Site icon PinterPolitik.com

Putin Menang, Eropa Bertekuk Lutut?

Presiden Rusia, Vladimir Putin (Foto: Getty Images)

Eskalasi konflik Ukraina tengah menjadi kekhawatiran publik di awal tahun 2022 ini. Presiden Rusia, Vladimir Putin melakukan sejumlah manuver politik yang pada akhirnya membuat NATO kelimpungan. Mungkinkah ini momen kemenangan Putin? 


PinterPolitik.com 

Rasanya semua orang akan setuju bahwa seluruh perhatian dunia saat ini sedang tertuju pada eskalasi krisis Ukraina. Bagaimana tidak, negara terbesar di Eropa tersebut sekarang bak menjadi panggung utama perseteruan kekuatan-kekuatan politik besar dunia.  

Sebagai “kakak besar” Ukraina dan sesama mantan bagian dari Uni Soviet, Rusia merasa sangat perlu untuk menjaga agar Ukraina tidak jatuh ke tangan NATO dan kubu Barat. 

Di sisi lain, NATO, yang terdiri dari sejumlah negara-negara Eropa dan tentunya Amerika Serikat (AS) merasa sangat khawatir jika suatu saat Presiden Rusia, Vladimir Putin akan nekat melakukan serangan ke Ukraina dan mencederai stabilitas keamanan Eropa yang sudah berhasil dibangun sejak akhir Perang Dunia 2. Yah, kekhawatiran dua kubu berasal dari ketakutan atas ketidakpastian yang sama. 

Alhasil, setelah berminggu-minggu menjalankan sejumlah misi diplomasi dan melakukan taktik maju mundur peletakan tenaga militer, konflik Ukraina sepertinya semakin mengerucut ke dua kemungkinan, perang atau negosiasi resolusi konflik. 

Namun, sesuai perkembangannya sekarang, mungkin sebagian orang akan melihat kubu Putin tampak semakin melunak. Ini dibuktikan dengan pernyataan Kementerian Pertahanan Rusia yang mengonfirmasi bahwa Putin telah menginstruksikan untuk menarik sebagian pasukannya dari perbatasan Ukraina. Perlu diketahui bahwa sebelumnya dikabarkan Rusia telah menempatkan lebih dari 100.000 pasukan di sekitar Ukraina.  

Akan tetapi, ada sebuah argumen menarik dari Marwan Bishara, seorang analis politik dari Media Al Jazeera dalam tulisannya The West – United on Ukraine, Divided on Russia. Di dalamnya, Bishara berpendapat bahwa manuver penarikan pasukan yang dilakukan Rusia adalah bukti kecerdikan diplomasi Putin dan itu telah membuat negara-negara Eropa NATO ‘tunduk’ pada sang Negeri Beruang Putih. 

Apakah pendapat Bishara ini benar? Dan jika iya, mengapa bisa demikian? 

Baca juga: Rusia-Tiongkok Pemantik Perang Siber?

Permainan Political Hedging? 

Untuk mendapatkan konteks mengenai argumen dari Bishara tadi, kita sebelumnya perlu memiliki pemahaman yang sama tentang mengapa eskalasi krisis Ukraina menjadi hal yang sangat krusial bagi negara-negara Eropa. 

Well, ada satu hal yang sepertinya mampu menjadi manifestasi kegalauan Eropa terhadap manuver politik Rusia, yaitu proyek Nord Stream 2. Singkatnya, ini adalah sebuah megaproyek senilai US$ 11 miliar yang berupa saluran pipa gas, yang dibangun dari Rusia sampai ke Eropa melalui Laut Baltik. Proyek ini diharapkan dapat menjadi jawaban atas kebutuhan listrik jutaan rumah warga Uni Eropa yang begitu tinggi. 

Stefan Meister, peneliti dari German Council on Foreign Relations dalam tulisannya Nord Stream 2: The Dead-End of Germany’s Ostpolitik, menilai bahwa proyek Nord Stream 2 berpotensi besar menjadi kartu truf Rusia dalam menancapkan pengaruhnya di Eropa karena dapat melegitimasi ketergantungan Eropa pada pebisnis dan politisi Rusia. 

Memang, selama ini Eropa sudah cukup bergantung pada pasokan energi dari Rusia. Badan Statistik Uni Eropa, Eurostat menyebutkan bahwa sekitar 43 persen gas alam yang dikonsumsi setiap tahun di Uni Eropa dibeli dari Rusia. Sementara itu, Jerman menjadi importir terbesar dengan setiap tahunnya mengimpor 55 persen gas alam dari Rusia. 

Oleh karena itu, sesungguhnya di sini Eropa tidak melihat Rusia sebagai rekan atau kawan, tetapi bisa jadi sebagai salah satu sumber kehidupan mereka. Menariknya adalah, dengan adanya eskalasi Ukraina, Presiden AS, Joe Biden sempat mengeluarkan ultimatum akan membekukan sejumlah aset luar negeri Rusia, termasuk juga akan berusaha semampu mungkin menghentikan proyek Nord Stream 2. 

Dengan demikian, sandera politik utama dalam eskalasi Ukraina ini sesungguhnya bukanlah Rusia atau Ukraina itu sendiri, tetapi negara-negara Eropa seperti Jerman dan Prancis. Maka begitu, tidak heran ketika Kanselir Jerman, Olaf Scholz dan Presiden Prancis, Emmanuel Macron buru-buru melakukan kunjungan diplomatis ke Moskow untuk bertemu Putin tepat beberapa hari setelah isu Ukraina memans, karena sepertinya mereka perlu mendapatkan jaminan agar eskalasi ini tidak mencederai sejumlah kerja sama ekonomi. 

Jika asumsi ini tepat, maka Putin sepertinya telah memainkan strategi political hedging dengan cukup cerdik. John Hemmings, peneliti Center for Strategic and International Studies (CSIS) dalam artikelnya Hedging: The Real U.S. Policy Towards China?, menjelaskan bahwa political hedging adalah strategi yang dilakukan sebuah negara dengan mendelegasikan risiko yang mungkin muncul ke dalam dua kebijakan yang tampak berlawanan.  

Negara yang melakukan strategi ini menjalankan dua arah kebijakan yang kontradiktif secara bersamaan, yang satu bertujuan menciptakan penyeimbangan kekuatan dan yang satu lagi mengarah ke keterbukaan diri untuk adanya kerja sama. Dengan memberi gertakan penempatan pasukan di sekitar Ukraina, Putin memberi pesan pada Barat bahwa dirinya siap berkonfrontasi dan rela berpotensi mencederai ketergantungan ekonomi dengan Eropa. 

Akan tetapi, setelah kisruh terjadi, Putin justru menyodorkan sisi dirinya yang tampak terbuka untuk negosiasi dengan retorika penarikan pasukan. Sebuah umpan yang tampaknya dimakan mentah-mentah oleh Jerman dan Prancis.  

Strategi ini bisa dieksekusi dengan sangat baik oleh Putin karena dirinya menyadari bahwa negara-negara Eropa saat ini berada di posisi yang lemah secara diplomatis. Eropa memiliki hubungan perdagangan yang penting dengan Rusia, dan akan mengalami kerugian bila AS menjatuhkan sanksi pada Rusia bila mereka menginvasi Ukraina.  

Di sisi lain, Eropa juga kesulitan mendapatkan kesepahaman suara dengan AS di dalam NATO karena masing-masing negara Eropa memiliki kekhawatiran pribadi bahwa jika Rusia merasa tidak aman, maka itu akan mencederai sejumlah kerja sama ekonomi. Karena alasan itulah negara-negara NATO saat ini terlihat setengah hati dalam menjawab permintaan pasukan keamanan yang muncul dari Ukraina. 

Hal inilah yang menjadi pertanyaan besar selanjutnya. Mungkinkah ini artinya Putin telah menang dalam krisis Ukraina? 

Baca juga: Perang Dunia III, Biden Lawan Tiongkok-Rusia?

Melemahnya Barat? 

Pengamat hubungan internasional dari Universitas Padjajaran, Teuku Rezasyah menilai bahwa tindakan Rusia selama ini di Ukraina tidak lebih hanyalah sebuah gertakan. Akan tetapi, gertakan tersebut sepertinya telah membuahkan hasil, karena ia mengakui penempatan pasukan Rusia di sepanjang perbatasan Ukraina telah sukses membuat 30 negara anggota NATO kelimpungan. 

Belajar dari dinamika penempatan pasukan militer di sekitar Ukraina dan juga tentunya dari kasus aneksasi Crimea pada 2014 lalu, Rezasyah menilai NATO akan semakin bertindak hati-hati dan tidak akan pernah lagi mengulangi ambisi dan agenda tertentu untuk bergerak mendekati “halaman rumah” Rusia. Di sisi lain, Rezasyah juga melihat gertakan-gertakan yang dilakukan Putin menjadi sebuah tes atas kekompakan NATO yang saat ini dinilai tidak lagi seperti pada masa Perang Dingin. 

Kembali mengutip Bishara, poin menarik yang sesungguhnya bisa diambil dari hiruk pikuk eskalasi Ukraina ini adalah Putin berhasil memberikan semacam terapi kejut pada NATO. Alih-alih bertindak satu suara untuk meredakan konflik, anggota NATO seperti Prancis dan Jerman contohnya, malah memilih melakukan manuver diplomatis mandiri demi menyelamatkan kepentingan nasionalnya. 

Tentu hal ini diprediksi akan menggetarkan ‘sangkar emas’ Joe Biden. Bishara menilai, sebagai Presiden yang berkomitmen memunculkan kembali kepercayaan global pada AS, Biden diprediksi akan mendorong lebih banyak tekanan pada Rusia dan terlepas dari hasilnya, bersikeras bahwa Eropa meninggalkan semua rencana otonomi strategis luar negerinya dan mendukung AS dalam persatuan melawan Rusia dan sahabat barunya, Tiongkok. 

Bagaimanapun perkembangan dinamika eskalasi di Ukraina, kita pun harus menyadari bahwa Rusia adalah negara eksportir gas alam terbesar. Oleh karena itu, seperti yang sudah diingatkan oleh banyak ekonom, bila terjadi konflik pada Rusia, maka itu akan mempengaruhi harga minyak dunia. Ini tentunya juga akan berdampak pada neraca perdagangan Indonesia.  

Well, yang jelas untuk sekarang kita harap saja eskalasi yang terjadi di Ukraina bisa secepat mungkin mereda. Dan yang paling penting, semoga saja para pemimpin besar dunia tidak tergoda untuk melakukan permainan-permainan politik yang lebih berbahaya. (D74) 

Baca juga: ASEAN, Korban Pertama Hegemoni Tiongkok?

Exit mobile version