Sejumlah analis dan pengamat memprediksi PDIP akan mengusung Prabowo-Puan dalam Pilpres 2024 mendatang. Namun prospek tersebut kini terancam dengan tingginya elektabilitas Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo. Mampukah Puan membuktikan dirinya lebih baik secara elektoral daripada Ganjar?
Pada 2014 lalu, Puan Maharani yang kala itu menjabat sebagai Ketua DPP bidang Politik PDIP menyatakan siap jika partainya memberi mandat untuk maju dalam kontestasi Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014. Kala itu, santer beredar isu Puan bakal dipasangkan dengan calon presiden dari Partai Golkar, Aburizal Bakrie.
Anggapan bahwa Puan akan dimajukan sebagai jagoan PDIP sebenarnya masuk akal. Sebab selain berstatus sebagai putri mahkota dari sang Ketua Umum, Megawati Soekarnoputri, Puan juga sudah memiliki rekam jejak mumpuni di jabatan publik. Bisa dibilang Ia telah mengantongi “golden ticket” untuk dapat maju sebagai calon presiden atau calon wakil presiden.
Namun kita semua tahu bagaimana episode tersebut berakhir. Kala itu, Puan terpaksa harus gigit jari lantaran ibundanya lebih memilih mencalonkan Joko Widodo (Jokowi) pada Pilpres 2014.
Saat itu banyak analis menduga bahwa Mega ‘terpaksa’ memilih Jokowi lantaran elektabilitas eks Wali Kota Solo itu terlanjur tinggi.
Setelah PDIP akhirnya berhasil mengantarkan Jokowi ke Jalan Medan Merdeka Utara, Puan kemudian mendapatkan jatah kursi sebagai Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK). Di posisi itu, secara teori, Puan yang sebelumnya lebih banyak berkiprah sebagai legislator, sebenarnya memiliki kesempatan yang lebih besar untuk menaikkan elektabilitasnya.
Namun jauh panggang dari api, sentimen minor publik terhadap kinerja Puan justru mengalir. Berdasarkan survei sejumlah lembaga di akhir periode pertama Jokowi, Puan dipersepsikan sebagai menteri dengan kinerja terendah
Kendati begitu, PDIP nyatanya belum menyerah untuk mencoba menawarkan Puan sebagai salah satu kandidat potensial di Pilpres 2019. Setahun sebelum perhelatan pemilu, Wakil Sekretaris Jenderal PDIP, Ahmad Basarah sempat mengakui bahwa Puan masuk daftar calon kandidat pendamping Jokowi di 2019, meski lagi-lagi prospek itu hanya menjadi wacana belaka.
Kini ketika akhirnya Jokowi secara konstitusional tak lagi dapat mencalonkan diri sebagai Presiden, peluang Puan untuk dinobatkan sebagai jagoan PDIP kembali mencuat. Ia digosipkan akan dipasangkan dengan eks rival Jokowi, Prabowo Subianto yang kini menjabat sebagai Menteri Pertahanan (Menhan).
Namun sayang, hingga hari ini elektabilitas Puan nyatanya tak banyak mengalami perkembangan. Yang ada, narasi pencalonannya kini malah terancam oleh rekan separtainya Ganjar Pranowo yang kini menjabat sebagai Gubernur Jawa Tengah (Jateng) yang punya elektabilitas jauh lebih moncer ketimbang Puan.
Menyikapi hal ini, maka patut dipertanyakan seberapa besar sebenarnya arti kemenangan Puan bagi PDIP?
2024 Ujian Kepemimpinan Puan?
Tak hanya di level nasional, dalam konteks partai politik pun, jalan Puan untuk tampil sebagai suksesor Mega nyatanya juga menghadapi jalan terjal.
Marcus Mietzner dalam Indonesia’s 2009 Elections: Populism, Dynasties and the Consolidation of the Party System menyebutkan bahwa Puan yang dipersiapkan sebagai penerus Mega masih mendapatkan resistensi karena dianggap tidak berpengalaman dalam mengonsolidasikan partai. Hal ini diperparah dengan kondisi internal PDIP yang disebut-sebut terdiri dari sejumlah faksi.
Pengamat politik dari PARA Syndicate, Ari Nurcahyo pernah menyebut bahwa saat ini ada tiga faksi yang berada di tubuh PDIP. Pertama adalah kelompok loyalis Mega yang otomatis mendukung Puan. Kedua adalah kelompok yang mendukung saudara Puan, Prananda Prabowo. Ketiga adalah kelompok yang berasal dari Partai Kristen Indonesia (Parkindo).
Di titik ini, maka bisa dikatakan prospek pencalonan di 2024 sebenarnya bisa dijadikan momentum untuk mengasah taji kepemimpinan Puan. Dengan pengalaman mencalonkan diri dalam kontestasi elektoral tertinggi, terlepas menang atau tidak, tentu bisa berkorelasi positif terhadap kemampuannya dalam mengonsolidasikan berbagai kepentingan.
Berangkat dari sini, mungkin dapat dipahami bahwa signifikansi pencalonan Puan tampaknya punya persinggungan dengan kepentingan regenerasi, khususnya untuk menyelesaikan persoalan faksi-faksi yang selama ini menghantui PDIP. Namun pertanyaan lanjutannya, mampukah Puan bersaing dengan Ganjar, sosok yang digadang-gadang menjadi penantang kuat bagi prospek pencalonannya?
Ganjar Sulit Dibendung?
Seperti sudah disinggung sebelumnya, Puan sebenarnya memiliki banyak kesempatan untuk meningkatkan elektabilitasnya. Namun dengan sengkarut jabatan di level nasional yang pernah Ia emban, elektabilitas Puan ternyata tetap mampu dikalahkan oleh Ganjar yang lebih dikenal publik sebagai Gubernur Jawa Tengah.
Di titik ini, tentu menarik dipertanyakan mengapa Ganjar yang merupakan seorang outsider dan saat ini “hanya” memiliki scope kewenangan di level lokal mampu mengalahkan elektabilitas Puan yang merupakan pejabat di level nasional. Terbaru, nama Puan juga muncul dalam dugaan korupsi bansos Covid-19.
Marcus Mietzner menyebut salah satu yang menyebabkan Puan kurang populer adalah karena dirinya mewarisi “karakter” Mega dinilai tidak terlalu menguntungkan secara elektoral.
Sama dengan Mega, Puan dinilai sebagai tokoh dingin yang kerap menolak untuk diwawancarai jurnalis, dan terlihat tidak nyaman ketika bergaul dengan orang banyak. Mietzner menilai karakter elitis semacam ini lah yang membuat Megawati gagal memenangkan Pilpres 2004 dan juga menjadi penyebab menurunnya suara PDIP di Pemilu 2009.
Berbanding terbalik dengan Puan, Ganjar menjadi sosok yang lebih populer karena berhasil membangun kekuatan politiknya melalui medium komunikasi baru, yakni media digital. Faktanya, kebangkitan para “orang luar” yang memanfaatkan media digital ini ternyata jamak terjadi di berbagai belahan dunia.
Andreas Jungherr, Ralph Schroeder, dan Sebastian Stier dalam Digital Media and the Surge of Political Outsiders menyebut di Amerika Serikat (AS), politisi seperti Barack Obama dan Bernie Sanders juga memanfaatkan media digital untuk menjaring pendukung. Bahkan eks Presiden AS Donald Trump juga menggunakan ruang digital guna mengambil alih perhatian – meski kerap menimbulkan kontroversi.
Meski demikian, Ganjar sendiri bukan lah sosok politikus tanpa cela. Seperti sudah diketahui bersama, nama Ganjar kerap disebut-sebut dalam persidangan kasus korupsi Kartu Tanda Penduduk elektronik (e-KTP). Lalu bisakah isu ini dimanfaatkan untuk menjegal prospek Ganjar?
Sayangnya, belum tentu. Meski lumrah dipahami sebagai ancaman bagi karier seorang politikus, namun nyatanya dampak isu korupsi dalam konteks elektoral masih menjadi perdebatan di kalangan para analis.
Catherine E. De Vries dan Hector Solaz dalam The Electoral Consequences of Corruption menyebut bahwa konsekuensi elektoral dari isu korupsi bisa saja minim. Bahkan dalam derajat tertentu, mereka memaparkan sejumlah bukti bahwa pemilih bisa saja mentolerir isu korupsi.
Vries dan Solaz menyebut kondisi itu terjadi karena beberapa faktor. Pertama karena akses informasi. Maksudnya, tidak semua pemilih paham dengan isu korupsi. Sebab korupsi adalah isu kompleks yang sulit dideteksi.
Kedua, adanya fenomena blame attribution. Sekalipun pemilih sadar akan isu korupsi, kognisi mereka bisa saja salah memahami siapa yang sesungguhnya bertanggung jawab.
Ketiga, adanya faktor behavioral response yang beragam dari pemilih. Sekalipun pemilih paham akan isu korupsi dan benar memahami siapa yang bertanggung jawab, namun tetap ada kecenderungan untuk mengabaikan fakta tersebut jika dirasa opsi yang mereka pilih memang menguntungkan bagi dirinya sendiri.
Untuk membuktikan argumennya itu, mereka kemudian mengutip hasil riset yang dilakukan Pedro Riera dan kawan-kawan yang menyebut bahwa di Spanyol, sebanyak 70 persen Wali Kota yang pernah terjerat skandal korupsi, terpilih kembali pada periode kedua.
Namun demikian, mereka tetap menggarisbawahi bahwa tak semua politikus imun terhadap skandal korupsi. Dalam kondisi tertentu, skandal tersebut memang berkorelasi negatif terhadap citra elektoral mereka. Akan tetapi, argumen Vries dan Solaz ini setidaknya bisa dijadikan penjelasan mengapa di sejumlah daerah, kandidat yang pernah terjerat korupsi masih tetap terpilih ketika berkontestasi dalam pemilu.
Pada akhirnya, perlu diakui bahwa Puan sepertinya masih akan sulit untuk dapat menyaingi popularitas Ganjar. Ia masih punya banyak pekerjaan rumah untuk mengasah citra politiknya agar bernilai di mata publik.
Namun demikian, Puan masih punya waktu lebih kurang dua tahun untuk menyelesaikan persoalan ini. Dalam politik yang serba dinamis ini, apa pun masih bisa terjadi. Kita nantikan saja apakah nantinya Puan mampu membuktikan signifikansi kekuatan politiknya. (F63)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.