Indonesia telah mencatat sejarah dengan terpilihnya Puan Maharani sebagai Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) perempuan pertama. Tidak hanya mencatat sejarah, terpilihnya Puan juga mencatat tanda tanya. Apakah terpilihnya cucu Soekarno ini adalah awal dari strategi PDIP menuju partai dominan?
PinterPolitik.com
Dewi Fortuna sepertinya tengah bermesra ria dengan PDIP. Bagaimana tidak, PDIP tidak hanya mendapatkan kursi terbanyak di DPR pada Pemilu 2019 dan terpilih kembalinya Joko Widodo (Jokowi) yang merupakan kadernya sebagai presiden.
Ketua Fraksi PDIP Puan Maharani yang merupakan anak dari ketua umum partai tersebut, Megawati Soekarnoputri, ditetapkan sebagai Ketua DPR periode 2019-2024.
Pemilihan dan penetapan Puan sebagai ketua DPR ini cukup menarik mengingat terdapat perbedaan mekanisme apabila dibandingkan dengan mekanisme pemilihan Ketua DPR periode sebelumnya. Bila pada periode sebelumnya pimpinan DPR dipilih dengan mekanisme paket oleh seluruh anggota DPR melalui pemungutan suara atau voting, Puan dapat terpilih karena partainya menjadi pemenang Pemilu 2019.
Hal ini didasarkan pada Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) yang belum lama ini direvisi. Dalam revisi UU MD3, pimpinan DPR berjumlah lima orang berasal dari partai politik peringkat lima besar dalam Pemilu 2019.
Tidak hanya terpilih sebagai Ketua DPR pertama dengan mekanisme baru, terpilihnya Puan juga mencatatkan sejarah sebagai Ketua DPR perempuan pertama di Indonesia. Sejarah yang dicatat Puan ini mengingatkan kita kepada Nancy Pelosi yang juga merupakan Ketua DPR perempuan pertama di Amerika Serikat (AS).
Namun, beda halnya dengan Pelosi yang disambut baik oleh masyarakat AS, terpilihnya Puan sebagai Ketua DPR justru mendapatkan berbagai cibiran dari warganet. Mereka umumnya meragukan kinerja Puan mengingat prestasinya dinilai tidak mentereng ketika menjabat Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK).
Di luar keraguan terhadap kapabilitas Puan, terdapat asumsi bahwa boleh jadi ini merupakan pertanda bahwa PDIP sedang menyusun strategi dalam menjadi partai dominan. Lantas pertanyaannya, strategi seperti apa yang sedang dimainkan oleh PDIP?
Mega Ubah Strategi?
Pada tahun 2016, Kikue Hamayotsu dan Ronnie Nataatmadja dalam tulisannya berjudul Indonesia in 2015: The People’s President’s Rocky Road and Hazy Outlooks in Democratic Consolidation menjelaskan bahwa Mega dan Puan memiliki kepentingan tersendiri dalam pemerintahan, yaitu memengaruhi kebijakan serta memasang orang-orang favoritnya dalam jabatan-jabatan strategis. Hal ini dilakukannya dengan mengontrol Jokowi dan melakukan beberapa upaya yang melemahkan pengaruh sang presiden.
Akan tetapi, sepertinya strategi Mega dan Puan tidak berjalan dengan mulus. Jokowi terlihat bisa melonggarkan cengkraman tersebut. Hal inilah yang mungkin membuat mereka tengah berusaha mengganti strateginya. Alasannya jelas karena di banyak kesempatan Jokowi justru memperlihatkan dirinya tidak mengikuti arahan dari Megawati sebagai ketua partai.
Ketidakselarasan ini dapat dilihat mulai dari dukungan Jokowi terhadap pasangan Khofifah Indar Parawansa dan Emil Dardak pada Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jawa Timur, alih-alih mendukung pasangan calon (paslon) dari PDIP. Ini juga terlihat dalam kasus pengangkatan Budi Gunawan sebagai Kapolri yang dibatalkan oleh Jokowi dan disebut-sebut membuat Mega marah besar.
Dalam beberapa kesempatan, Mega juga kerap mengingatkan Jokowi bahwa mantan Wali Kota Solo itu adalah petugas partai. Secara tidak langsung, Mega boleh jadi sedang ingin mengatakan ke banyak pihak bahwa Jokowi adalah kader partai yang tidak patuh pada atasan.
Hal ini cukup masuk akal, mengingat tidak mungkin adanya sindiran satir apabila Jokowi memang patuh sepenuhnya kepada Mega.
Berdasarkan ketidakpatuhan tersebut, Mega dan Puan sepertinya mengganti strategi katakanlah dengan langsung menempatkan Puan sendiri ke dalam posisi strategis.
Posisi Ketua DPR adalah jabatan yang strategis karena menjadi kursi tertinggi di kamar legislatif. Strategi tersebut saat ini sepertinya tengah berjalan dan memulai awalan yang baik.
Semoga tak sekadar harapku~https://t.co/8ovEQoq8M4
— tirto.id (@TirtoID) October 2, 2019
Dampak Puan Ketua DPR
Seperti yang diketahui, kunci penetapan Puan sebagai Ketua DPR adalah revisi UU MD3 yang baru-baru ini disahkan. Menariknya, revisi UU MD3 ini disahkan dengan cepat oleh DPR, yang berarti semua fraksi dengan kompak menyetujuinya.
Alasan kekompakan itu sederhana, yakni karena revisi UU MD3 memberikan distribusi kursi pimpinan DPR dan MPR yang tidak hanya kepada partai pemenang Pemilu, melainkan kepada lima partai dengan suara terbanyak.
Tidak mengherankan, sekelas Gerindra yang menjadi rival berat PDIP dalam lima tahun terakhir sangat mendukung revisi ini mengingat partainya mendapatkan suara terbanyak kedua dan otomatis tidak perlu melakukan lobi-lobi melelahkan kepada PDIP untuk mendapatkan kursi pimpinan DPR ataupun MPR.
Di sisi lain, distribusi kursi pimpinan DPR dan MPR adalah strategi politik yang mumpuni dalam upaya rekonsiliasi pasca Pilpres yang sarat akan ketegangan yag melelahkan.
Namun, apakah PDIP memberikan ruang bagi revisi UU MD3 yang membuat partai rival mendapatkan jatah kursi pimpinan hanya untuk melakukan rekonsiliasi? Tentu tidak. Besar kemungkinan memang ada alasan lain di belakangnya.
Seperti dalam pandangan Thomas Hobbes yang menyebut setiap manusia adalah egois, mestilah PDIP memiliki agenda tersembunyi yang dalam kalkulasinya akan menguntungkan partai berlogo banteng tersebut.
Lantas, apa agenda itu?
Agenda pertama tentu untuk meloloskan kader PDIP sebagai Ketua DPR, yang pada konteks ini mestilah jatuh pada sosok Puan, mengingat dirinya adalah anak dari sang ketua partai.
Melihat lebih dalam, agenda tersembunyi PDIP sepertinya jauh lebih ambisius, yaitu mengembalikan posisi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai lembaga tertinggi negara yang memang sudah disuarakan secara terus terang.
Boleh jadi, penempatan Puan sebagai Ketua DPR adalah langkah awal dalam agenda itu. Sebagai Ketua DPR, tentu Puan memiliki kewenangan lebih dalam melakukan lobi dan intervensi politik.
Akan tetapi, dalam politik, suata hal yang tersurat mestilah menyimpan banyak hal tersirat di dalamnya. Pada konteks ini, kita dapat bertanya, apa dampak politis yang dapat ditimbulkan dari pengembalian MPR sebagai lembaga tertinggi bagi PDIP?
PDIP Jadi Parpol Dominan?
Berkaca pada kasus Partai Demorat yang berkuasa selama 10 tahun, namun setelah itu justru tidak dapat mempertahankan dominasinya, PDIP sepertinya sedang menyiapkan strategi agar apa yang menimpa Demokrat tidak terjadi kepada mereka.
Apabila posisi Puan sebagai Ketua DPR dapat membuat MPR kembali menjadi lembaga tertinggi negara, maka akan terjadi satu dampak substansial dalam ketatanegaraan Indonesia, yaitu presiden bisa kembali dipilih oleh MPR – katakanlah jika pasal tersebut juga ikut diubah.
Faktor lain adalah jika GBHN kembali diberlakukan, maka MPR juga bisa “meminta pertanggungjawaban” presiden jika tak mampu melaksanakan pedoman pembangunan tersebut.
Hal ini tidak hanya memutar balik demokrasi yang membuat kita dapat merasakan kemewahan pemilihan presiden secara langsung, tetapi juga akan berpotensi untuk memperkuat dan melanggengkan oligarki PDIP dan posisi politiknya di hadapan kekuatan eksekutif.
Akan tetapi, sepertinya skenario pengembalian MPR menjadi lembaga tertinggi tidak akan berjalan mudah. Hal ini berdasar pada respon yang diperlihatkan mahasiswa yang mewakili masyarakat saat menolak revisi UU KPK, RKUHP, dan RUU bermasalah lainnya. Demonstrasi dalam jumlah yang lebih besar pasti akan kembali terjadi apabila skenario tersebut dijalankan.
Yang jelas, posisi Puan dan kembali kuatnya MPR misalnya, akan membuat PDIP berpotensi menjadi partai dominan. Konteksnya mungkin belum sampai pada praktik partai tunggal yang terjadi di Turki, Rusia hingga Serbia. Namun, PDIP bisa menjamin kemenangannya akan terus terjadi di Pemilu-Pemilu berikutnya.
Penetapan Puan sebagai Ketua DPR juga potensial sebagai usaha penambahan modal politik yang dapat meningkatkan elektabilitasnya ketika akan diusung untuk menggantikan Mega kelak sebagai Ketua Umum PDIP yang memang telah digadang-gadang oleh banyak pihak, atau bahkan ketika nantinya akan diusung menjadi calon presiden.
Pada akhirnya, kita dapat melihat relasi pernyataan John Jay dalam skenario ini bahwa: “Masyarakat yang menguasai suatu negara haruslah yang memerintahnya”. Terminologi masyarakat John Jay pada konteks Indonesia sepertinya mengacu kepada PDIP yang sedang mempersiapkan strategi untuk mempertahankan oligarkinya. (R53)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.