Site icon PinterPolitik.com

Putin Sakit, ‘Kemenangan’ AS?

putin sakit kemenangan as

Presiden Rusia Vladimir Putin menghadiri sebuah parade militer pada 9 Mei 2022 lalu. (Foto: AFP)

Presiden Rusia Vladimir Putin dikabarkan harus melalui sejumlah perawatan medis karena dirumorkan mengidap penyakit yang cukup parah, yakni kanker darah. Mengapa kabar sakitnya Putin ini bisa berimplikasi pada situasi geopolitik dan hubungan Rusia dengan Amerika Serikat (AS)?


PinterPolitik.com

“Doctors say I’m the illest ‘cause I’m suffering from realness” – Kanye West, “N***as in Paris” (2011)

Penyakit memang sudah lama jadi bagian dari kehidupan umat manusia. Ada penyakit menular yang disebabkan oleh virus dan bakteri, seperti Covid-19. Ada juga penyakit yang timbul dari kelainan atau gagal fungsi organ manusia sendiri.

Entah apapun itu penyebabnya, penyakit dianggap menjadi hal yang merugikan bagi manusia. Kala teknologi kesehatan dan medis belum semutakhir sekarang, datangnya penyakit yang parah pun langsung dikaitkan dengan kematian.

Untungnya, di era kontemporer saat ini, pengobatan hingga tingkat tertentu bisa dilakukan. Bahkan, orang awam pun bisa belajar sedikit soal dunia medis dari produk-produk budaya populer layaknya series yang berjudul The Good Doctor (2017-sekarang) dan Grey’s Anatomy (2005-sekarang).

Tidak hanya itu, perkembangan ini juga menjadi berkah bagi umat manusia secara luas. Para pejuang kesehatan – mulai dari tenaga kesehatan hingga peneliti vaksin – juga berjasa dalam membantu membangun kesehatan masyarakat Indonesia yang beberapa waktu lalu sempat amburadul akibat pandemi Covid-19.

Dengan pengobatan juga, seseorang juga tidak perlu khawatir bila terkena flu. Kala sakit pun, orang-orang tersayang pasti juga senantiasa membantu agar individu tersebut lekas sembuh. Rasa empati dan simpati tidak jarang turut menyertai.

Namun, kasusnya akan berbeda bila individu yang sakit adalah seorang pemimpin – khususnya pemimpin negara. Bagaimana tidak? Ketika pemimpin Korea Utara (Korut), Kim Jong-un, dirumorkan sakit, media dan publik dari berbagai negara langsung heboh menyoroti kabar tersebut.

Bukan hanya Kim, kabar sakitnya Ketua Umum (Ketum) PDIP Megawati Soekarnopurtri juga sempat membuat heboh publik dan media Indonesia. Bahkan, kabar-kabar soal kondisi Presiden ke-5 RI tersebut meruak lebih dari satu kali.

Kini, giliran Presiden Rusia Vladimir Putin yang dikabarkan sakit. Berdasarkan rekaman suara yang disebut berasal dari seorang oligark yang dekat dengan Kremlin, Putin dikabarkan menderita sakit punggung dan kanker darah – membuatnya semakin jarang terlihat di publik sejak dekade 2010-an.

Hebohnya kabar-kabar soal sakit yang diderita oleh politisi, pejabat, hingga pemimpin dunia ini menandakan bahwa terdapat unsur politik juga yang menyertai kondisi kesehatan mereka. Mengapa sebenarnya persoalan kesehatan seperti ini bisa berimplikasi pada diskursus politik? Lantas, apa dampaknya bila diamati dalam kasus kabar sakitnya Putin?

Politik Kesehatan Bayangi Putin?

Semua orang sepakat apabila kesehatan menjadi salah satu aspek penting dalam kehidupan setiap individu. Bahkan, terdapat sebuah ungkapan populer yang berasal dari Bahasa Latin berbunyi, “Mens sana in corpore sano.” Ungkapan ini memiliki arti bahwa, dalam tubuh yang sehat, terdapat jiwa yang kuat.

Mungkin, istilah Latin itu cukup menjelaskan bahwa jiwa seorang pemimpin turut dipengaruhi oleh kondisi kesehatan tubuhnya. Secara tidak langsung, hal ini turut dijelaskan oleh David Burkus dalam tulisannya yang berjudul For Leaders, Looking Healthy Matters More than Looking Smart.

Burkus mengemukakan bahwa publik memiliki preferensi tersendiri soal pemimpin mereka. Mengacu pada survei yang disebutkan dalam tulisannya, Burkus menjelaskan bahwa publik lebih menyukai sosok pemimpin yang terlihat sehat – bahkan lebih disukai dibandingkan pemimpin yang terlihat pintar.

Padahal, pemimpin yang terlihat sehat belum tentu memiliki kapabilitas yang cukup untuk menjadi seorang pemimpin. Tidak jarang, publik kerap menginginkan pemimpin yang memiliki kecerdasan pada tingkat tertentu agar bisa menciptakan kebijakan-kebijakan yang bermanfaat.

Lantas, bila mengacu pada tulisan Burkus tadi, muncul sebuah pertanyaan lanjutan. Mengapa kesehatan pemimpin menjadi penting di mata masyarakat?

Guna menjawab pertanyaan tersebut, mungkin perlu dipahami juga sebenarnya mengapa kesehatan menjadi faktor krusial. Mengacu pada tulisan Julian M. Saad dan James O. Prochaska yang berjudul A Philosophy of Health: Life as Reality, Health as a Universal Value, terdapat sejumlah filosofi yang menjelaskan persoalan kesehatan manusia.

Namun, dengan mengutip S. Andrew Schroeder, Saad dan Prochaska menjelaskan bahwa segala filosofi kesehatan menekankan pada satu hal, yakni fungsionalisme. Diskusi mengenai filosofi kesehatan ini berpusar pada bagaimana fungsi seseorang bisa berjalan dalam kondisi tubuh (body state) mereka.

Menjadi masuk akal apabila seorang pemimpin yang diekspektasikan untuk bisa menjalankan perannya tidak memiliki kondisi kesehatan yang cukup. Fungsionalisme inilah yang mungkin menjadi fokus utama publik terkait kondisi tubuh pemimpin mereka.

Lantas, bagaimana dampaknya terhadap situasi politik? Apakah isu kesehatan Putin bisa berdampak pada kebijakan luar negeri dan ketegangan politik Rusia dengan Amerika Serikat (AS) dan negara-negara Barat lainnya?

Akhir Kuasa Putin, ‘Kemenangan’ AS?

Pemimpin, dalam sektor apapun, tentunya diharapkan bisa menjalankan peran dan fungsinya. Hal ini pun berlaku dalam bidang politik dan pemerintahan.

Namun, bila fungsi dan peran tersebut tidak bisa berjalan seperti yang diharapkan, tentu jalannya pemerintahan akan terhambat. Menjadi wajar apabila akhirnya diskursus politik yang muncul kemudian adalah untuk mencari pengganti sang pemimpin.

Bukan tidak mungkin, ini juga berpengaruh pada dinamika politik yang berpusar pada pemimpin tersebut. Perubahan dan pergeseran tertentu bisa saja terjadi pada para politikus dan pejabat yang dekat dengan sang pemimpin.

Bruce Bueno de Mesquita dan Alastair Smith dalam tulisan mereka yang berjudul Political Loyalty and Leader Health menjelaskan bahwa kondisi sakit seorang pemimpin bisa mempengaruhi kesetiaan para pendukungnya – bahkan bisa berujung pada pencabutan sang pemimpin dari jabatannya dan suksesi.

Tendensi pergeseran kesetiaan ini – mengacu pada de Mesquita dan Smith – akan semakin besar ketika pemimpin berada dalam pemerintahan yang otokratik – suatu sistem politik yang hanya membutuhkan koalisi kecil. Alhasil, dengan kabar Putin sakit, bukan tidak mungkin para silovarchs – sebutan untuk orang kaya yang memiliki pengaruh hingga organisasi mata-mata Dinas Keamanan Federal (FSB) – seperti Aleksander Bortnikov dan Nikolai Patrushev akan memiliki dorongan untuk segera mencari pengganti presiden Rusia tersebut. 

Alhasil, menjadi sebuah kepentingan strategis bagi seorang pemimpin – khususnya mereka yang memimpin secara otokratik – untuk merahasiakan kondisi kesehatannya yang buruk. Pasalnya, kekuasaan dan kewenangan di negara semacam ini biasanya berpusat pada satu sosok orang kuat, yakni pemimpin strongman.

Kepentingan strategis seperti ini mungkin tidak hanya terbatas pada ranah politik domestik, melainkan juga dalam politik internasional. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, pola pemerintahan dalam negara otokrasi biasanya berpusat pada satu orang pemimpin utama.

Bila pemimpin tersebut sakit, bukan tidak mungkin, pengganti berikutnya lah yang akan mengambil tampuk kekuasaan. Dengan kebijakan luar negeri yang biasanya terpusat pada sang strongman, perubahan arah kebijakan bisa saja terjadi.

Lantas, bagaimana dengan nasib Rusia bila seandainya Putin benar-benar sakit? Bukan tidak mungkin, perubahan kebijakan itu terjadi. Pasalnya, banyak rumor yang mengatakan bahwa para silovarchs mulai tidak sepakat dengan kebijakan luar negeri Putin, khususnya terkait konflik yang berlangsung di Ukraina.

Oleh sebab itu, bukan tidak mungkin, bila kabar ini benar, AS dan negara-negara Eropa memiliki kesempatan yang lebih luas untuk mempengaruhi kebijakan luar negeri Rusia – tentunya dengan sosok pengganti Putin yang bisa saja lebih mudah untuk diajak bernegosiasi. Menarik untuk diamati kelanjutannya. (A43)


Exit mobile version