Site icon PinterPolitik.com

Putin dan Akhir Kejayaan Amerika

putin dan akhir kejayaan amerika

Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden (kiri) mengadakan pertemuan tingkat tinggi dengan Presiden Rusia Vladimir Putin (kanan) di Jenewa, Swiss, pada 16 Juni 2021 lalu. (Foto: AP)

Operasi militer yang dijalankan oleh pemerintahan Rusia yang dipimpin Vladimir Putin di Ukraina memiliki makna baru bagi dominasi Amerika Serikat (AS) di panggung politik internasional. Dinamika apa yang sedang berjalan di balik menguatnya kekuatan Rusia di bawah Putin ini?


PinterPolitik.com

Politik merupakan sebuah permainan perebutan kekuatan. Setidaknya, kacamata inilah yang sering kali digunakan ketika mengamati dinamika politik internasional.

Cara pandang politik internasional seperti ini paling tidak sangat terejawantahkan dalam seri gim video populer bertemakan strategi seperti Age of Empires dan Civilization. Biasanya, pemain akan diminta untuk mengatur sebuah kelompok negara atau peradaban agar bisa bangkit menjadi sebuah entitas yang kuat.

Namun, kebangkitan kerajaan dan peradaban yang kita mainkan hampir pasti akan terhambat dengan kehadiran kerajaan-kerajaan lain – tatkala memiliki kepentingan yang berbeda dengan kepentingan pemain. Manuver-manuver – mulai dari negosiasi, diplomasi, hingga perang – pun menjadi opsi-opsi strategis yang dapat diambil oleh pemain.

Tindakan untuk menimbang opsi-opsi taktis dan strategis seperti ini juga berlaku di dunia nyata, termasuk dalam geopolitik yang ada di antara para negara-bangsa. Salah satunya adalah peristiwa yang kini tengah menjadi perhatian dunia, yakni konflik yang meletus antara Rusia dan Ukraina.

Mungkin, pemain-pemain yang tengah memainkan gim saat ini adalah para pemimpin dunia seperti Vladimir Putin (Rusia) dan Volodymyr Zelensky (Ukraina). Bukan tidak mungkin, para pemimpin ini ingin memenangkan konflik yang terjadi.

Namun, tentunya, sejumlah faktor penentu lainnya turut bermain di sini. Bagi Zelensky, misalnya, salah satu faktor utama yang sangat menentukan kemenangan bagi Ukraina adalah dukungan dari Amerika Serikat (AS) dan negara-negara North Atlantic Treaty Organization (NATO).

Namun, hingga memasuki minggu kelima konflik, AS dan negara-negara NATO dinilai masih memberikan keterlibatan yang minimum untuk mendukung Ukraina. Padahal, Zelensky beberapa kali meminta AS dan NATO untuk bisa terlibat secara langsung – seperti dengan menerapkan zona larangan terbang (no-fly zone) di wilayah udara Ukraina.

Di sisi lain, gempuran invasi Rusia ke Ukraina terus terjadi. Kabarnya, pasukan dari negara yang dipimpin oleh Putin itu telah memasuki sejumlah wilayah penduduk di Ibu Kota Kiev.

Banyak ahli pun menilai bahwa minimnya keterlibatan AS dan NATO ini menandakan bahwa negara-negara tersebut ingin menghindari konflik secara langsung dengan Rusia. Tidak hanya itu, negara-negara Eropa dinilai memiliki konflik kepentingan dengan Rusia.

Padahal, seperti yang diketahui sejak dulu, AS dan negara-negara sekutunya kerap dianggap sebagai negara-negara yang mendominasi secara global. Lantas, mengapa kini AS dan NATO tampak membiarkan invasi ini terus terjadi? Mengapa Putin bisa secara leluasa menjalankan operasi militernya di Ukraina?

Balada Ambisi Putin

Banyak orang menilai bahwa Rusia memiliki kepentingan tertentu di balik operasi militer yang dijalankan di Ukraina sejak akhir Februari 2022 lalu. Sejumlah penjelasan menyebutkan bahwa Putin ingin menghentikan perluasan NATO yang terus mengarah ke timur – termasuk ke Ukraina.

Di sisi lain, sejumlah pihak menilai bahwa konflik ini menjadi upaya untuk mewujudkan ambisi Putin. Presiden Rusia tersebut memiliki ambisi untuk membangun kembali lingkaran pengaruh (sphere of influence) negaranya seperti pada era Uni Soviet dahulu.

Terlepas dari apa kepentingan dan alasan untuk melancarkan operasi militer Rusia ke Ukraina, sejumlah tantangan pun bakal selalu dihadapi oleh Putin. Tantangan pertama adalah bagaimana kekuatan Rusia sebenarnya terus mengalami penurunan (decline) daripada menguat (rising).

Rusia memang masih menjadi salah satu kekuatan adidaya di panggung politik internasional – dengan kapabilitas militer dan kekuatan ekonominya yang besar. Namun, banyak ahli menilai bahwa Rusia tidaklah lagi memiliki kekuatan seperti pendahulunya, yakni Uni Soviet.

Anggapan ini, misalnya, diungkapkan dalam karya Adam Balcer dan Nikolay Petrov yang berjudul The Future of Russia. Mereka menilai bahwa Rusia memiliki berbagai persoalan internal – seperti korupsi dan ketergantungan berlebih pada minyak dan gas – yang membuatnya kesulitan bangkit kembali seperti pada zaman Uni Soviet.

Meski begitu, Balcer mengatakan bahwa Rusia bukanlah negara yang diam saja dan tidak memiliki tujuan. Rusia tetap memiliki aspirasi politik luar negeri untuk menjadi negara adidaya.

Asumsi bahwa Rusia menjadi kekuatan yang melemah ini juga sepertinya melekat di mata para pemimpin AS sejak berakhirnya Perang Dingin – seperti dalam laporan National Intelligence Council AS pada 2021. Andrea Kendall-Taylor dan Michael Kofman dalam tulisan mereka yang berjudul The Myth of Russian Decline menjelaskan bahwa Rusia di bawah Putin masih memiliki ambisi besar meskipun kini Rusia mengalami penurunan kekuatan.

Bila anggapan bahwa Rusia merupakan kekuatan yang melemah ini benar, sejumlah pertanyaan lain pun mengemuka. Mengapa lantas Rusia memberanikan diri untuk melakukan operasi militer yang berbiaya tinggi di Ukraina? Bukankah Rusia akan menghadapi AS – bersama negara-negara NATO – yang dikenal sebagai “polisi dunia” sebagai konsekuensinya?

Tiongkok, Akhir Kejayaan Amerika?

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, Rusia memang tidak memiliki kekuatan dan kapabilitas seperti Uni Soviet. Namun, Rusia di bawah Putin masih memiliki ketidakpuasan tertentu pada tatanan dunia (international order) yang berlaku di bawah AS.

Balcer bersama Petrov pada tulisan yang disebutkan di atas menjelaskan bahwa politik luar negeri Rusia masih memiliki ambisi untuk tetap menjadi negara adidaya. Dengan begitu, Rusia tidak pernah suka dengan tatanan dunia yang didominasi oleh satu – atau segelintir negara yang berada dalam satu kubu.

Persoalannya adalah tatanan dunia kini tidak lagi sama seperti kala Perang Dingin berakhir. Mengacu pada penjelasan John J. Mearsheimer dalam tulisannya yang berjudul Bound to Fail, tatanan dunia selain yang didominasi oleh AS mulai muncul, yakni tatanan dunia yang dipimpin oleh Republik Rakyat Tiongkok (RRT).

Berbeda dengan tatanan dunia liberal ala AS yang menanamkan nilai-nilai demokrasi dan keterbukaan, Tiongkok lebih mengedepankan pragmatisme – sehingga tatanan dunia Tiongkok lebih bersifat agnostik. Dua tatanan ini – mengacu pada Mearsheimer – bukan tidak mungkin akan berbenturan.

Dinamika soal tatanan dunia ini berlanjut dengan ketidakpuasan baik Tiongkok maupun Rusia terhadap tatanan dunia ala AS. Ketidakpuasan ini menjadi selaras dengan teori pergeseran kekuatan (power transition theory) dari AFK Organski yang menyebutkan bahwa konflik bisa saja terjadi ketika ada negara penantang (potential challenger) yang ingin mengubah tatanan dunia dominan.

Terkait hal ini, Rusia dengan jelas mengekspresikan ketidakpuasannya – khususnya soal lingkaran pengaruhnya (sphere of influence) yang terus berkurang, entah itu karena perluasan NATO atau menguatnya kekuatan-kekuatan lain di kawasannya. Mungkin, inilah mengapa Rusia akhirnya melancarkan operasi militer ke Ukraina yang disebut-sebut ingin bergabung dengan NATO.

Pergeseran tatanan dunia yang disebutkan tadi juga menandai terciptanya keseimbangan kekuatan (balance of power atau BoP) baru dalam politik internasional. Dengan kebangkitan Tiongkok sebagai negara penantang, dunia yang didominasi AS (unipolar) tidaklah eksis lagi – menciptakan dunia yang berisikan kutub kekuatan lebih dari satu, yakni dunia multipolar.

Inilah mungkin mengapa Mearsheimer menyebutkan bahwa abad ke-21 ini akan menjadi era ketika terdapat tiga kekuatan besar (great powers) yang saling bersaing, yakni AS, Tiongkok, dan Rusia. Pada akhirnya, kehadiran Tiongkok dan BoP yang baru menciptakan kesempatan lebih luas bagi Putin untuk menantang tatanan dunia AS. 

Di sisi lain, BoP baru ini membuat AS tampak melemah dan menarik diri dari perannya sebagai hegemon global. Bukan tidak mungkin, persaingan tiga kekuatan besar ini bakal terus terjadi ke depannya.

Namun, semua ini bisa saja terjadi karena AS tidak ingin mengalami sebuah konsep yang disebut sebagai imperial overstretch atau overreach. Konsep yang dipopulerkan oleh Paul Kennedy dalam bukunya The Rise and Fall of the Great Powers merupakan situasi di mana negara adikuasa mengalami kesulitan mengontrol pengaruhnya karena keterbatasan kapasitas.

Kebijakan luar negeri AS yang ingin melepaskan dominasi unipolar ini pun mulai terlihat sejak era pemerintahan Donald Trump yang ingin menarik diri dari sejumlah rezim dan perjanjian internasional. Mungkin, bagi AS, lebih baik tetap adidaya yang masih diperhitungkan daripada menjadi adikuasa yang berakhir runtuh.

Pada intinya, menurunnya dominasi AS – dengan kemunculan Tiongkok – menciptakan hubungan paralel bagi politik luar negeri Rusia di bawah Putin. Dan, bukan tidak mungkin, konflik yang terjadi di Ukraina kini adalah hasilnya. (A43)


Exit mobile version