Ketua DPP PDIP Puan Maharani disebut mendapatkan tugas dari Ketua Umum (Ketum) PDIP Megawati Soekarnoputri untuk berkeliling Indonesia sekaligus menjajaki kerja sama dengan partai-partai politik lainnya. Makna apa yang sebenarnya ada di balik tugas yang diterima Puan ini?
“I just wanted to show you I could do it, that I could be brave like you” – Simba, The Lion King (2019)
Bagi kaum muda milenial kelahiran tahun 1990-an, film The Lion King (1994) merupakan salah satu film kartun yang benar-benar mengambil porsi dalam memori.
Bisa dibilang, film ini menjadi film yang kisahnya benar-benar mencuri hati pada masanya. Saking begitu memorable-nya, film tersebut akhirnya dibuat kembali dalam bentuk live-action dan dirilis pada tahun 2019 silam.
Film ini setidaknya bisa dibagi menjadi dua masa, yakni masa ketika Simba – pewaris takhta Pride Rock yang dikuasai ayahnya Mufasa – masih muda dan ketika Simba tumbuh besar di luar Pride Rock.
Ketika masih menjadi singa muda, Simba memiliki rasa penasaran yang cukup besar – serta dibujuk oleh pamannya Scar. Akhirnya, Simba bersama temannya, Nala, pergi keluar batas wilayah Pride Rock untuk pergi ke Elephant Grave.
Untungnya, Mufasa datang tepat waktu sebelum para hiena bisa menyerang Simba dan Nala. Mufasa pun marah dengan perilaku Simba yang sebenarnya sudah dilarang untuk pergi ke sana.
Namun, Simba punya alasannya sendiri. “Aku hanya ingin menunjukkan padamu bahwa aku bisa, bahwa aku bisa jadi pemberani,” jawab Simba kepada ayahnya.
Mungkin, alasan Mufasa untuk melarang Simba pergi ke tempat di luar Pride Rock sebenarnya masuk akal. Bisa jadi, Mufasa melihat Simba yang masih kecil belum siap untuk melawan tantangan di dunia luar sana.
Namun, bagaimana bila kisahnya berubah? Bagaimana bila seandainya Simba baru pergi keluar dari batasan Pride Lands ketika dirinya sudah menjadi singa dewasa yang siap mengaung di dunia luar?
Mungkin, kita bisa menemukan “Simba” dewasa seperti ini di dunia nyata, khususnya dalam kancah politik Indonesia. Bagaimana tidak? Ketua DPP PDIP Puan Maharani yang sekaligus putri dari Ketua Umum (Ketum) PDIP Megawati Soekarnoputri akhirnya mendapatkan tugas penting di luar “dunia” PDIP.
Akhir-akhir ini, Puan menyebutkan bahwa dirinya telah mendapatkan tugas untuk berkeliling Indonesia. Selain itu, Ketua DPR RI tersebut juga akan menjajaki kerja sama dengan partai-partai politik (parpol) lain.
Mengapa penting bagi sang “Simba” PDIP ini untuk bepergian berkeliling ke berbagai wilayah? Mungkinkah ini merupakan sinyal jelas bahwa sang “Simba” telah siap menjelajah belantara “hutan” electoral menjelang tahun 2024 mendatang?
Unjuk Taring ala “Simba” PDIP?
Melihat tugas besar yang diberikan oleh Megawati kepada Puan, bukan tidak mungkin ini menjadi cara memberikan sinyal bahwa sang “Simba” kecil kini sudah siap. Rangkaian upaya “unjuk taring” seperti ini biasa dilakukan sebagai bagian dari proses suksesi.
Perjalanan Puan untuk berkeliling Indonesia, misalnya, bisa dibilang mirip dengan apa yang dilakukan oleh Ratu Britania (Inggris) Raya Elizabeth II alias Lilibet sebelum akhirnya naik takhta pada 6 Februari 1952 silam. Kala itu, ayah Elizabeth, Raja George VI, memiliki kondisi kesehatan yang menurun.
Alhasil, Elizabeth lah yang mengambil alih ‘wajah’ keluarga kerajaan Inggris sejak saat itu di lingkup publik. Lilibet – bersama suaminya Pangeran Philip – berkeliling ke sejumlah wilayah dan negara-negara bekas jajahan Inggris (Commonwealth of Nations).
Kala Elizabeth menjalankan serangkaian royal tour ke Afrika Selatan (Afsel) pada tahun 1947 silam, misalnya, dinilai memiliki signifikansi yang krusial. Mengacu pada tulisan Pieter Labuschagne yang berjudul The 1947 Royal Tour of South Africa, kunjungan ini menjadi penting di tengah terus menurunnya pengaruh Britania Raya – dari sebuah imperium menjadi hanya sekumpulan negara Commonwealth.
Namun¸ signifikansi royal tour Elizabeth di sini tidak hanya berhenti pada dimensi politik domestik dan internasional, melainkan juga dalam keluarga kerajaan. Bukan tidak mungkin, ini juga berkaitan dengan prosesi suksesi dari Raja George VI yang kondisi kesehatannya terus menurun kepada Elizabeth.
Penjelasan ini setidaknya dijabarkan oleh Björn Weller dalam tulisannya yang berjudul Describing Rituals of Succession and the Legitimation of Kingship in the West. Menurut Weller, proses suksesi memang merupakan tantangan yang berat karena harus menjaga status quo dan stabilitas kekuasaan.
Maka dari itu, diperlukan sejumlah ritual dan prosedur untuk menjaga stabilitas ini. Dengan mengutip Gerd Althoff, Weller menyebut serangkaian ritual dan prosedur ini sebagai komunikasi simbolik (symbolic communication).
Komunikasi simbolik ini pun bisa meliputi sejumlah upaya, seperti sikap publik, penampilan demonstratif dari fungsi kerajaan, dan sebagainya. Bukan tidak mungkin, berkaca dari penjelasan Weller, apa yang dilakukan Puan saat ini – seperti berkeliling Indonesia dan menjajaki kerja sama dengan entitas-entitas politik lainnya – adalah upaya demonstratif dari fungsi Puan sebagai ‘putri mahkota’ PDIP.
Bila Megawati benar-benar memberikan tugas-tugas tersebut kepadanya, bukan tidak mungkin Puan menjadi “penerus” yang akan dipilih. Ini bisa jadi merupakan gambaran demonstratif atas fungsi kebijakan strategis partai yang sebelumnya dipegang penuh oleh Megawati.
Namun, mengapa ritual suksesi PDIP ini mengarah kepada Puan sebagai ‘putri mahkota’ partai? Faktor-faktor apa yang membuat Ketua DPP PDIP itu sebagai “Simba” dari partai berlambang banteng bermoncong putih tersebut?
Laga “Simba” vs “Scar”?
Bagi yang sudah menonton The Lion King – baik versi tahun 1994 maupun 2019, karakter yang bernama Scar (paman Simba) bukanlah sosok yang asing lagi. Kehadiran Scar membuat proses suksesi dari Mufasa kepada Simba penuh dengan aral yang melintang.
Scar yang juga mengincar takhta Mufasa akhirnya melakukan sejumlah tabiat agar Simba celaka. Tidak hanya dalam film The Lion King, perebutan kekuasaan seperti ini juga kerap terjadi di dunia nyata, termasuk dalam dinamika internal partai.
Bukan rahasia umum lagi bahwa perebutan pengaruh juga terjadi di PDIP. Terdapat semacam pertentangan di antara kubu Puan, kubu Prananda Prabowo, dan kubu non-trah Soekarno. Bukan tidak mungkin, kontestasi antar-kubu inilah yang menjadi semacam “Scar” bagi Puan.
Namun, tidak seperti Simba yang clueless (tidak tahu apa-apa), Puan bisa dibilang sudah melakukan sejumlah manuver politik yang membuatnya menjadi lebih unggul dalam melawan “Scar-Scar” di PDIP.
Pertama, Puan bisa dinilai telah melakukan strategi dalam jangka panjang. Dengan memunculkan narasi sejak beberapa tahun lalu soal dirinya sebagai calon presiden (capres) atau calon wakil presiden (cawapres) – misal melalui baliho yang dipasang di berbagai daerah.
Dengan begitu, nama Puan pun menggema di banyak daerah sehingga tetap ada di pikiran masyarakat (top of mind awareness/TOMA). Dengan publisitas yang besar, masyarakat atau entitas politik lainnya tetap mengingat nama Puan.
Kedua, di lingkup “realm-nya” sendiri – yakni di internal PDIP, Puan bukan tidak mungkin tengah menjaga royalisme-nya – bisa dipahami sebagai dukungan penuh terhadap entitas “royal”. Layaknya dalam keluarga kerajaan di Inggris, sebagai bagian dari trah Soekarno, Puan bisa saja memiliki royalisme ini.
Ketiga, Puan bukan tidak mungkin tengah memainkan permainan dua tingkat (two-level game). Mengambil inspirasi dari tulisan Robert D. Putnam yang berjudul Diplomacy and Domestic Politics: The Logic of Two-Level Games yang menjelaskan soal permainan dua tingkat dalam politik internasional, hal yang sama juga bisa terjadi dalam politik antar-partai.
Dalam hal ini, dua tingkat yang dimainkan Puan adalah tingkat internal dan eksternal partai sekaligus. Di tingkat internal, Puan bisa jadi membangun dan menjaga momentum dan dukungan baginya. Di tingkat eksternal, sebagai Ketua DPR RI – dan sebagai wajah dari partai penguasa, Ketua DPP PDIP tersebut juga membangun namanya di dinamika antar-partai.
Bukan tidak mungkin, tiga faktor inilah yang mengantarkan Puan menjadi “Simba” yang lebih siap untuk mengarungi dunia di luar “Pride Lands” PDIP. Dengan langkah lebarnya sebagai ‘wajah’ PDIP di hadapan entitas-entitas politik lainnya, langkah-langkah “Simba” PDIP satu ini pun menjadi menarik untuk diamati kelanjutannya. (A43)