Ketua DPR Puan Maharani kerap kali memberikan kritik terhadap kebijakan pemerintahan Jokowi, khususnya penanganan pandemi Covid-19. Namun, alih-alih menggunakan wewenangnya sebagai anggota DPR, mengapa kritik hanya dilakukan melalui media sosial dan media massa?
“There is only one way to avoid criticism: do nothing, say nothing, and be nothing.” – Elbert Hubbard, penulis asal Amerika Serikat
PDIP dengan jelas ingin mengembalikan trah Soekarno, atau mungkin tepatnya trah Megawati. Ini tergambar jelas dari seteru antara pendukung Puan Maharani dan Ganjar Pranowo dalam merebut tiket Pilpres 2024.
Terkhusus Puan, situasinya mungkin tidak sebaik Ganjar. Setidaknya kesimpulan itu dapat ditarik dari persepsi publik dalam berbagai rilis survei. Sadar atas situasi tersebut, langkah untuk menampilkan wajah kritis tampaknya tengah dipilih.
Melihat gestur-gestur yang ada, Puan tampil sebagai pengkritik atas berbagai kebijakan pemerintahan Joko Widodo (Jokowi), khususnya penanganan pandemi Covid-19. Gestur-gestur itu telah diprediksi PinterPolitik dalam artikel Nasib Puan Ditentukan Jokowi? pada 23 Februari 2021.
Tesis artikel tersebut sederhana, Puan dapat memanfaatkan posisinya sebagai Ketua DPR untuk memberikan kritik terhadap pemerintah. Terkait posisinya yang notabete satu partai dengan Presiden Jokowi, pada dasarnya itu bukanlah suatu masalah.
Kita dapat merujuk kasus Marzuki Alie ketika menjadi Ketua DPR periode 2009-2014 untuk menepis sentimen tersebut. Kendati Marzuki Alie adalah politisi Partai Demokrat, alumnus Universiti Utara Malaysia ini nyatanya tidak jarang memberikan kritik tajam terhadap pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Pada 9 Januari 2012, misalnya, Marzuki Alie mengkritik realisasi APBN 2011 yang tidak optimal. Lalu pada 11 Oktober 2013, Marzuki Alie bahkan secara spesifik menyinggung SBY. Saat itu, Ia menyarankan agar SBY tidak perlu marah atas pernyataan Luthfi Hasan Ishaaq yang menyebut namanya dalam persidangan kasus korupsi dan pencucian uang.
Well, pada dasarnya langkah Puan yang bersikap kritis atas pemerintahan Jokowi saat ini begitu mudah ditebak. Mengapa demikian?
Langkah yang Mudah Ditebak
Prediksi tersebut tidak datang seperti yang disebutkan Lawrence R. Samuel dalam tulisannya Why Do We Think So Much of the Future?, yang menyebut prediksi masa depan semacam hasrat psikologis. Prediksi Puan akan berlaku kritis adalah buah dari kalkulasi variabel. Poin ini ditegaskan Michael D. Ward dan Nils Metternich dalam tulisannya Predicting the Future Is Easier Than It Looks.
Menurut mereka, prediksi masa depan, seperti melakukan prediksi politik tidak lagi mustahil, melainkan telah menjadi hal yang benar-benar dapat dilakukan. Dengan adanya revolusi di bidang statistika, konfigurasi variabel-variabel politik menjadi data telah memungkinkan kita untuk mengetahui peluang terjadinya suatu fenomena politik.
Pada kasus Puan, setidaknya ada empat variabel kunci yang menjadi pertimbangan. Pertama, wacana Puan maju di gelaran Pilpres sudah harum baunya sejak 2018. Saat itu ramai pemberitaan soal PDIP yang memprioritaskannya sebagai cawapres Jokowi.
Kedua, sampai saat ini elektabilitas Ganjar masih di atas Puan. Berbagai peristiwa politik, mulai dari insiden mematikan mikrofon, hingga sempat disebut di korupsi bansos Covid-19 juga menggerus citra Puan.
Ketiga, seperti yang disebutkan sebelumnya, posisi sebagai Ketua DPR sangat strategis bagi Puan untuk mengkritik pemerintahan Jokowi. Puan juga dapat dengan mudah menjawabnya bahwa kritik-kritik tersebut semata-mata sebagai pemenuhan tanggung jawab sebagai legislatif.
Keempat, mengacu pada kasus Presiden SBY di periode keduanya, besar kemungkinan Presiden Jokowi akan terkena second-term curse atau kutukan periode kedua. Coba bayangkan, dengan status SBY sebagai ketua partai saja gejolak terus berdatangan, apalagi Jokowi yang merupakan kader partai biasa.
Seperti yang dibahas dalam artikel PinterPolitik sebelumnya, Jokowi Mulai Ditinggalkan?, kutukan periode kedua pada dasarnya bukan karena Presiden kehilangan power secara hukum, melainkan kehilangan power secara politik. Mereka yang selama ini membentengi Presiden tengah mencari proyeksi tunggangan baru karena kapal akan berlabuh.
Nah, mengacu pada empat variabel tersebut, sangat besar kemungkinan Puan akan mengkritik pemerintahan Jokowi untuk menaikkan elektabilitasnya.
Akan tetapi, apabila mengacu pada gestur-gestur politik yang ada, Puan tampaknya tidak benar-benar serius untuk memberikan kritik. Mengapa demikian?
Dramaturgi Politik?
Terkait simpulan tersebut, pernyataan politisi Partai Gerindra Arief Poyuono pada 6 Agustus sangat menarik untuk direnungkan.
“Kritikan ketua DPR RI hingga Ibas dll terkait penanganan Covid-19 cuma adu bacot doang. Ayo gelar mosi tidak percaya kepada Jokowi terkait penanganan Covid -19,” begitu ungkapnya.
Selain itu, Arief menyebut DPR dapat membentuk panitia khusus atau pansus penanganan Covid-19 karena pandemi telah memakan banyak korban jiwa.
Mengutip Hukum Online, penggunaan istilah mosi tidak percaya pada dasarnya tidak tepat karena tidak ada peraturan perundang-undangan yang secara eksplisit mengatur hal tersebut. Mengacu pada Pasal 79 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), lebih tepat mengatakan Puan seharusnya menggunakan hak interpelasi, hak angket, atau hak menyatakan pendapat yang dimiliki DPR.
Seperti kata Arief, jika Puan benar-benar serius mengkritik pemerintahan Jokowi, sudah seharusnya ketiga hak tersebut digunakan. Penegasan tersebut sejalan dengan teori law as a tool of sosial engineering dari Roscoe Pound. Hukum adalah alat yang berperan merubah nilai-nilai sosial dalam masyarakat.
Untuk memberikan perubahan, Puan dan rekan-rekan di DPR seharusnya menggunakan hukum, bukannya sekadar menebar pandangan kritis dan baliho-baliho di pinggir jalan. Lagipula, bukankah Puan sendiri yang menegaskan bahwa pemimpin itu di lapangan, bukan di media sosial?
Jika kritik-kritik terhadap eksekutif hanya sebatas tebaran quote-quote di media sosial ataupun media massa, tidak mengejutkan apabila terdapat pihak yang menyebut Puan tengah memainkan dramaturgi politik.
Dramaturgi (dramaturgy) adalah konsep yang dipopulerkan oleh Erving Goffman. Konsep ini mengadopsi istilah di teater atau drama terkait adanya front stage dan backstage untuk menjelaskan interaksi sosial.
Dalam politik, dramaturgi kerap dikutip untuk menjelaskan bagaimana semunya realitas politik. Front stage atau apa ditampilkan di hadapan publik sering kali berbeda dengan apa yang sebenarnya terjadi (backstage).
Baca Juga: Gantikan PDIP, Demokrat Dukung Jokowi?
Atas persoalan ini, khususnya Puan yang tidak menggunakan haknya sebagai anggota DPR, dugaannya mungkin dua. Pertama, Puan tengah memainkan dramaturgi politik. Kritik-kritik yang ada tidaklah serius karena diperuntukkan untuk mendulang simpati publik semata.
Kedua, mungkin belum digunakan. Menimbang pada Pilpres 2024 masih tiga tahun lagi, menggunakan hak interpelasi, hak angket, maupun hak menyatakan pendapat, mungkin dinilai akan menimbulkan keriuhan politik, khususnya di tengah situasi pandemi. Apalagi, bagaimana pun juga, Jokowi adalah bagian dari PDIP.
Jika benar-benar serius, Puan mungkin akan menggunakan hak-hak tersebut menjelang Pilpres 2024. Pada saat itu, PDIP tidak lagi memiliki kepentingan untuk “menjaga” Jokowi dan bersiap memajukan sosok baru sebagai kandidat.
Well, pada akhirnya hanya waktu yang dapat menjawab apakah kritik-kritik Puan akan menjadi serius atau tidak.
Jika kritik Puan hanya dramaturgi, Presiden Jokowi cukup menyikapinya seperti pernyataan Elbert Hubbard di awal tulisan. Jangan lakukan apa pun dan jangan katakan apa pun. Sejauh ini, saran Hubbard tampaknya telah dilakukan. (R53)