Rusia selalu punya dua tiga langkah di depan negara lain dalam hal teknologi siber. Karenanya, Rusia bisa menjebol pertahanan siber negara manapun, kalau mereka mau.
PinterPolitik.com
Demokrasi modern tak lagi hanya bersandar kepada kedaulatan pemilih dan stabilitas politik untuk menyelenggarakan Pemilu.
Saat ini, ancaman terhadap demokrasi ada pada kerentanan teknologi siber penyelenggaran Pemilu itu sendiri. Baik itu sistem pemungutan suaranya, maupun sistem kampanyenya. Negara yang stabil secara politik dan mampu menjalankan Pemilu berkala pun terancam gagal menjalankan Pemilu yang adil bila sistem siber mereka lemah.
Maka, jauh-jauh hari sebelum Pemilu di Indonesia, ancaman siber harus dipahami dan dicegah sedini mungkin. Sebelumnya, pinterpolitik.com telah dua kali mencurigai Rusia dan memaparkan kemungkinan adanya ancaman siber negara beruang merah tersebut, yang bakal datang ke Indonesia di tahun 2019.
Pertama, Rusia mungkin punya kepentingan yang besar di Indonesia dengan banyaknya proyek dan investasi mereka yang juga berkontribusi positif untuk perekonomian kedua negara. Fakta ini mengindikasikan bahwa Rusia sangat mungkin ingin punya pengaruh politik lebih besar di Indonesia, dengan mendukung salah satu kekuatan politik. (Baca juga: Intelijen Rusia Pembunuh Indonesia)
Kedua, adalah dengan melihat potensi-potensi awal celah keamanan siber Indonesia. Bila Rusia semakin dekat dalam hubungan bilateral, sangat mungkin intelijen mereka juga tengah mengagendakan “serangan bawah tanah”. Tak hanya potensi intelijen konvensional, potensi-potensi intelijen siber yang memungkinkan Rusia meretas sistem Pemilu Indonesia nanti, juga harus dicegah. (Baca juga: Jokowi Lawan Intelijen Rusia?)
Menariknya, Indonesia tidak sendiri. Serangan siber-politis Rusia nyatanya selalu punya benang merah dukungan dan metode dalam memenangkan calon-calon yang mereka sukai di banyak negara.
BREAKING: Special Counsel Mueller eyes CRIMINAL CHARGES against Russians who hacked & leaking emails designed to hurt Democrats in the 2016 election.#RussiaGate #HybridWar #CyberAttack #InformationWarfare #WikiLeaks https://t.co/axKkBFk3yn
— Defending Democracy (@DefendingDemo) March 1, 2018
Tangan Kotor Rusia di Kawasan Eropa
Rusia telah terbukti melakukan intervensi siber di banyak negara sejak tahun 2004. Setidaknya sudah ada 27 negara yang menjadi korban dari aksi Rusia tersebut. Sebarannya pun luas, mulai dari negara-negara Balkan, Eropa, bahkan Amerika Serikat (AS) dan Kanada. Pemilu menjadi titik paling krusial di mana Rusia seringkali masuk dan menjadi game-changer.
Pemilu terakhir terjadi akhir pekan lalu, di Italia, di mana kekuasaan legislatif dimenangkan oleh partai populis sayap kanan (konservatif-anti UE), Movimento Cinque Stelle (Gerakan Lima Bintang), dengan perolehan suara sebesar 32 persen. Partai politik tersebut menang pada debut Pemilu mereka di Italia, mengalahkan dominasi koalisi tengah-kanan dan kanan-jauh, petahana.
Kemenangan populisme konservatif di Italia ini sekali lagi membawa angin segar bagi kelompok-kelompok di negara Eropa yang tidak menyukai establishment Uni Eropa. Rusia, di sisi lain akan diuntungkan karena punya pengaruh lebih banyak lagi di Eropa.
Ya, Rusia adalah pihak yang amat dicurigai ikut campur dalam Pemilu di Italia. Dalam artikel Why Meddle in Italy’s Election? yang ditulis di The New York Times tergambar kecemasan negara-negara Barat bahwa Italia akan menjadi korban serangan siber Rusia yang selanjutnya.
Walaupun demikian, ikut campurnya Rusia di Italia belum bisa dibuktikan kebenarannya.
Sebelum Italia, telah ada empat negara besar lain yang dicampuri Pemilu-nya oleh Rusia, yakni AS, Belanda, Jerman, dan Perancis.
AS menjadi korban pertama yang menyeruak ke permukaan dan menghasilkan segunung kontroversi. CIA dan NSA sepakat bahwa Rusia telah meretas e-voting AS dan mengubah hasil Pemilu yang akhirnya memenangkan Donald Trump. Rusia menggunakan malware yang dimasukkan melalui aplikasi, ke dalam piranti pengguna hak suara Pemilu.
Seorang peretas Rusia yang telah tertangkap dalam kasus ini, bernama Konstantin Kozlovsky, memaparkan secara lebih detil bagaimana malware milik Rusia dapat masuk menembus pertahanan antivirus, yakni melalui sebuah aplikasi bernama LDCS atau podmena.
Tak hanya itu, Kozlovsky juga mengamini adanya mesin propaganda Rusia yang menyebar di media sosial. Bahkan, menurutnya, ada andil FSB (intelijen negara Rusia) dalam pembuatan isu dan penyebarannya di media-media sosial. Berita bohong soal keterkaitan Hillary Clinton dengan komunitas pedofilia adalah salah satu contoh yang paling dahsyat.
Bahkan, serangan pembocoran dokumen rahasia negara di surel pribadi Clinton, lima hari sebelum pemungutan suara pun disebut-sebut dilakukan oleh Rusia. Clinton mengakui, bahwa serangan tersebut sepenuhnya menjadi kambing hitam kekalahannya dari Trump.
Pada kasus ini, AS menjadi contoh komplit bagaimana serangan siber Rusia menyasar semua titik: banjir berita hoaks yang melemahkan Clinton, peretasan surel yang membongkar aib Clinton, sampai peretasan sistem e-voting yang sepenuhnya dapat menjungkirbalikkan dominasi Clinton di seluruh survei.
Lalu, bagaimana dengan negara-negara lain? Belanda, Perancis, dan Jerman yang menjalankan Pemilu di tahun 2017, sepertinya telah melakukan tindak preventif dengan berkaca pada kasus AS di tahun 2016. Pengaruh Rusia minim dalam Pemilu di ketiga negara tersebut.
Belanda misalnya, pada Pemilu Maret 2017 lalu, calon dari partai kanan, Geert Wilders kuat diterpa isu kedekatannya dengan Putin. Wilders dan Putin memang saling melemparkan pujian satu sama lain. Namun, “keikutsertaan” Rusia dalam Pemilu Belanda disebut-sebut hanya sebatas penyebaran berita bohong, yang nyatanya juga tak signifikan karena Wilders akhirnya kalah.
Sedikit berbeda dengan Perancis, di mana perang siber yang cukup dahsyat terjadi. Di Perancis, Rusia disebut-sebut mendukung Marine Le Pen, calon presiden sayap kanan. Keduanya juga sering terdengar saling memuji. Bahkan, Le Pen sempat menemui Putin selama masa kampanye.
Serangan hoaks yang sama kepada Emmanuel Macron, lawan Le Pen, lalu terjadi juga, salah satunya isu bahwa Macron adalah seorang homoseksual. Serangan peretasan pun terjadi, baik kepada surel pribadi Macron, maupun surel milik partainya, En Marche!, yang membongkar banyak “rahasia dapur” partai. Akan, tetapi serangan-serangan itu juga tidak cukup memenangkan Le Pen.
Sementara itu, Rusia mendukung calon yang lemah di Jerman, yaitu Sergei Tschernow. Partai sayap kanan pimpinannya adalah partai baru yang dibentuk di tahun 2016. Dan dengan bantuan dana dan kampanye dari Rusia, juga kampanye dan propaganda masif bahkan sampai ke radio-radio, Tschernow mampu memimpin partainya mendapatkan suara 13 persen.
Sebuah prestasi luar biasa untuk partai yang baru berumur dua tahun.
Apa benang merah yang dapat diambil dari ikut campur Rusia ini? Peristiwa-peristiwa tersebut boleh jadi menunjukkan bahwa si Beruang Merah akan memberikan dukungan secara terbuka maupun semi terbuka kepada sejumlah calon di beberapa negara, yang kesemuanya adalah populis sayap kanan. Putin mendukung kandidat-kandidat tersebut karena adanya dukungan mereka kepada Rusia sekaligus sifat kritis mereka kepada Uni Eropa.
Dan secara metode, Rusia memiliki banyak varian yang digunakan untuk memengaruhi Pemilu. Metode-metode tersebut dipilih tergantung dari kerentanan negara yang ingin mereka serang. Rusia tak hanya mampu meretas sistem Pemilu. Intelijen negara tersebut juga mampu “meretas proses Pemilu”, dalam arti menyebarkan propaganda dan berita hoaks yang supermasif untuk menggiring kesadaran para pemilih.
Ancaman untuk Indonesia
Dengan memerhatikan pola yang terjadi di atas, dapat tergambar bagaimana cara Rusia ikut campur pada kontes politik di banyak negara. Rusia akan menyerang negara yang lebih lemah darinya dan menjadikannya prioritas. Negara-negara Balkan seperti Estonia, Bulgaria, Moldova, dan Hungaria punya pemimpin negara yang dimenangkan oleh Rusia dan sukses menjadi koalisi Rusia.
Di sisi lain, Rusia menghadapi kegagalan di beberapa Pemilu terakhir, terutama di negara-negara Eropa Barat. Hal ini bisa disebabkan dua hal, yakni kesuksesan negara-negara tersebut memblokade serangan siber Rusia ke sistem e-voting mereka, atau karena masyarakat sendiri tidak mudah digiring dengan berita-berita hoaks.
Secara teknologi, Rusia hampir pasti mampu mengobrak-abrik negara manapun, oleh karena kedigdayaan kemampuan mereka. Tentu saja, Indonesia juga rentan dalam hal ini.
Namun, karena di Indonesia Pemilu masih dijalankan secara konvensional, yakni dengan pencoblosan surat suara, maka kemungkinan penggunaan malware yang dilakukan Rusia di AS tidak dapat terjadi. Pertahanan siber Indonesia hanya perlu dilakukan di pusat database Pemilu yang ada di Komisi Pemilihan Umum (KPU). Rusia harus menyerang KPU dan Indonesia harus mampu memanfaatkan seluruh daya kontra-intelijen siber untuk melindungi lembaga tersebut.
Ini yang menjadi tantangan bagi seluruh kementerian terkait yang bekerja menangkal kemungkinan serangan ini. Menkopolhukam Wiranto, pada tahun 2016 telah menjanjikan adanya penguatan pertahanan siber di Indonesia, menyusul banyaknya berita-berita bohong dan malware internasional yang masuk ke Indonesia. Pada 2017, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu menyebut bahwa pemerintah tengah melatih 100 tenaga ahli siber dan akan didayagunakan untuk menangkal ancaman perang siber.
Karenanya, efek nyata dari Rusia di Indonesia sebenarnya hanya terkait masifnya berita-berita bohong. Untuk faktor ini, kesuksesan Rusia akan tergantung daripada respon masyarakat yang terpapar informasi-informasi macam ini.
Bila masyarakat dapat termakan berita bohong begitu saja, katakanlah dengan menerima berita dari sumber tidak terpercaya dan tidak melakukan pengecekan silang, maka strategi pecah belah ala Rusia dapat terjadi. Secara sosial, Rusia akan mampu mengacak-acak masyarakat dengan penggiringan opini melalui berita bohong.
Sementara itu, bila melihat tren dukungan Rusia kepada calon populis kanan, adakah calon yang serupa di Indonesia?
Pinterpolitik.com pun sudah menduga adanya kemungkinan Prabowo Subianto akan menjadi kubu yang didukung oleh Rusia. Semua hal tersebut mungkin terjadi karena latar belakang kedekatan, kesamaan kepentingan, serta ideologi Prabowo itu sendiri. (Baca juga: Menuju Bangkitnya Fasisme Indonesia)
Jika demikian, apakah itu berarti masyarakat harus menghindari untuk memilih Prabowo? Tentu saja tidak. Bagaimanapun juga calon presiden diukur dari gagasan dan kapasitasnya. Pada saat yang sama, tangkal siapapun calon presiden yang menggunakan hoaks untuk menang—entah itu Prabowo, Jokowi, atau siapa saja.
Yang jelas, masyarakat patut mewaspadai, bahwa di mana pun juga, kontes demokrasi bernama Pemilu akan sangat mudah disusupi oleh kepentingan negara asing. (R17)