Belakangan ini berbagai pengamat politik memberikan apresiasi terhadap Menko Perekonomian Airlangga Hartarto. Melandainya kasus Covid-19 juga disebut tidak terlepas dari peran Airlangga sebagai Ketua KPC-PEN. Apakah Airlangga sedang berlomba persepsi dengan Puan Maharani yang juga ingin maju di 2024?
“Politics is like a race horse. A good jockey must know how to fall with the least possible damage.” — Edouard Herriot, politisi Prancis
Sebelas hari yang lalu, penulis berkesempatan mengunjungi Pulau Lombok di Nusa Tenggara Barat (NTB). Selama seminggu lebih mengunjungi pulau yang dijuluki Seribu Masjid itu, penulis tidak hanya menikmati pantai-pantai berpasir putih yang indah, melainkan juga perang baliho di sepanjang jalan. Sedikit konteks, jalan raya di Pulau Lombok banyak dibuat di sepanjang garis pantai, khususnya yang menjadi tempat wisata seperti Pantai Senggigi.
Ya, berbicara mengenai baliho, ada dua player yang tengah dominan, yakni Ketua DPR Puan Maharani dan Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto. Jika Puan khas dengan “Kepak Sayap Kebhinekaan” berwarna merah, maka Airlangga khas dengan “Kerja Untuk Indonesia 2024” berwarna kuning.
Namun, apabila memperhatikan gestur-gestur politik terbaru, tampaknya Airlangga dan Puan telah menggeser perdebatan yang terjadi. Dalam artikel PinterPolitik sebelumnya, Operasi Intelijen di Balik Baliho Puan, dengan mengadopsi ilmu intelijen, tebaran baliho dapat disebut sebagai tahap infiltrasi.
Dalam operasi penggalangan intelijen, umumnya melalui tiga tahapan utama, yaitu tahap infiltrasi, intensifikasi/eksploitasi, dan diakhiri tahap evaluasi/konsolidasi. Nah, setelah berhasil menyusup ke ingatan publik melalui tebaran baliho yang ada, kandidat akan lanjut ke tahap selanjutnya, yakni intensifikasi/eksploitasi.
Tahap tersebut dilakukan dengan mengeskalasi strategi politik demi memperkuat persepsi publik terhadap kandidat yang bersangkutan. Tentunya, eskalasi dilakukan dengan cara menciptakan persepsi-persepsi positif.
Baca Juga: Perang Baliho: Puan vs Airlangga
Namun, apabila melihat gelagat Airlangga dan Puan, tampaknya baru Airlangga yang tengah masif lanjut ke tahap intensifikasi/eksploitasi. Ini jelas terlihat dari tanggapan positif berbagai pengamat politik, seperti Ujang Komarudin dan Saiful Anam yang menilai melandainya kasus Covid-19 juga berkat kinerja Airlangga.
Pada 26 September, Head of Department of Politics and Social Change at Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes, juga menilai komunikasi lintas partai yang dilakukan Airlangga adalah sesuatu yang positif dan harus dipertahankan.
Lantas, fenomena apa yang dapat dimaknai dari pujian-pujian terhadap Airlangga tersebut?
Perception Race
Seperti yang disebutkan sebelumnya, kita dapat menggunakan tahap-tahap operasi penggalangan intelijen untuk memahami langkah politik Airlangga dan Puan. Pertama, mereka berdua telah melakukan tahap infiltrasi melalui tebaran baliho di hampir seluruh Indonesia.
Jika dinilai sudah cukup, secara logis, mereka – tepatnya timnya – akan lanjut ke tahap intensifikasi/eksploitasi. Setelah itu, barulah menuju tahap evaluasi/konsolidasi, yakni melakukan konsolidasi dengan partai politik lain agar bisa maju di Pilpres 2024.
Menimbang tahap terakhir masih lama, paling cepat mungkin satu atau dua tahun lagi, sekarang sudah seharusnya Airlangga dan Puan fokus pada tahap intensifikasi/eksploitasi. Pasalnya, meskipun kedua kandidat ini merupakan elite partai besar, mereka belum memiliki citra yang baik di tengah masyarakat.
Atas persoalan tersebut, dengan mengadopsi terminologi space race (perlombaan antariksa), penulis menyebut persoalan ini sebagai perception race (perlombaan persepsi). Ini adalah perlombaan bagi Airlangga dan Puan untuk meningkatkan persepsi mereka agar mendapat simpati publik. Entah itu secara langsung maupun tidak.
Lenore Taylor dalam tulisannya When politics is a game of perception not policy, everyone loses juga menegaskan hal serupa. Menurut Taylor, sangat disayangkan, saat ini politisi lebih berlomba untuk menunjukkan persepsi baiknya ataupun narasi-narasi menarik mereka, alih-alih menunjukkan argumentasi kebijakan aktual.
Penekanan Taylor pada dasarnya dapat dipahami secara netral. Masalahnya, dengan adanya gelombang komunikasi digital, media sosial telah bertransformasi menjadi sumber informasi dan memiliki dampak substantif dalam membentuk pemahaman, keyakinan, serta persepsi masyarakat. Ini misalnya dijelaskan oleh Agustín Fuentes dan Jeffrey V. Peterson dalam tulisannya Social media and public perception as core aspect of public health: The cautionary case of @realdonaldtrump and COVID-19.
Baca Juga: Jokowi Dukung Anies-Puan di 2024?
Jika melihat perception race antara Puan dan Airlangga saat ini, Puan tampaknya berkutat pada manuver blusukan dan kritik terhadap pemerintah, sementara Airlangga justru terlihat melalui testimoni orang ketiga. Belakangan ini, berbagai pihak tengah memberikan pujian-pujian terhadap kinerja Ketua Umum Partai Golkar tersebut.
Selain itu, berbeda dengan Airlangga yang sudah bulat didukung partai beringin, Puan masih berkutat pada masalah internal partai karena Ganjar Pranowo juga terlihat ingin maju, tepatnya ingin dimajukan kelompok non-trah Soekarno.
Membaca perbedaan tersebut, mungkin dapat dikatakan, saat ini Airlangga telah unggul dari Puan dalam perception race. Apalagi, setelah PDIP mengeluarkan instruksi untuk tidak membahas pilpres, tahap intensifikasi/eksploitasi Puan juga terlihat meredup. Besar kemungkinan, partai banteng tampaknya tengah fokus pada konsolidasi internal saat ini.
Bisa Tiru Susi Pudjiastuti
Nah, untuk lebih meningkatkan tahap intensifikasi/eksploitasi agar memperbesar peluang di tahap evaluasi/konsolidasi, Airlangga tampaknya perlu mengadopsi strategi publikasi mantan Menteri Kelautan dan Perikanan (Men-KP) Susi Pudjiastuti yang menyebarkan kinerjanya melalui media. Ini juga diungkapkan pengamat politik Universitas Al Azhar, Ujang Komarudin, bahwa kinerja dan keberhasilan Airlangga perlu disebarkan untuk diketahui publik dan mendapat apresiasi.
Pada kasus Susi, mengapa dirinya mendapat simpati luas dari publik, berbagai kebijakannya, khususnya menenggelamkan kapal asing kerap ditampilkan di media-media nasional. Selain itu, Susi juga memiliki jargon khas “tenggelamkan”.
Mengutip Tom Nichols dalam bukunya The Death of Expertise, dengan adanya gap pengetahuan besar antara masyarakat dan expert (pakar/ahli), strategi Susi menampilkan kebijakan monumental seperti menenggelamkan kapal, jauh lebih mudah diterima publik, daripada menjabarkan secara akademik dan rumit kebijakan-kebijakannya.
Nah, dengan status Airlangga sebagai Menko Perekonomian yang berkutat pada masalah-masalah ekonomi yang rumit, rasa-rasanya sulit membayangkan Airlangga akan menjabarkan perhitungan ekonomi ke hadapan publik. Oleh karenanya, bertolak dari Susi, Airlangga hanya perlu menyebarkan kebijakan-kebijakan monumental yang mudah diterima publik dan memiliki tampilan visual yang baik.
Baca Juga: Mengenal Airlangga Hartarto Ketika Muda
Sebagai contoh, Airlangga – tepatnya timnya – dapat menyebarkan peran-peran atau dorongan penting sang Menko Perekonomian di balik kesuksesan suatu kebijakan ekonomi. Pun demikian dengan posisinya sebagai Ketua KPC-PEN.
Masalahnya, publik tidak mengetahui apa saja yang telah dilakukan Airlangga. Ketidaktahuan tersebut kemudian membuat pujian berbagai pengamat terhadap Airlangga mendapat tanggapan sinis dari masyarakat. Itu misalnya terlihat dari komentar-komentar warganet dalam unggahan infografis PinterPolitik di Instagram.
Well, sebagai penutup, Airlangga perlu mengikis gap pengetahuan agar masyarakat mengetahui dan mengapresiasi kinerjanya. Ujungnya, ini tentu untuk mendapat simpati dari masyarakat. Jika tidak demikian, rasa-rasanya agak sulit bagi Airlangga untuk bersaing dengan Prabowo Subianto, Anies Baswedan, maupun Ganjar Pranowo sebagai kandidat dengan elektabilitas tertinggi. (R53)