Prediksi situasi politik dalam putaran kedua Pemilihan Presiden 2024 (Pilpres) mulai dibahas. Salah satu hal yang sempat menarik perhatian adalah angan-angan probabilitas bersatunya kubu Ganjar dan Anies untuk mengalahkan Prabowo. Mungkinkah hal ini terjadi?
Walaupun Pemilihan Presiden 2024 (Pilpres) belum dilaksanakan, banyak yang sudah memprediksi bahwa pergelaran demokrasi terbesar negara kita itu akan berlanjut kepada pengambilan suara putaran kedua.
Selain karena jumlah pasangan calon (paslon) yang berjumlah tiga, hal ini juga karena belum ada paslon yang bisa memastikan elektabilitas di atas 51 persen, berdasarkan survei-survei yang dilakukan para lembaga survei hingga satu hari setelah debat calon presiden (capres) kemarin.
Nah, salah satu wacana menarik yang muncul dari kemungkinan dijalankannya Pilpres putaran kedua adalah pertanyaan tentang probabilitas bergabungnya kubu Ganjar-Mahfud dengan kubu Anies-Imin.
Karena saat ini kubu Prabowo-Gibran jadi kubu yang kerap memiliki elektabilitas tertinggi (Litbang Kompas Desember), juga kubu dengan koalisi terbesar, banyak yang menilai Ganjar-Mahfud perlu menggandeng Anies-Imin agar bisa kalahkan Prabowo-Gibran di putaran kedua.
Namun, pertanyaan besar yang jadi unek-unek sebagian orang kemudian adalah, apakah mungkin kubu Ganjar dan Anies akhirnya bersatu di putaran kedua? Bagi yang berpegang pada adagium “musuh dari musuhku adalah temanku”, mungkin hal itu bisa saja terjadi, tetapi, apakah realita politik bisa disederhanakan sedemikian rupa?
Dendam vs Kebutuhan?
Selain untuk keperluan memenangkan Pilpres, bersatunya kubu 01 dan 03 juga dipandang bisa memberikan mereka kekuatan besar di pemerintahan dan DPR bila paslon yang mereka dukung bisa mengalahkan kubu 02 di putaran kedua. Namun, kondisi politik antara 01 dan 03 sepertinya tidak akan mampu mewujudkan mimpi tersebut.
Setidaknya ada 3 alasan.
Pertama, sulitnya menyatukan pendukung level grassroot antara kubu 01 dan 03. Direktur ksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah, mengatakan bahwa wacana penggabungan kubu Ganjar dan Anies tidak akan menguntungkan kedua belah pihak.
Hal ini karena mayoritas pendukung grassroot Anies adalah orang-orang yang tidak suka dengan rezim penguasa saat ini, yang notabene merupakan rezim PDIP. Sementara, di kubu PDIP adalah kebalikannya, banyak pendukung Ganjar, kata Dedi, adalah orang-orang yang pro rezim saat ini, dan mereka anti dengan kehadiran sosok oposisi seperti Anies.
Kedua, dua politisi yang berkekuatan besar di masing-masing kubu, yakni Ketua Umum (Ketum) PDIP, Megawati Soekarnoputri, dan Ketum Partai Nasdem, Surya Paloh, diasumsikan memiliki hubungan yang kurang harmonis. Pada 2022 lalu contohnya, Megawati dan Surya Paloh pernah dianggap saling lempar sindir terkait “partai sombong”. Sebelum itu, pada tahun 2019 pun beredar sebuah video di mana Megawati dan Paloh tidak berjabatan ketika saling berpapasan saat acara di Gedung Parlemen.
Oleh karena itu, bisa diasumsikan bahwa meskipun seluruh komponen kubu kedua belah pihak setuju untuk saling dukung, hal itu tampaknya agak sulit karena kedua tokoh yang memiliki kekuatan politik besar di masing-masing perlu ber-rekonsiliasi terlebih dahulu.
Ketiga, perbedaan fundamental partai politik (parpol) pendukung. Pengamat politik, Adi Prayitno pernah mengatakan bahwa (20/09/2022) parpol pendukung Ganjar, PDIP, dan parpol pendukung Anies, PKS, punya mazhab politik yang cukup berbeda. PKS mewakili kelompok islam, sementara PDIP mewakili nasionalis.
Kalau kita lihat dinamika politik 2019-2024, PKS pun sebagai oposisi kerap menunjukkan ketegasannya melawan beberapa pergerakan politik yang erat diidentikkan dengan penguasa, seperti PDIP, contohnya adalah sikap penolakkan mereka soal proyek Ibu Kota Nusantara (IKN).
Masalahnya, PKS adalah parpol yang sangat “sayang” kepada Anies, mereka pun memiliki kursi legislatif yang relatif cukup besar yakni 50 kursi. Ini artinya, kalaupun Nasdem dan Paloh rela menyatu dengan PDIP dan Megawati, kubu 01 berpotensi mendapat protes keras dari PKS.
Berdasarkan variabel-variabel di atas, bisa disimpulkan bahwa penyatuan kubu Ganjar dan Anies pada putaran kedua adalah hal yang sulit terjadi. Namun, pertanyaan lanjutannya adalah, bukankah “keputusasaan” dapat membuat orang-orang membuat keputusan yang tak terduga?
Rasionalitas di Balik Ganjar-Anies
Dalam studi hubungan internasional, terdapat satu teori yang umumnya digunakan sebagai acuan untuk menentukkan mana pilihan yang paling rasional dalam menghadapi sebuah tantangan, yakni game theory. Teori ini terkenalnya memiliki asumsi dasar bahwa keputusan yang paling tepat dua pihak yang sedang terkena ancaman adalah dengan memilih untuk tidak saling merugikan.
Berdasarkan pandangan ini, kita bisa melihat bahwa justru PDIP dan Nasdem, sebagai dua partai besar pengusung masing-masing capres, akan lebih diuntungkan bila mereka tidak saling mendukung. Hmm, mengapa bisa?
Well, tanpa saling dukung pun, kubu Ganjar dan Anies sudah tahu bahwa mereka harus mengalahkan kekuatan besar yang dimiliki Prabowo agar jagoan mereka bisa menjadi presiden. Potensi serangan kedua kubu mungkin awalnya akan dianggap sebagai kekompakkan, tapi dalam realitanya mereka hanya melakukan itu karena memiliki kepentingan yang sama.
Masalah malah bisa muncul bila kubu Ganjar dan Anies bekerja sama untuk mengalahkan Prabowo, karena itu artinya mereka pun harus membagi kekuasaan yang mereka dapatkan bila nantinya Ganjar atau Anies-lah yang menjadi pemenang Pilpres 2024.
Sebagai partai yang memiliki sejarah perselisihan cukup kentara, hal ini tentu adalah hal yang secara rasional perlu dihindari sebisa mungkin.
Maka dari itu, bisa diasumsikan bahwa kalau Pilpres nanti ada putaran kedua, besar kemungkinannya kubu Ganjar dan Anies tidak akan bersatu, karena mereka akan lebih diuntungkan bila tidak memiliki komitmen untuk “berjalan bersama”. (D74)