Trauma bom atom membuat negara-negara dunia dihantui rasa takut saat mendengar istilah senjata nuklir. Kekhawatiran ini mungkin akan terjadi pada konflik Rusia-Ukraina, ketika Putin diberitakan akan menggunakan senjata nuklir jika Rusia terancam. Lantas, apakah Putin berani menggunakan senjata nuklir di Ukraina?
Setelah Rusia melakukan operasi militer khusus ke Ukraina, tidak lama Presiden Vladimir Putin menyiapkan pasukan nuklirnya dalam siaga tinggi. Hal ini yang membuat kekhawatiran sejumlah negara karena khawatir konflik ini akan berujung pada peperangan senjata nuklir.
Ditambah lagi, Rusia sudah memberi sinyal akan menembakkan senjata nuklirnya jika mereka terancam oleh Amerika Serikat (AS) dan negara-negara yang tergabung dalam NATO. Bagi Rusia, mereka tidak menyangsikan akan ada penggunaan senjata nuklir dalam konflik di Ukraina yang terus mendapat perlawanan sengit.
Juru Bicara Kremlin, Dmitry Peskov, mengatakan Rusia hanya akan menggunakan senjata nuklir jika keadaannya terancam. Menurut Peskov, wajar apabila setiap negara memiliki prinsip tentang bagaimana menjaga keamanan dalam negerinya masing-masing, termasuk juga Rusia.
Bayangan kebanyakan orang saat mendengar senjata nuklir Rusia pasti akan merujuk pada bom nuklir Tsar Bomba yang terkenal. Sebuah bom nuklir yang dikembangkan Uni Soviet di era Perang Dingin. Bernama asli RDS-220, bom mengerikan ini juga dikenal dengan julukan lain, yaitu Big Ivan.
Dengan perkembangan teknologi yang mempengaruhi evolusi dalam bidang persenjataan, muncul perangkat baru dalam ragam persenjataan nuklir. Jika di Perang Dingin senjata nuklir masuk pada kategori senjata nuklir strategis, maka saat ini dikenal juga senjata nuklir taktis.
Pernyataan Putin tentang perang nuklir telah menimbulkan kekhawatiran bahwa Rusia dapat menggunakan senjata nuklir taktis. Ini bukan perang nuklir habis-habisan, tetapi tetap merupakan menjadi perang yang mengerikan karena penggunaan senjata nuklir jenis baru ini.
Senjata nuklir taktis adalah senjata yang dapat digunakan dalam jarak yang relatif pendek. Ini membedakan dari senjata nuklir strategis dalam Perang Dingin. Lantas, seperti apa senjata nuklir taktis yang dikhawatirkan akan digunakan oleh Rusia?
Mengenal Senjata Nuklir Taktis
Senjata nuklir tidak pernah digunakan dalam perang sejak 1945. Saat itu, dua bom atom yang dijatuhkan AS menghancurkan Kota Hiroshima dan Nagasaki di Jepang. Akibat dampaknya yang luar biasa besar dan berkepanjangan, sejak saat itu negara-negara dunia mencoba untuk menahan diri menggunakan senjata berkekuatan besar. Dampak pengeboman yang mengejutkan telah membuat dunia memasuki era pencegahan nuklir.
Kendati demikian, di sisi yang tidak terlihat, negara-negara yang merupakan kekuatan global terlihat berlomba untuk mengembangkan senjata semacam itu.
Menurut data Arms Control Association, Rusia saat ini memiliki persenjataan nuklir terbesar di dunia dengan sekitar 6.257 hulu ledak, sementara AS mengakui memiliki 5.550 hulu ledak nuklir. Senjata nuklir ini masuk dalam kategori senjata strategis yang punya dampak besar, dan dapat ditembakkan melalui kapal selam, pesawat pembom, dan rudal balistik antarbenua.
Nina Tannenwald dalam bukunya The Nuclear Taboo, mengatakan senjata nuklir strategis adalah penghancur kota besar. Senjata ini sangat merusak dikarenakan mempunyai efek yang dapat merusak peradaban secara meluas.
Tapi saat ini muncul juga evolusi dari senjata nuklir yang disebut senjata nuklir taktis. Senjata ini menggunakan konsep “dial-a-yield”, yang berarti jumlah energi ledakannya dapat diubah naik atau turun tergantung pada situasi dan tujuan militer.
Misalnya, versi terbaru dari bom nuklir B61 yang dikembangkan oleh AS dapat melepaskan 0,3 hingga 10, bahkan dapat juga diatur menjadi 50 kiloton energi ledakan. Sebagai perbandingan, bom Hiroshima memiliki kekuatan sekitar 15 kiloton energi ledakan.
Pavel Podvig, ahli nuklir Rusia dan peneliti senior di United Nations Institute for Disarmament Research (UNIDIR), mengatakan tujuan utama senjata nuklir taktis untuk meneror musuh dan menang dalam konflik.
Seluruh gagasan tentang nuklir mini atau serangan terbatas cara terbaru untuk di medan perang, tidak mempunyai efek destruksi yang besar seperti senjata nuklir pendahulunya.
Sekitar 2.000 hulu ledak nuklir Rusia adalah senjata nuklir jarak pendek, yang disimpan di fasilitas penyimpanan di seluruh negeri. Ini adalah senjata nuklir yang jauh lebih kecil, yang dirancang untuk digunakan di medan perang melawan formasi pasukan, tank, atau instalasi militer dan bunker.
Secara penggunaan, senjata ini lebih praktis dikarenakan dapat diluncurkan pada rudal jarak pendek yang sama yang digunakan Rusia untuk membombardir Ukraina, seperti rudal balistik Iskander-M, yang memiliki jangkauan sekitar 500 km.
Bahkan, senjata nuklir taktis dapat ditembakkan sebagai peluru artileri di medan perang. Peralatan itu juga telah dikembangkan untuk pesawat dan kapal, misalnya torpedo untuk menargetkan kapal selam.
Lantas, apakah dengan kemudahan senjata nuklir taktis dibanding senjata nuklir strategis akan membuat Putin menggunakannya pada konflik Ukraina?
Putin Sulit Ditebak?
Mantan petinggi Badan Intelijen Uni Soviet (KGB) Oleg Kalugin, mengungkap bahwa Putin merupakan sosok yang licik dan berbahaya. Kalugin juga menegaskan Putin bisa nekat soal senjata nuklir, dikarenakan pengalaman bersama Putin di KGB yang menurutnya merupakan sosok yang sulit ditebak.
Gambaran tentang Putin ini membuat kekhawatiran semakin menjadi genting. Kemungkinan hal ini juga yang menjadi jawaban terhadap pertanyaan, kenapa AS dan NATO yang awalnya seolah akan terlibat di Ukraina, hingga saat ini masih bersikap defensif. Secara terbuka, Joe Biden dan NATO juga menegaskan tidak akan menurunkan pasukannya.
Menurut seorang ahli nuklir dari Carnegie Endowment for International Pace, James Acton, ancaman penggunaan senjata nuklir oleh Rusia dianggap sebagai gertakan. Ini adalah upaya untuk menciptakan rasa takut.
Gertakan ini adalah pesan simbolik, sebuah sinyal ke Barat untuk tidak campur tangan lebih banyak di Ukraina, bukan sebagai tanda akan melancarkan perang nuklir yang sesungguhnya. Seperti yang diketahui, bahwa bluffing atau gertakan bertujuan untuk memanipulasi lawan agar berpikir dua kali untuk melakukan serangan.
Secara dramatis, ide untuk menakut-nakuti pihak lain agar mundur dengan ancaman nuklir seolah jadi bagian dari strategi Rusia. Strategi ini cukup ampuh untuk dapat menekan pihak lawan termasuk dalam perundingan.
Ancaman penggunaan senjata nuklir ini juga dapat menjadi bagian dari strategi diplomasi. Seperti yang diketahui, saat ini perundingan tengah terjadi antara Rusia dan Ukraina. Dengan ancaman tersebut, seperti ada harapan untuk membuat Ukraina merasa tertekan dan mengharuskan mereka menerima hasil perundingan yang ditawarkan Rusia.
Di sisi lain, banyak pihak yang menyangsikan perundingan akan berjalan dengan lancar. Sehingga sangat masuk akal untuk menjelaskan bahwa meskipun peluangnya kecil, ada kemungkinan Rusia dalam kondisi tertentu tergoda untuk menggunakan senjata nuklir taktis di Ukraina.
Jika nantinya Putin merasa terpojok karena strateginya di Ukraina gagal, bukan tidak mungkin ia akan menggunakan senjata nuklir taktis sebagai pengubah permainan, bahkan untuk memecahkan kebuntuan atau menghindari kekalahan. Selama konflik belum berakhir, maka kemungkinan-kemungkinan masih tetap ada. (I76)