Cross BorderPutin Tidak Sepintar yang Kita Bayangkan?

Putin Tidak Sepintar yang Kita Bayangkan?

- Advertisement -

Menimbang pada lebarnya kekuatan militer Rusia dan Ukraina, kenapa Vladimir Putin belum bisa menaklukkan negara yang dipimpin oleh Volodymyr Zelensky itu? Apakah Putin terjebak dalam miskalkulasi di perang Ukraina? Mungkinkah Putin tidak sepintar yang kita bayangkan?  


PinterPolitik.com

“War is the realm of uncertainty” — Carl von Clausewitz

Dalam artikel PinterPolitik yang berjudul Putin Tidak Serius Serang Ukraina? pada 15 Maret, diyakini belum takluknya Ukraina karena Vladimir Putin memang tidak serius untuk menguasai negara itu. Setidaknya ada tiga alasan yang dapat dijabarkan.

Pertama, mengutip Francis Fukuyama dalam tulisannya Ukraine, Looking Backward and Forward pada 26 Februari, anehnya, tidak seperti invasi Amerika Serikat (AS) ke Irak pada 2003 yang langsung melakukan serangan mengejutkan dan besar, Rusia justru hanya meluncurkan sejumlah kecil rudal jelajah dan balistik.

Kedua, mengacu pada berbagai literatur perang yang menekankan pentingnya logistik, menjadi pertanyaan krusial, kenapa jalur logistik untuk membantu Ukraina tidak dihancurkan Putin? Kenapa Rusia tidak melakukan strategi pengepungan? 

Ketiga, sebagai sosok yang menempa diri selama belasan tahun di badan intelijen Uni Soviet, Komitet Gosudarstvennoy Bezopasnosti (KGB), mengapa Putin terkesan kurang persiapan dalam melakukan serangan?

Atas tiga keganjilan itu, disimpulkan bahwa Putin sekiranya tidak serius untuk meluluhlantakkan Ukraina. Mengacu pada lebarnya kekuatan militer kedua negara, sangat aneh sekiranya melihat Ukraina belum ditaklukkan.  

Pun demikian pada artikel PinterPolitik yang berjudul Kenapa Putin Tidak Bunuh Zelensky? pada 29 Maret. Sungguh ganjil melihat Volodymyr Zelensky dibiarkan bebas dan tidak dibunuh. Atas keganjilan ini, yang paling mungkin adalah Putin memang tidak berniat untuk membunuh Zelensky.

Namun, melihat pada perkembangan terkini perang di Ukraina, kesimpulan dalam dua artikel PinterPolitik sebelumnya mungkin telah keliru. Alih-alih Putin tidak serius menaklukkan Ukraina, mungkin yang terjadi adalah miskalkulasi dari Presiden Rusia itu.

infografis ada filsuf di belakang putin

Putin Terjebak Miskalkulasi?

Melihat pada sejarah, miskalkulasi atau salah perhitungan cukup sering terjadi, bahkan mungkin hampir selalu membayangi. Dalam tulisannya yang berjudul 2034, Francis Fukuyama menyebut berhasilnya Jepang menghancurkan Pearl Harbor pada 7 Desember 1941 adalah miskalkulasi dari militer AS. 

Menurut Fukuyama, Paman Sam terlalu percaya diri karena menilai Jepang tidak mungkin menyerang mereka karena harus menyeberangi Laut Pasifik.

Lebih menariknya lagi, intelijen AS sebenarnya sudah mendapatkan informasi bahwa Jepang akan menyerang. Namun, karena mungkin meremehkan kekuatan armada laut Jepang, serangan itu gagal diantisipasi.

Baca juga :  Megawati and The Queen’s Gambit

Masih pada Perang Dunia II, takluknya Prancis atas Jerman Nazi hanya dalam waktu enam minggu juga merupakan miskalkulasi, khususnya dalam memprediksi bentuk serangan yang diperintahkan oleh Adolf Hitler. 

Nassim Nicholas Taleb dalam bukunya The Black Swan: The Impact of the Highly Improbable, menyebut petinggi militer Prancis terjebak pada kenangan di Perang Dunia I. 

Karena Garis Maginot berhasil menahan invasi Jerman di Perang Dunia I, militer Prancis fokus untuk membangun sistem perbentengan. Namun, di sisi Jerman, mereka justru fokus memperbanyak tank dan kemudian memutari Garis Maginot.

Di abad 21, miskalkulasi dalam perang juga kembali dilakukan AS ketika menginvasi Irak. Pertama, ini tentu soal tidak ditemukannya senjata pemusnah massal. 

Kedua, mengutip tulisan Michael R. Gordon yang berjudul Presenting the depths of miscalculation in the Iraq war pada 15 Februari 2007, rencana Jenderal Tommy Franks dan para petingginya pada Agustus 2002 untuk mendirikan pemerintahan Irak yang demokratis dan stabil hanya ada dalam slide perencanaan.

Bahkan belakangan, Presiden ke-43 AS George W. Bush juga mengakui secara terbuka bahwa keputusannya untuk menginvasi Irak adalah sebuah kesalahan.

Carl von Clausewitz dalam bukunya On War pada tahun 1832, juga telah lama mewanti-wanti bahwa perang adalah realitas yang penuh dengan ketidakpastian (war is the realm of uncertainty).

Clausewitz menganalogikan perang seperti kabut karena arus informasi sulit untuk diandalkan. Sama seperti ketika terjebak dalam kabut, variabel-variabel dalam perang yang sulit untuk dikontrol membuat kita tidak dapat mengetahui dengan presisi apa yang ada di depan.

Singkatnya, seperti yang dijabarkan Clausewitz, sangat mungkin untuk mengatakan Putin tengah terjebak dalam kabut perang (fog of war). Mungkin karena merasa kekuatan militernya berada jauh di atas Ukraina, Putin kemudian terjebak pada miskalkulasi.

Selain itu, besar pula kemungkinan Putin membandingkan perang saat ini dengan invasi Krimea pada 2014. Sebelumnya, Putin berhasil mencaplok Krimea dan melihat negara-negara Barat tidak agresif ikut campur.

Namun, pada invasi saat ini, langkah aktif Zelensky dalam meminta bantuan Barat tampaknya menjadi pembeda. Sejak serangan diluncurkan pada 24 Februari, bantuan militer dan logistik dari AS dan sekutunya terus berdatangan.   

Melansir berbagai pemberitaan teraktual, Putin bahkan harus merekrut tentara baru untuk diturunkan ke Ukraina. Di sisi lain, otoritas Ukraina mengklaim keberhasilannya merebut 600 wilayah pemukiman dari pendudukan Rusia.

Baca juga :  Haji Isam: Yury Kovalchuk-nya Prabowo?
infografis warga rusia kabur dari putin

Putin Bukan Kaisar Romawi

Jika benar Putin terjebak miskalkulasi, tulisan Robert J. Sternberg yang berjudul Why Smart People Can Be So Foolish sekiranya adalah gambaran yang tepat. Menurut Sternberg, mereka yang cerdas dapat saja bertindak kurang tepat karena melakukan satu atau lebih dari lima kesesatan kognitif.

Pertama, optimisme yang tidak realistis. Kepercayaan bahwa dirinya begitu pintar sehingga merasa dapat melakukan apapun yang diinginkan dan tidak perlu mengkhawatirkannya.

Kedua, egosentrisme. Fokus pada diri sendiri dan pada apa yang menguntungkannya, sehingga mengabaikan atau bahkan sama sekali menghiraukan tanggung jawab kepada orang lain.

Ketiga, omniscience (maha mengetahui). Percaya bahwa dirinya mengetahui segalanya, sehingga lupa mencari apa yang tidak diketahui.

Keempat, omnipotence (maha berkuasa). Percaya bahwa dirinya dapat melakukan apapun yang diinginkan karena merasa sangat berkuasa.

Kelima, invulnerability (kekebalan). Percaya bahwa dirinya akan lolos dari apapun yang dilakukannya, tidak peduli betapa tidak pantas atau tidak bertanggung jawabnya hal tersebut.

Mengacu pada statusnya sebagai mantan agen KGB, sosok yang begitu berpengaruh di Rusia dan juga dunia, serta besarnya kepercayaan diri atas kekuatan militer Rusia, sangat mungkin apabila Putin terjebak dalam kesesatan kognitif yang dijabarkan Sternberg.

Jika demikian yang terjadi, Putin tampaknya perlu merenungkan nasihat Rolf Dobelli dalam bukunya The Art of Thinking Clearly. Menurut Dobelli, seseorang kerap membayangkan dirinya sebagai Kaisar Romawi yang memiliki kontrol penuh dan kekuasaan yang begitu besar.

Padahal faktanya, tidak hanya realitas penuh dengan elemen kejutan, Dobelli menyebut manusia kerap tertipu oleh kognisinya sendiri. Dalam bukunya, Dobelli merinci 99 kesesatan kognitif (bias) yang paling sering menjebak kita ketika mengambil keputusan.

Mengambil satu di antaranya, Putin sepertinya terjebak dalam illusion of control atau ilusi kontrol. Ini adalah bias yang terjadi ketika seseorang meyakini dirinya memiliki kendali atas situasi yang berada di luar jangkauan pengaruhnya.

Putin mungkin memiliki kontrol kuat di urusan domestik Rusia. Namun, jika berbicara politik internasional, seperti yang ditegaskan John Mearsheimer, itu adalah arena yang anarkis. Terdapat aktor-aktor kuat, seperti AS dan sekutunya, yang tidak akan membiarkan Rusia menjadi dalang pengatur permainan.

Putin bukanlah Kaisar Romawi. Mungkin Presiden Rusia itu harus menyadari keputusannya untuk menginvasi Ukraina adalah sebuah miskalkulasi. Mungkin pula, Putin tidaklah sepintar seperti yang kita bayangkan selama ini. (R53)

spot_imgspot_img

More from Cross Border

Unlike Jokowi, Prabowo Will Be His Own Man

More assertive foreign policy and democratic backsliding are most likely on the horizon as Prabowo Subianto becomes the next Indonesian president.

Nuklir Oppenheimer Justru Ciptakan Perdamaian?

Film Oppenheimer begitu booming di banyak negara, termasuk Indonesia. Menceritakan seorang Julius Robert Oppenheimer, seorang ahli fisika yang berperan penting pada Proyek Manhattan, proyek...

Oppenheimer, Pengingat Dosa Besar Paman Sam?

Film Oppenheimer baru saja rilis di Indonesia. Bagaimana kita bisa memaknai pesan sosial dan politik di balik film yang sangat diantisipasi tersebut?  PinterPolitik.com  "Might does not...

Zelensky Kena PHP NATO?

Keinginan Ukraina untuk masuk Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) mendapat “hambatan” besar. Meski mengatakan bahwa “masa depan” Ukraina ada di NATO, dan bahkan telah...

More Stories

Segitiga Besi Megawati

Dengarkan artikel ini: Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut. Meski belum juga terjadi, banyak yang...

Dompet Berjalan Presiden RI? #PART2

Part 2 udah ya gaes. Siapa nih nama yang kelupaan mimin sebut? Share di kolom komentar ya!

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?