi Rusia.
Namun, asumsi pertama ini memiliki pertanyaan serius. Pasalnya, kembali mengutip analisis Radityo, kekhawatiran perluasan pengaruh NATO bukanlah alasan utama Putin menyerang Ukraina. “Faktanya, sejarah dan kronologi hubungan Rusia-NATO-Ukraina justru menunjukkan bahwa NATO bukanlah isu utama di balik invasi Rusia terhadap Ukraina,” tulis Radityo.
Selain itu, seperti yang ditegaskan NATO dan juga Presiden AS Joe Biden, pihaknya tidak akan mengirimkan pasukan untuk membantu Ukraina. Yuval Noah Harari dalam tulisannya Why Vladimir Putin has already lost this war juga menyebut hal ini. Tulisnya, alasan Putin berani melakukan serangan karena mengetahui NATO tidak akan melibatkan diri secara langsung.
Nah, karena asumsi pertama gugur, yang paling mungkin adalah asumsi kedua, yakni Putin memang tidak meniatkan serangan untuk menaklukkan, melainkan untuk membuka meja perundingan. Analisis ini misalnya diungkapkan oleh pakar intelijen AS, Rebekah Koffler.
Menurutnya, Putin tengah memainkan strategi yang disebut dengan escalate to de-escalate. Menurut Koffler, berbagai serangan Putin, termasuk ancamannya menggunakan nuklir, merupakan taktik kejutan psikologis. Ini untuk mematahkan semangat dan keteguhan Ukraina dan negara Barat, hingga mereka akhirnya menyerah dan mengurangi eskalasi perlawanan. Ini yang disebut escalate to de-escalate, menyerang untuk menurunkan perlawanan musuh.
Menurut Koffler, tujuan serangan ini adalah meja perundingan. Putin tengah berusaha memojokkan Ukraina dan negara Barat untuk memenuhi tuntutan Rusia. Juru Bicara Kremlin, Dmitry Peskov, menyebutkan ada empat poin yang menjadi tuntutan Rusia yang harus disetujui Ukraina.
Pertama, menghentikan aksi militer. Kedua, mengubah konstitusi untuk menyegel status netral dengan tidak bergabung dengan blok atau aliansi militer tertentu, seperti NATO. Ketiga, mengakui Krimea sebagai wilayah Rusia. Keempat, mengakui Donetsk dan Luhansk sebagai negara merdeka atau wilayah independen.
Selain keempat poin tersebut, menurut berbagai pengamat politik, Putin juga memiliki motif politik lain. Dalam tulisannya What Next in Ukraine?, Francis Fukuyama menyebut tujuan Putin adalah meruntuhkan rezim demokrasi dan memasang pemerintahan boneka di Ukraina.
Well, sebagai penutup, mengacu pada anasir-anasir yang ada, tampaknya sangat masuk akal untuk mengatakan Putin tidak benar-benar serius menyerang Ukraina. Dengan besarnya kapabilitas militer Rusia serta persiapan Ukraina yang minim, operasi militer yang dilancarkan Putin dapat dipastikan tidak akan selama ini.
Seperti kata Rebekah Koffler, tujuan dari serangan ini adalah meja perundingan. (R53)