Rusia adalah sinonim dari Putin. Pemilihan presiden Rusia 2018 pun sinonim dengan Putin. Simpelnya, semua yang ada di Rusia adalah sinonim Putin.
PinterPolitik.com
“The task of the government is not only to pour honey into a cup, but sometimes to give bitter medicine.”
-Vladimir Putin-
Bukan tanpa alasan Kepala Biro New York Times Moscow, Neil MacFarquhar mengatakan bahwa Pemilu Rusia 2018 tak lagi relevan diperbincangkan. Putin yang memiliki elektabilitas di atas 85 persen sudah bisa dipastikan meraih kemenangan.
Sebabnya, oposisi saat ini seperti masih harus berjibaku di kubangan lumpur. Sementara Putin menembaki mereka dari pos jaga. Bukan tanpa alasan analogi itu dipakai, saat ini pemimpin oposisi Alexei Navalny tengah dipenjara terkait tuduhan penggelapan, sehingga meninggalkan kelompok oposisi tanpa kepala.
Navalny dipastikan tidak dapat bertarung melawan Putin tahun depan. Maka, oposisi sepertinya tetap harus menahan hasrat politik, karena lagi-lagi kedigdayaan Putin akan membungkam seluruh lawan politiknya. Ini bisa menjadi kali keempat Putin memenangkan Pemilu.
Kekuasaan Putin memang begitu besar di Rusia. Dari majalah dan koran berita sampai tabloid gosip, hampir semua memberitakan kebaikan Putin. Bahkan, Putin juga hadir dalam bentuk seni-seni populer. Putin digambarkan sebagai sosok kuat pelindung Rusia dan sering disamakan dengan cyborg ataupun beruang Rusia.
Hebatnya, Putin tidak menanamkan kesadaran tersebut dengan cara totalitarianisme represif, amat berbeda misalnya dengan yang dilakukan dinasti Kim di Korea Utara. Putin tidak terlihat narsistik dan mengultuskan sosoknya sendiri. Kesadaran tersebut lahir secara alamiah dari masyarakat di tengah proses Rusia ‘berdemokrasi’. Ya, demokrasi ala Rusia.
Lalu, seperti apa demokrasi ala Rusia yang membesarkan Putin? Bagaimana Putin mampu mempertahankan kekuasaannya dengan demokrasi?
Lantas, benarkah Putin lebih hebat dari penguasa tiga puluh dua tahun Indonesia, Soeharto?
Managed Democracy
Banyak studi mencoba memahami bentuk demokrasi yang dijalankan oleh Putin. Fareed Zakaria (2002) menyebutnya dengan terminologi demokrasi iliberal. Sementara Timothy Colton dan Michael McFaul (2003) menyebut managed democracy sebagai padanan kata yang paling tepat. Sepakat, managed democracy atau demokrasi yang telah diatur adalah sistem demokrasi yang dibangun oleh Putin.
Di bawah Putin, demokrasi telah diatur dan dijalankan sebagai bungkus sistem tanpa subtansi, mengutip para pemuja demokrasi. Pemilu dijalankan secara berkala, namun peraturannya dirombak agar Putin dapat berkuasa lagi. Pindah jabatan sebagai perdana menteri sambil menempatkan ‘boneka’ di posisi presiden pun pernah ia lakukan. Sampai aturan dan regulasi tak menghambat Putin berkuasa, barulah pada 2012, Putin kembali menjabat sebagai presiden.
Tak berkonotasi negatif, adanya managed democracy justru memiliki sisi positif bagi publik. Pertama, karena di bawah Putin, Rusia tidak dikuasai oleh oligarki seperti masa Yeltsin. Dengan memenjarakan salah satu oligarki, Mikhail Khodorkovsky dengan tuduhan korupsi, Putin menanamkan ketakutan di mata oligarki sejak awal kekuasaannya. Relasi kuasa seperti ini, tentu saja, amat berbeda dengan kondisi di Amerika Serikat misalnya, negara ‘rumah’ demokrasi namun dengan kuasa oligarki yang amat besar.
Kedua, dengan adanya managed democracy, maka budaya politik konservatif, budaya patriarki, anti-neoliberalisme, kebutuhan publik akan ketokohan politik, hingga dominasi Gereja Ortodoks dapat terakomodasi oleh Putin. Putin sadar, masyarakat Rusia tidak cocok dengan sistem demokrasi liberal dan kapitalisme seperti yang diterapkan Yeltsin, yang mesra dengan Presiden AS Bill Clinton kala itu.
Maka, langkah terakhir managed democracy Putin dilakukan dengan mengawasi dua pilar demokrasi di level masyarakat, yakni media massa dan partai politik. Putin menguasai media massa melalui tangan pemerintah yang dikombinasikan dengan tangan-tangan oligarki. Russia TV, televisi nasional terbesar dimiliki oleh pemerintah. Sementara itu, televisi-televisi lain adalah gabungan kepemilikan pemerintah dengan oligarki. Misalnya, Boris Berezovsky dan Vladimir Gusinsky yang memiliki NTV-ORT, serta Roman Abramovich yang memiliki sebagian saham Channel One.
Putin pun menguasai peta partai politik dengan memastikan partai-partai politik yang masuk The State Duma (parlemen) adalah pendukungnya, melalui proses dalam masa transisi parlemen. Pun kemudian, salah satu partai baru yang tak masuk parlemen, Right Cause, disebut sebagai ‘kaki tangan’ Putin. Mereka bertugas ‘mengacak-acak’ kantung suara dan dukungan pemilih oposisi. Sehingga Putin begitu sukses memberi jarak oposisi dengan kekuasaan riil di dalam pemerintahan.
Prinsipnya, dalam mengontrol media massa dan partai politik, Putin tidak menggunakan represi terlebih dahulu. Namun membangun sistem untuk menangkal potensi bangkitnya oposisi terlebih dahulu.
Lebih Hebat dari Soeharto?
Sementara itu, jika dibandingkan dengan Indonesia, cara yang berbeda digunakan Soeharto dalam mempertahankan kekuasaan. Di awal kekuasaannya, Soeharto malah menyederhanakan partai politik menjadi dua buah, partai nasionalis dan partai Islam, lalu menempatkan Golkar sebagai kekuatan ketiga. Kebijakan ini justru menggambarkan represi politik yang secara gamblang dilakukan Soeharto.
Dengan cara itu, Soeharto tidak hanya gagal mengaburkan pemetaan partai, ia juga justru mempertegas sikap partai oposisi. Menciptakan kekuatan oposisi biner yang perlahan-lahan dapat menguat. Terbukti, beranjak semakin menguatnya Partai Demokrasi Indonesia (PDI), Soeharto yang ingin mengacak-acak dengan menempatkan PDI versi Soerjadi, justru gagal membendung popularitas PDI versi Megawati.
Soeharto pun tidak membuat jejaring kekuasaan media massa dengan baik. Sejak awal, Soeharto hanya menggunakan TVRI sebagai kanal komunikasi. Lalu, dengan tumbuhnya televisi swasta dan media cetak, represi Soeharto pada akhirnya tidak mampu mengendalikan media-media tersebut. Terbukti, bagaimana peran televisi swasta seperti RCTI dan SCTV maupun harian seperti Tempo dalam kampanye menjatuhkan kekuasaan Soeharto pada 1997-1998.
Adanya represi yang semakin dirasakan oleh umat Islam juga menjadi kegagalan Soeharto dalam mempertahankan kekuasaan. Soeharto gagal besar dalam merangkul Islam sebagai kekuatan politik terbesar di Indonesia. Yang ada, justru hanya memori represi bersenjata kepada umat Islam, seperti Tragedi Tanjung Priok. Kontras tentunya, bila melihat bagaimana Putin memiliki legitimasi religius yang amat kuat sampai saat ini.
Dan sekali lagi, Soeharto menguasai pemerintahan dengan amat militeristik. Hampir semua pos jabatan strategis diisi oleh pejabat militer bawahannya, dalam rangka menjaga stabilitas politik. Namun, tidak begitu dengan Putin. Ia tetap berhasil menjaga stabilitas dengan pejabat dan birokrat sipil dalam tubuh pemerintahannya. Membantah teori korelasi militer dan stabilitas politik pada umumnya.
Juga, Soeharto adalah ‘bapak’ yang melahirkan Oligarki. Sementara Putin, ia merangkak dari bawah, meraih kepercayaan dari oligarki The Family Yeltsin, secara cermat mengambil celah kekosongan kekuasaan Yeltsin, kemudian setelah meraih singgasana… Dor! Ditembaklah kepala oligarki yang terkuat. Sisanya? Takut dengan Putin dan diikat sekuat-kuatnya untuk setia kepada pemerintahannya.
Bagaimana tidak sepuluh kalinya Soeharto?
Penguasaan atas kalangan elit-oligarki, yang dikombinasikan dengan penguasaan atas konservatisme dan budaya otoritarianisme yang kuat di masyarakat, memang menjadi resep jitu Putin berhasil dan akan tetap berada di pucuk kekuasaan.
Putin sadar, masyarakat Rusia yang telah ratusan tahun dipimpin oleh otoritarianisme monarki Tsar, dan lebih dari setengah abad dipimpin otoritarianisme komunis Bolshevik, memang tidak akan pernah lepas dari paham itu.
Dengan kata lain, Putin seolah ingin menjadi ‘otoritarianisme demokrasi’ bagi Rusia.
Apa yang Bisa Membuat Putin Turun?
Putin terbukti begitu populer, bahkan sosoknya sudah menjadi pop culture masyarakat Rusia. Dengan kuasanya yang ‘lebih besar dari besar’ seperti itu, asumsi awam bisa menyebut Putin hanya akan jatuh setelah jatuhnya ekonomi Rusia.
Namun, sepertinya skenario itu pun tak akan terjadi.
Rusia sempat mengalami tiga kali kemerosotan ekonomi pada era Putin, yakni pada awal kepemimpinannya tahun 1999, kemudian 2008, dan 2016-2017. Namun, ketiga kasus itu tak membuktikan kemerosotan popularitas Putin. Perbaikan ekonomi Rusia yang amat drastis dilakukan sejak Putin menjabat, nampak telah membekas kuat di benak masyarakat. Puncak penguatan ekonomi terjadi pada tahun 2014, di mana PDB Rusia mencapai 2.098,8 miliar USD. PDB terbesar kedua setelah Amerika Serikat.
Hanya satu isu yang kemungkinan bisa (walaupun kecil kemungkinan) menjatuhkan Putin, yakni korupsi. Belakangan, Putin memang cukup dikeroyok dengan isu korupsi. Pada Maret 2017, ada gelombang demonstrasi yang besar di seratus kota di Rusia, yang memrotes merebaknya isu korupsi para pejabat.
Tapi, tentu Putin bereaksi dengan santai dan biasa saja. Mungkin dia tahu, reaksi masyarakat ini adalah akibat dari resesi ekonomi dunia yang juga berimplikasi kepada Rusia dua tahun terakhir. Pasti akan normal kembali kok. Atau, para pendemo ini juga sudah diberi plot untuk akhirnya masuk pemerintahan saja? Hehe sia-sia deh anti-anti sama Kremlin.
Tenang Rusia, perhelatan Piala Dunia 2018 di sana mungkin akan menyelamatkan perekonomianmu. (Baca juga: Asian Games 2018: Untung atau Buntung?)
Dengan demikian, benarlah legenda hidup Putin dan Rusia. Melihat Rusia tidaklah penting pada Pemilunya. Yang terpenting, adalah bagaimana Putin melakukan kesenangan-kesenangannya memimpin Rusia sampai akhir masa kepresidenannya di 2024 nanti.
Putin mungkin telah belajar banyak dari kegagalan bentuk otoritarianisme sepanjang sejarah, termasuk salah satunya dari Soeharto.
Apakah kemudian Putin telah menemukan bentuk otoritarianisme yang sempurna? Bisa jadi.
Lantas, apa dong yang dapat menurunkan Putin?
Waktu. Hanya waktu yang dapat menurunkan Putin. (R17)