Sejumlah individu – seperti oligark Roman Abramovich – yang terlibat dalam negosiasi damai antara Ukraina dan Rusia disebut mengalami keracunan. Menariknya, pemerintahan Vladimir Putin di Rusia disebut memiliki sejarah panjang dalam menggunakan racun dalam mempengaruhi dinamika politik.
Baru-baru ini, para penggemar film pahlawan super dihebohkan oleh film terbaru dari Warner Bros. Pictures yang didasarkan pada salah satu karakter di DC Comics, yakni The Batman (2022). Film ini pun mendapatkan penilaian yang cukup bagus dari para kritikus dan penonton pada umumnya.
Namun, bila kita berbicara soal karakter Batman, tidak akan lengkap bila kita tidak membahas pula musuh-musuhnya. Joker yang disebut menjadi nemesis utama dari Batman, misalnya, memiliki hubungan permusuhan yang spesial dengan karakter berkostum kelelawar tersebut – bahkan sampai ke perdebatan filosofis soal moral dan keadilan.
Perdebatan gagasan seperti ini pun tidak hanya terjadi dalam permusuhan Batman dengan Joker, melainkan juga dengan Dr. Pamela Isley. Sosok yang dikenal dengan nama alias Poison Ivy itu dikenal dengan komitmen kuatnya terhadap lingkungan hidup – bahkan dia menjustifikasi dirinya sebagai seorang eco-terrorist.
Untuk mendukung gerakannya tersebut, Poison Ivy memiliki kekuatan-kekuatan unik. Salah satunya adalah dengan membuat racun yang bisa mematikan bagi musuh-musuhnya. Racun-racunnya pun dikelola dari tanaman-tanaman yang bisa dia kontrol.
Di dunia nyata, penggunaan racun sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan politik seperti ini juga pernah terjadi. Di Indonesia sendiri, misalnya, pernah terjadi kasus pembunuhan dengan racun terhadap seorang aktivis hak asasi manusia (HAM) yang prominen, yakni Munir Said Thalib (1965-2004).
Terlepas dari kasus yang ada di Indonesia, ada banyak kasus pembunuhan dengan racun lainnya yang sangat populer di tingkat internasional. Kebanyakan dari kasus ini menariknya berhubungan dengan satu negara, yakni Rusia (bahkan sejak era Uni Soviet).
Bisa dibilang, racun merupakan cara yang kerap digunakan oleh negara ini. Bahkan, banyak dari korban pembunuhan dengan racun di Rusia merupakan mantan agen mata-mata yang disebut membelot kepada negara lain.
Tidak hanya itu, yang terbaru, tokoh oposisi yang bernama Alexei Navalny disebut juga telah menjadi sasaran pembunuhan dengan racun. Tokoh yang kerap mengkritik Presiden Rusia Vladimir Putin tersebut kabarnya diracuni dengan larutan Novichok pada tahun 2020 silam.
Banyaknya kasus upaya pembunuhan dengan racun oleh Rusia ini tentunya menimbulkan sejumlah pertanyaan. Siapakah sosok yang ada di balik berbagai upaya-upaya racun seperti ini? Lantas, mengapa Putin perlu cemas dengan sejarah kelam Rusia dalam permainan racunnya?
Kisah Panjang Rusia dan Racun
Penggunaan racun sebagai senjata di politik bukanlah hal yang baru di Rusia. Bahkan, bila melihat kembali sejarah Uni Soviet, racun kerap digunakan oleh negara tersebut untuk mempengaruhi dinamika politik yang ada.
Joseph Stalin yang merupakan pemimpin revolusioner Soviet, misalnya, merupakan salah satu pemimpin yang terkuat dalam sejarah negara adidaya tersebut. Namun, kekuasaannya pun jatuh pada tahun 1953 karena meninggal dunia – rumornya karena diracuni.
Dugaan menjadi masuk akal apabila melihat kembali sejarah penggunaan racun sebagai senjata di Rusia. Mengacu pada buku karya Boris Volodarsky yang berjudul The KGB’s Poison Factory, pada tahun 1921 silam, Pemimpin Soviet Vladimir Lenin memberikan perintah pada bawahan-bawahannya untuk mendirikan sebuah laboratorium untuk mengembangkan racun – dengan tujuan awal untuk mengembangkan senjata yang bisa digunakan dalam perang.
Laporan-laporan soal keberadaan laboratorium racun sejak era Uni Soviet ini terbuka pada akhir dekade 1990-an – yang mana membuka bahwa penggunaan dan pengembangan racun ini sudah lama dilaksanakan oleh badan-badan intelijen Soviet seperti Komitet Gosudarstvennoy Bezopasnosti (KGB).
Namun, seiring berjalannya waktu, racun-racun yang dikembangkan sejak era Uni Soviet ini tampaknya digunakan untuk membunuh lawan-lawan politik sendiri – khususnya sejak negara adidaya di era Perang Dingin itu runtuh. Bukan tidak mungkin, racun-racun rahasia ini akhirnya beralih tangan ke badan intelijen penerus KGB, yakni Dinas Keamanan Federal (FSB).
Bisa dibilang, FSB ini merupakan badan intelijen terbaru yang menjadi penerus utama KGB. Putin sendiri pernah memegang jabatan direktur saat Boris Yeltsin masih memegang kekuasaan sebagai Presiden Rusia pada tahun 1998.
Kini, FSB dipimpin oleh salah satu teman seperjuangan Putin yang bernama Aleksander Bortnikov. Petinggi intelijen ini telah menghabiskan sebagian besar hidupnya menjadi agen mata-mata untuk KGB sejak muda.
Bortnikov sendiri disebut sudah kenal Putin sejak bertugas bersama di KGB Leningrad pada dekade 1970-an silam. Selain Putin, Bortnikov juga dikabarkan berteman baik dengan Dmitry Medvedev yang sempat bergantian dengan Putin untuk menjabat sebagai presiden pada tahun 2008 dan 2012.
Bortnikov pun memiliki rekam jejak yang panjang dalam operasi-operasi pembunuhan dengan racun – sebut saja kasus pembunuhan Alexander Litvinenko pada tahun 2006. Bortnikov kala itu disebut menjadi salah satu pengawas langsung dalam operasi yang menewaskan mantan agen KGB yang dianggap membelot tersebut – sebuah operasi di bawah kepemimpinan Nikolai Patrushev yang menjadi salah satu Direktur FSB yang paling dipercaya Putin.
Namun, meski Bortnikov dan Putin memiliki kedekatan dan teman-teman yang sama, keduanya tidak begitu saja bisa akur. Pasalnya, Bortnikov dinilai menjadi ancaman nyata bagi Putin. Lantas, mengapa Putin harus cemas dengan kekuasaan Bortnikov?
Politik Kremlin Penuh Racun?
Seperti yang telah dijelaskan di atas, kepemilikan dan penggunaan racun di Rusia telah lama terjadi dalam sejarah negara itu – khususnya dalam manuver-manuver intelijen yang dijalankan KGB hingga FSB. Tentu, siapapun yang memiliki racun dan bisa menggunakannya sebagai senjata bisa saja mempengaruhi dinamika politik yang ada.
Arie Perliger dalam bukunya yang berjudul The Rationale of Political Assassinations menjelaskan bahwa pembununhan yang bermotif politis biasanya memiliki tujuan untuk mendorong atau mencegah perubahan politik, sosial, atau ekonomi yang berkaitan dengan khalayak banyak.
Dalam sejarahnya, pembunuhan politis ini sudah ada sejak peradaban manusia lahir. Pasalnya, dengan struktur dan hierarki yang eksis dalam sebuah masyarakat, banyak aktor – seperti raja dan kepala suku – memiliki kebutuhan untuk melindungi status privilesenya.
Mithridates VI yang merupakan raja Pontus pada tahun 120-63 SM, misalnya, melihat pentingnya racun sebagai salah satu bagian dari upaya pembunuhan politis. Raja Pontus ini bahkan dicatat dalam sejarah sebagai Raja Racun.
Bagaimana tidak? Mithridates dikenal mengembangkan racunnya sendiri untuk membunuh rival-rival politiknya. Tidak hanya itu, Mithridates bahkan sampai memasukkan racun ke dalam tubuhnya agar bisa menjadi kebal dari berbagai racun yang bisa saja datang dari lawan-lawan politiknya.
Dari sini, bisa dipahami bahwa siapapun yang memiliki racun bakal bisa menggunakannya untuk senjata politis. Tidak heran apabila akhirnya Putin banyak melakukan reformasi pada FSB saat dirinya menjabat sebagai presiden.
Pada tahun 2000, misalnya, Putin mengeluarkan sejumlah aturan yang membuat FSB bertanggung jawab dan melapor langsung kepada presiden. Pada tahun yang sama, Putin juga melakukan restrukturasi terhadap petinggi-petinggi badan intelijen tersebut.
Upaya yang mirip kembali dilakukan akhir-akhir ini kala Putin melancarkan invasi ke Ukraina. Kabarnya, presiden Rusia tersebut melakukan penangkapan dan mengganti sejumlah petinggi FSB – menyusul adanya kabar soal kemungkinan kudeta dan upaya untuk meracuni Putin.
Apalagi, berdasarkan laporan dari badan intelijen Ukraina, Bortnikov disebut-sebut menjadi salah satu petinggi keamanan yang tidak setuju dengan operasi militer Rusia di Ukraina. Apalagi, Bortnikov dikabarkan menjadi salah satu petinggi Rusia yang digadang-gadang bakal menggantikan Putin.
Bukan tidak mungkin, racun menjadi penentu yang penting dalam perebutan politik di dalam Kremlin sendiri di tengah operasi militer Putin yang putin lancarkan di Ukraina. Bisa jadi, siapapun yang bisa mengontrol FSB, dialah yang bakal memenangkan permainan racun ala Rusia ini. (A43)