HomeNalar PolitikPuan, Sumbar, dan Dendam Masa Lalu

Puan, Sumbar, dan Dendam Masa Lalu

Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Puan Maharani mengungkapkan harapan agar Provinsi Sumatera Barat dapat mendukung negara Pancasila. Pernyataan itu menuai polemik. Mengapa pernyataan itu bisa muncul?


PinterPolitik.com

“Oh, man, what a world, the things I hear. If I could act on my revenge, then, oh, would I?” – XXXTENTACION, penyanyi rap asal Amerika Serikat (AS)

Sebagian besar penggemar film pasti pernah menonton sebuah film yang berjudul Mean Girls (2004). Film Hollywood ini merupakan salah satu film yang populer di zamannya.

Dalam film tersebut, dikisahkan permusuhan antara dua gadis di sebuah sekolah, yakni antara Cady Heron dan Regina George. Dalam persaingan itu, mereka pun memiliki kelompok kawanannya masing-masing.

Persaingan antara keduanya juga berjalan cukup sengit. Sampai-sampai, satu sekolah dibuat ribut oleh Cady dan Regina.

Apa yang terjadi antara Regina dan Cady ini tampaknya juga tengah terjadi di kancah perpolitikan Indonesia. Kabarnya, PDIP dan PKS merupakan dua partai yang saling berebut suara para pemilih.

Salah satu perhelatan perebutan suara tersebut akan terjadi di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020, khususnya di Provinsi Sumatera Barat (Sumbar). Sampai-sampai, Ketua DPP PDIP Bidang Politik dan Keamanan Puan Maharani turut berkomentar terkait Pilkada mendatang tersebut.

Ketika mengumumkan calon kepala daerah yang disokong partainya, Puan mengucapkan sebuah harapan yang berakhir menjadi polemik. Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tersebut berharap agar Sumbar menjadi provinsi yang mendukung negara Pancasila.

Sontak, ungkapan harapan itu mendapat kritik dari berbagai pihak. Salah satunya datang dari PKS yang mengatakan bahwa pernyataan Puan telah menyakiti hati masyarakat Sumbar.

Pasalnya, pernyataan itu dinilai seakan-akan menganggap masyarakat Sumbar tidak mendukung Pancasila yang merupakan ideologi negara. Alhasil, PKS menuntut agar Puan bersedia untuk mencabut pernyataan itu dan meminta maaf pada masyarakat Sumbar.

Layaknya kawan-kawan Regina dan Cady, PDIP pun langsung memasang badan guna membela Puan. Salah satu klarifikasi datang dari Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP Hasto Kristiyanto.

Menurut Hasto, Puan bermaksud untuk mengingatkan setiap daerah agar nilai-nilai Pancasila dapat dibumikan – bukan hanya di Sumbar. Sembari memberikan klarifikasi, Hasto juga menjelaskan bahwa pihaknya kerap mendapatkan cerita tentang keanekaragaman masakan Indonesia, termasuk rendang yang khas dengan budaya Minangkabau.

Terlepas dari fakta bahwa PDIP pernah mendapatkan kisah kuliner ala Minangkabau tersebut, sensasi yang timbul di publik atas pernyataan Ketua DPR ini tidak dapat dipungkiri telah menimbulkan pertanyaan di benak masyarakat. Lantas, mengapa pernyataan Puan tersebut dapat muncul? Kemudian, apa konsekuensi politik lanjutan yang bisa timbul?

Dendam Politik?

Pernyataan Puan tersebut bisa jadi turut dilatarbelakangi oleh budaya politik yang berbeda antara Jawa dan Minangkabau. Pasalnya, Zainal Arifin dan Maulid Hariri Gani dalam tulisannya yang berjudul Dua Relasi Kepentingan – dengan mengutip Josselin de Jong – menyebutkan bahwa masyarakat Minangkabau turut menganut budaya politik hostility friendship (permusuhan dalam persahabatan) yang membuat budaya musyawarah terjaga.

Baca juga :  Arti Kesetiaan Politik: Jokowi vs Prabowo

Sementara, budaya politik Jawa yang erat dengan trah Megawati Soekarnoputri dan Puan lebih menekankan pada pengumpulan “pusaka” kekuatan – dalam hal ini termasuk Sumbar. Budaya politik seperti ini turut dijelaskan oleh Benedict Anderson dalam bukunya yang berjudul Language and Power.

[Puan Maharani Sebut ‘Semoga Sumbar Jadi Pendukung Negara Pancasila, Asrinaldi: Biasa Saja] https://t.co/yzwPMgDgav
Kami bertanya pada Puan:”Sejak Kapan Sumbar bkn Pendukung Negara Pancasila?”
Kalau PDIP Jeblok di sana Bukan Berarti Sumbar Tidak Mendukung Negara Pancasila.
Paham?— tengkuzulkarnain (@ustadtengkuzul) September 2, 2020

Selain itu, bukan tidak mungkin pernyataan Puan ini didasarkan pada sentimen politik yang berasal dari masa lalu. Beberapa pihak menilai bahwa hal ini didasarkan pada sentimen politik – mulai dari sejarah di era kepresidenan Soekarno hingga perolehan suara PDIP pada Pemilu 2014 dan 2019.

Asumsi soal sentimen masa lampau juga diungkapkan oleh sejarawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang bernama Asvi Warman Adam. Menurutnya, sentimen ini didasarkan pada permusuhan antara pemerintah pusat yang dipimpin oleh Presiden Soekarno dengan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang dideklarasikan di Sumbar pada tahun 1958.

Apa yang dijelaskan oleh Asvi bisa saja benar. Pasalnya, perasaan sentimen dan dendam seperti ini kerap terjadi dalam dinamika politik dan perebutan kekuasaan.

Perasaan sentimen dendam ini turut dijelaskan dalam keilmuan psikologi sosial. Hal ini pernah dijelaskan oleh Ian McKee dari University of Adelaide, Australia dalam salah satu studinya.

McKee menyebutkan bahwa sentimen seperti ini kerap muncul di kalangan aktor yang termotivasi untuk mendapatkan kekuasaan, status, dan otoritas. Hal-hal yang disebutkan oleh McKee ini merupakan hal yang umum ada dalam pertarungan politik.

Selain itu, sentimen seperti ini bisa disalurkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Pewarisan sentimen ini dijelaskan oleh Brandon Hamber dan Charlie A. Wilson – dengan mengutip Michael Ignatieff – dalam tulisan mereka.

Lantas, bagaimana dengan Puan dan Sumbar? Apakah sentimen Soekarno dan PRRI dapat melatarbelakanginya?

Masyumi dan PKS

Bukan tidak mungkin peristiwa dalam sejarah turut melatarbelakangi pernyataan Puan. Pasalnya, pertarungan politik pada era Orde Lama itu menjadi salah satu sejarah kelam dari Indonesia.

Sejarah PRRI dimulai ketika kelompok itu dideklarasikan pada tahun 1958. Kala itu, alasan pendirian itu adalah untuk menuntut pembangunan yang lebih merata bagi daerah-daerah luar Jawa.

Bahkan, PRRI membentuk semacam pemerintahannya sendiri. Kelompok itu juga banyak didukung oleh tokoh-tokoh besar, seperti Mohammad Natsir dari Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) dan Soemitro Djojohadikusumo dari Partai Sosialis Indonesia (PSI).

Soekarno pun melihat PRRI sebagai kelompok pemberontakan karena dinilai dapat mengancam legitimasi pemerintah pusat. Operasi militer – menimbulkan banyak korban sipil – dan pembubaran sejumlah organisasi dan partai politik akhirnya dilakukan oleh pemerintahan Soekarno.

Salah satu unsur yang mendukung gerakan PRRI adalah Masyumi. Partai berbasis Islam ini akhirnya dibubarkan oleh Soekarno karena keterlibatannya.

Baca juga :  Dinasti Megawati di DPR?

Akar sejarah PRRI dan Masyumi ini bisa saja ditarik ke dalam kancah politik masa kini. Gubernur Sumatera Barat Irwan Prayitno yang berasal dari PKS, misalnya, disebut memiliki orang tua yang merupakan aktivis PRRI.

Selain itu, salah satu tokoh Masyumi merupakan Natsir yang berasal dari Sumbar. Natsir sendiri merupakan tokoh yang disebut-sebut menjadi inspirasi bagi kelahiran PKS – melalui peran tokoh Masyumi tersebut dalam mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) pada tahun 1967.

DDII inilah yang nantinya menjadi cikal bakal bagi berdirinya Lembaga Dakwah Kampus (LDK) yang mewadahi gerakan tarbiyah. LDK ini juga disebut-sebut ialah embrio dari PKS.

Tidak hanya itu, PKS sendiri mengklaim sebagai partai penerus Masyumi. Partai tersebut kerap mengutip pemikiran Natsir sebagai gagasan bangsa yang penting.

Bila benar pernyataan Puan didasarkan pada sentimen masa lampau, lantas, bagaimana konsekuensi politik lanjutan yang dapat muncul akibat pernyataan tersebut? Apakah mungkin pernyataan tersebut turut memengaruhi dinamika politik di masa mendatang?

Political Gaffe

Meski mungkin benturan antara masyarakat Sumbar dan PKS dengan PDIP benar adanya, konsekuensi politik lanjutan bisa saja memengaruhi dinamika politik di masa mendatang. Dalam arti lain, PDIP dapat merugi akibat pernyataan ini.

Sejumlah pihak bahkan telah menilai bahwa pernyataan Puan dapat berdampak buruk bagi elektabilitas Mulyadi dan Ali Mukhni – pasangan calon kepala daerah Sumbar 2020. Bukan tidak mungkin, pernyataan itu juga dapat merugikan Puan.

Seperti yang diketahui, Puan merupakan sosok yang berpotensi untuk menjadi calon presiden pada Pilpres 2024. Dengan begitu, proses kariernya selama menjadi Ketua DPR kini bisa saja memengaruhi elektabilitasnya di masa mendatang – termasuk pernyataannya baru-baru ini.

Kesalahan pernyataan semacam ini biasa disebut dengan istilah “political gaffe”. Istilah ini dicetuskan oleh Michael Kinsley dengan mendefinisikannya sebagai pernyataan politikus yang berbasis pada fakta tetapi menjadi kesalahan di mata publik.

Salah satu politikus Amerika Serikat yang tersandung gaffe seperti Puan ini adalah Joe Biden. Pernyataan calon presiden dari Partai Demokrat AS tersebut soal komunitas Afrika-Amerika, misalnya, menjadi kontroversi di masyarakat negeri Paman Sam.

Alhasil, gaffe seperti ini seakan-akan menjadi hadiah bagi Partai Republik dan Presiden AS Donald Trump. Bahkan, kesalahan ucapan Biden kerap digunakan untuk memberikan kampanye negatif – menuju perhelatan Pilpres AS 2020.

Bukan tidak mungkin, gaffe yang dilakukan Puan akan dimanfaatkan oleh lawan-lawan politiknya dalam memengaruhi diskursus politik. PKS, misalnya, kini telah berkomentar soal pernyataan Ketua DPR tersebut dan menuding pernyataannya telah menyakiti masyarakat Sumbar.

Meski begitu, pengaruh gaffe ini belum tentu benar adanya karena perjalanan karier politik Puan menuju 2024 juga masih panjang. Yang jelas, sentimen politik PDIP terhadap Sumbar – di mana suara didominasi oleh PKS – bisa saja mendasari pernyataan tersebut. Mari kita nantikan saja kelanjutan polemik pernyataan ini. (A43)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Menguji “Otot Politik” Andika Perkasa

Pilgub Jawa Tengah 2024 kiranya bukan bagaimana kelihaian politik Andika Perkasa bekerja di debutnya di kontestasi elektoral, melainkan mengenai sebuah hal yang juga lebih besar dari sekadar pembuktian PDIP untuk mempertahankan kehormatan mereka di kandang sendiri.

Menyoal Kabinet Panoptikon ala Prabowo

Pemerintahan Prabowo disebut memiliki kabinet yang terlalu besar. Namun, Prabowo bisa jadi memiliki kunci kendali yakni konsep "panoptikon".

Tidak Salah The Economist Dukung Kamala?

Pernyataan dukungan The Economist terhadap calon presiden Amerika Serikat, Kamala Harris, jadi perhatian publik soal perdebatan kenetralan media. Apakah keputusan yang dilakukan The Economist benar-benar salah?

Ridwan Kamil dan “Alibaba Way”

Ridwan Kamil usulkan agar setiap mal di Jakarta diwajibkan menampilkan 30 persen produk lokal. Mungkinkah ini gagasan Alibaba Way?

Hype Besar Kabinet Prabowo

Masyarakat menaruh harapan besar pada kabinet Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

Rahasia Kesaktian Cak Imin-Zulhas?

Dengarkan artikel ini: Audio ini dibuat menggunakan AI. Di tengah kompetisi untuk tetap eksis di blantika politik Indonesia, Zulkifli Hasan dan Muhaimin Iskandar tampak begitu kuat...

Prabowo, the Game-master President?

Di awal kepresidenannya, Prabowo aktif menggembleng Kabinet Merah Putih. Apakah Prabowo kini berperan sebagai the game-master president?

Indonesia First: Doktrin Prabowo ala Mearsheimer? 

Sejumlah pihak berpandangan bahwa Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto akan lebih proteksionis. Seberapa besar kemungkinannya kecurigaan itu terjadi? 

More Stories

Menyoal Kabinet Panoptikon ala Prabowo

Pemerintahan Prabowo disebut memiliki kabinet yang terlalu besar. Namun, Prabowo bisa jadi memiliki kunci kendali yakni konsep "panoptikon".

Ridwan Kamil dan “Alibaba Way”

Ridwan Kamil usulkan agar setiap mal di Jakarta diwajibkan menampilkan 30 persen produk lokal. Mungkinkah ini gagasan Alibaba Way?

Prabowo, the Game-master President?

Di awal kepresidenannya, Prabowo aktif menggembleng Kabinet Merah Putih. Apakah Prabowo kini berperan sebagai the game-master president?