Isu pergantian Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Umum PDIP menempatkan nama Puan Maharani dan Prananda Prabowo di posisi diametral. Haruskah kedua bersaudara ini berseteru untuk menuju PDIP-1? Ataukah terdapat pihak yang mengondisikannya berbenturan?
Kendati terdapat berbagai nama yang diisukan menjadi pengganti Megawati Soekarnoputri, nama Puan Maharani dan Prananda Prabowo adalah yang terdepan. Terkhusus Puan, meskipun telah banyak mengisi pos penting, seperti menteri dan Ketua DPR, sosok Prananda disebut lebih diinginkan untuk menjadi PDIP-1.
Marcus Mietzner dalam tulisannya Indonesia’s 2009 Elections: Populism, Dynasties and the Consolidation of the Party System menyebutkan salah satu penyebab krisis regenerasi PDIP adalah karena Puan yang diyakini diprospek Megawati menggantikan dirinya masih mendapatkan resistensi di internal PDIP.
Tidak hanya karena Puan dinilai tidak berpengalaman dalam mengonsolidasikan partai, namun juga karena dirinya yang dinilai mewarisi “karakter” elitis Megawati yang disebut tidak menguntungkan secara elektoral. Seperti Megawati, Puan kerap menolak untuk diwawancarai dan terlihat tidak nyaman bergaul dengan orang banyak.
Mietzner melihat karakter elitis tersebut yang membuat Megawati gagal memenangkan Pilpres 2004 dan juga menjadi salah satu penyebab menurunnya suara PDIP di Pemilu 2009.
Sementara Prananda yang baru-baru ini hangat di hadapan publik memang berkiprah sepenuhnya di internal PDIP. Ini tentu membuatnya memiliki pemahaman yang lebih baik terkait manajemen kepartaian.
Baca Juga: Puan Punah, Prananda Berjaya?
Politisi senior PDIP, Hendrawan Supratikno juga menegaskan hal ini. Pada 12 April kemarin, Hendrawan menegaskan, berbeda dengan Puan yang lebih banyak bergerak di ‘hilir’ atau fraksi, eksekutif, dan hubungan antarlembaga, Prananda lebih banyak di ‘hulu’ atau konsolidasi partai, dan penempatan kader di badan/organisasi sayap.
Penjelasan Hendrawan adalah bantahan atas dugaan terdapat kubu-kubuan antara Puan dan Prananda. Tegasnya, keduanya memang ditempatkan berbeda oleh Megawati.
Kendati memberi bantahan, mengacu pada adagium “tiada api tanpa asap”, tentu sukar membayangkan penjelasan itu bertolak dari ketiadaan. Artinya, mestilah Hendrawan melihat riak-riak persoalan sehingga cepat-cepat memberi penegasan.
Terlebih lagi, sebelumnya, Ketua DPC PDIP Solo, FX Hadi Rudyatmo memberi dukungan terbuka kepada Prananda untuk menjadi Ketua Umum PDIP.
Lantas, bagaimana sebaiknya kita memaknai tampilan seteru antara Puan dan Prananda ini?
Melampaui Gen Egois
Francis Fukuyama dalam bukunya The Origin of Political Order: From Prehuman Times to the French Revolution memberikan penjelasan menarik terkait mengapa manusia berbuat baik, meskipun mengafirmasi tesis Thomas Hobbes yang menyebutkan manusia adalah makhluk individualistis.
Fukuyama mengutip temuan biologi evolusioner terkait kin selection. Itu adalah mekanisme memberikan perhatian dan bantuan karena adanya faktor kekerabatan. Tepatnya faktor kedekatan gen. Sederhananya, manusia akan memberi perhatian bergantung atas kedekatan kekeluargaannya.
Yang utama adalah keluarga inti, seperti anak dan orang tua. Dalam kitab Genesis, kita juga mengenal istilah, “I am my brother’s keeper”.
Penjelasan yang lebih filosofis terkait kin selection dapat kita temukan dalam buku The Selfish Gene karya Richard Dawkins. Dalam bukunya, Dawkins menjelaskan terdapat mekanisme gen yang dapat mendorong sifat atau perilaku manusia sebagai inangnya.
Dawkins memperkenalkan istilah selfish gene atau gen egois untuk menggambarkan bagaimana gen bekerja (metafora). Dalam teori evolusi, spesies disebut akan selalu berusaha mempertahankan eksistensi atau keberlangsungan dirinya. Dawkins menarik penjelasan tersebut sampai ke level gen dengan menyebut gen juga berperilaku demikian.
Contohnya adalah perilaku ibu yang melindungi anaknya. Mengacu pada selfish gene, ditolongnya sang anak terjadi karena gen yang ada di si ibu ingin mempertahankan replikasi dirinya yang berada di si anak. Artinya, motif perlindungan tersebut adalah motif evolusi untuk mempertahankan keberlangsungan gen atau keturunannya.
Nah, sekarang pertanyaannya, jika perhatian mengacu pada tingkat kedekatan gen atau kekerabatan, mengapa Puan dan Prananda yang notabene bersaudara harus berbenturan?
Eko Wijayanto dalam bukunya Memetics dan Genetika Kebudayaan menjelaskan bahwa konsep gen egois turut andil dalam membuat manusia sebagai inang gen berperilaku egois. Yang menjadi persoalan adalah, manusia bisa saja menerkam replikasi gennya jika menilai itu dapat mempertahankan keberlangsungan dirinya. Di sini, Eko juga menyinggung persoalan seperti mempertahankan takhta politik.
Baca Juga: Bencana NTT-NTB dan Kohesi Partai Politik
Dalam buku Identity: The Demand for Dignity and the Politics of Resentment, dengan mengadopsi konsep thymos atau thymia dari Plato (Platon) dalam bukunya Republic, Fukuyama menerangkan persoalan penting yang intangible (tidak berwujud) sebagai masalah utama untuk mewujudkan demokrasi liberal modern.
Menurutnya, terdapat tiga masalah yang sukar diselesaikan oleh demokrasi liberal modern, yakni thymos, isothymia, dan megalothymia.
Thymos adalah bagian dari jiwa manusia yang sangat membutuhkan pengakuan akan martabat. Isothymia adalah tuntutan untuk dihormati atas dasar kesetaraan dengan orang lain. Sedangkan megalothymia adalah keinginan untuk diakui sebagai yang lebih unggul.
Ketiganya menuntut satu hal, yakni hasrat untuk diakui atau dihormati. Masalahnya, seperti yang disinggung Plato, apakah hasrat pengakuan tersebut memiliki batas? Apalagi megalothymia, hasrat untuk diakui lebih unggul, secara logis mestilah menempatkan pihak lain sebagai inferior.
Singkatnya, bertolak dari hasrat atas pengakuan, ini dapat menjadi faktor yang membuat benturan antara Prananda dan Puan yang notabene bersaudara. Kendatipun bukan dari mereka, pihak-pihak yang menaruh kepentingannya kepada dua sosok tersebut yang kemungkinan membentuk kubu-kubuan.
Hati-Hati PDIP!
Di sini persoalannya menjadi penting. Jika benar terdapat pihak yang mengondisikan benturan, ini dapat menjadi preseden buruk bagi PDIP. Pasalnya, di internal partai banteng lumrah terdengar kekhawatiran atas perpecahan pasca Megawati tidak menjadi ketua umum.
Tanpa diperdebatkan lagi, mengacu pada sosiolog Jerman, Max Weber, Megawati jelas masuk dalam kategori pemimpin karismatik (charismatic leaders). Namun, meskipun pemimpin karismatik mampu mempertahankan kesatuan organisasi, pemimpin karismatik nyatanya memiliki sisi gelap yang dapat merugikan organisasi yang dipimpinnya.
Ray Williams dalam tulisannya Beware: The Dark Side of Charismatic Leaders menilai organisasi yang lebih dominan mengandalkan karisma dapat menghambat regenerasi pemimpin. Ini karena anggota organisasi memiliki ketergantungan yang berlebihan terhadap sosok pemimpin karismatik.
Pertanyaan yang diajukan umumnya sama. Apakah sang penerus memiliki karisma atau kemampuan memimpin yang sama dengan pemimpin sebelumnya? Pertanyaan semacam itu jelas menghantui Puan ataupun Prananda.
Kasus serupa juga dapat kita amati di Partai Demokrat. Meskipun Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berhasil memberikan estafet kepemimpinan ke Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), Kongres Luas Biasa (KLB) Partai Demokrat di Deli Serdang, Sumatera Utara jelas menunjukkan rapuhnya kepemimpinan AHY.
Ada pula kekhawatiran apakah AHY mampu membawa Partai Demokrat menuju masa kejayaannya seperti di bawah kepemimpinan SBY.
Nah, menimbang pada Megawati masih menjadi ketua umum, para kader PDIP harus berhati-hati. Jangan sampai karena ego sektoral atau hasrat kekuasaan kecil, para pendukung Prananda dan Puan membentuk kubu-kubuan yang dapat membahayakan konsolidasi internal partai.
Baca Juga: Siapa yang Ingin Hancurkan Puan?
Sedikit berspekulasi, kekhawatiran atas perpecahan ini yang mungkin membuat Megawati belum menyerahkan tampuk kepemimpinan PDIP, meskipun telah berulang kali menyinggung soal regenerasi.
Well, pada akhirnya kita hanya dapat mengamati akan seperti apa regenerasi kepemimpinan PDIP ke depannya. Apakah Puan? Apakah Prananda? Atau justru sosok lainnya? Entahlah. (R53)