Site icon PinterPolitik.com

Puan-Jokowi Maju di 2024?

Puan-Jokowi Maju di 2024?

Presiden Joko Widodo bersama dengan Ketua DPR Puan Maharani (Foto: JawaPos)

Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan bahwa presiden dua periode boleh maju menjadi cawapres. Apakah pernyataan itu adalah sinyal majunya Jokowi sebagai cawapres di Pilpres 2024? Jika benar demikian, mungkinkah Jokowi akan dipasangkan dengan Puan Maharani?


PinterPolitik.com

Mahkamah Konstitusi (MK) tengah mendapat sorotan hangat. Ini soal pernyataan Juru Bicara MK Fajar Laksono yang menyebut presiden dua periode dapat maju sebagai cawapres. “Kalau itu secara normatif boleh saja. Tidak ada larangan, tapi urusannya jadi soal etika politik saja menurut saya,” ungkap Fajar pada 12 September 2022.

Pasal 7 UUD 1945 berbunyi, “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.”

Tegas Fajar, kata kuncinya pada penjelasan “jabatan yang sama”. Dengan kata lain, presiden dua periode boleh maju sebagai cawapres karena merupakan dua jabatan yang berbeda.

Well, seperti yang mudah ditebak, pernyataan Fajar membelah dua opini publik. Di satu sisi, kritik bertubi-tubi terus menghujam. 

Namun, di sisi lain, mereka yang menggunakan kacamata normatif tidak melihatnya keliru. Pembelaan misalnya datang dari Wakil Ketua Umum Partai Garuda Teddy Gusnaidi. 

“Penafsir tunggal konstitusi adalah Mahkamah Konstitusi, bukan partai politik, ormas, pengamat politik, tokoh politik atau masyarakat lainnya. Jadi bagaimana bisa ada yang menyatakan keliru, padahal mereka tidak punya kewenangan untuk menafsirkan,” ungkap Teddy pada 17 September 2022.

Melihat kronologinya, pernyataan Fajar tampaknya merupakan respons atas wacana pengusungan Joko Widodo (Jokowi) sebagai cawapres di Pilpres 2024. 

Ketua Bappilu PDIP Bambang “Pacul” Wuryanto, misalnya, menyebut Jokowi bisa saja maju sebagai cawapres jika partai atau gabungan partai berkenan mengusungnya. “Kalau Pak Jokowi mau jadi wapres, ya sangat bisa,” ungkap Bambang Pacul pada 13 September 2022.

Jika mengaitkannya dengan isu yang sudah ada, apakah penegasan dari MK merupakan sinyal politik tertentu?

Fabrikasi Persetujuan?

Di titik ini, tentu ada yang merespons sinis, bukankah Presiden Jokowi sudah berulang kali memberi penolakan terbuka?. Pada isu menjadi cawapres, RI-1 bahkan bertanya, siapa yang mengeluarkan usulan tersebut. “Ini muncul lagi jadi wapres, itu dari siapa?,” ungkap Jokowi pada 16 September 2022.

Well, terlepas dari penolakan-penolakan terbuka Jokowi, pembahasan tulisan ini bukan berkutat pada itu. Jantung pembahasan dalam tulisan ini adalah menjelaskan makna apa yang dapat dilihat dari pernyataan Jubir MK soal presiden dua periode boleh menjadi cawapres.

Jika membaca buku Edward S. Herman dan Noam Chomsky yang berjudul Manufacturing Consent: The Political Economy of the Mass Media, patut dicurigai bahwa fabrikasi persetujuan atau fabrication of consent sedang dilakukan.

Herman dan Chomsky menerangkan bahwa media massa dapat digunakan untuk melakukan fabrikasi persetujuan. Kasarnya, melalui pemberitaan media, pihak tertentu dapat melakukan doktrinasi, propaganda, dan menyebarkan ide yang bertujuan untuk menciptakan persetujuan di tengah masyarakat.

Mengutip pernyataan Teddy Gusnaidi, MK adalah penafsir tunggal konstitusi. Artinya, jika mengelaborasinya dengan buku Manufacturing Consent, bukan tidak mungkin terdapat dua agenda yang tengah disodorkan ke tengah masyarakat. 

Pertama, pernyataan Jubir MK hendak digunakan untuk mengakhiri perdebatan soal boleh tidaknya Jokowi maju di Pilpres 2024 sebagai cawapres. 

Kedua, pernyataan itu ingin dijadikan justifikasi bahwa Jokowi tidak melanggar konstitusi jika memang berkenan maju sebagai cawapres.

Pada akhirnya, jika semuanya lancar, akan terbentuk fabrikasi persetujuan di tengah masyarakat bahwa Jokowi tidak masalah maju sebagai cawapres di Pilpres 2024. Sekiranya mudah menebak bahwa narasi “belum ada pengganti sepadan Jokowi” akan digunakan sebagai senjata pamungkas.

Lantas, jika demikian agenda yang ada, dengan siapa Jokowi akan maju di Pilpres 2024 nanti?

Puan-Jokowi?

Secara cepat, berbagai pihak akan menyebut nama Prabowo Subianto. Wacana untuk menduetkan Jokowi dengan Ketua Umum Partai Gerindra itu juga telah bergulir lama. Namun, PDIP tampaknya tidak akan membiarkan kadernya maju bersama Prabowo.

Simpulan itu dapat kita tarik dari pernyataan Panda Nababan. Dalam acara Total Politik, politisi senior PDIP itu mengomentari berbagai isu soal capres-cawapres PDIP di 2024. 

Soal duet Anies Baswedan-Puan Maharani, misalnya, Panda menyebutnya sulit terjadi karena PDIP pasti mengincar capres. Sebagai partai yang memperoleh suara terbesar, sulit membayangkan PDIP puas dengan cawapres.

Panda juga memiliki komentar menarik soal duet Prabowo Subianto-Puan. Menurutnya, terkadang analisis politik sering kali tidak rasional. Jika Megawati Soekarnoputri yang merupakan ibu Puan saja kalah bersama dengan Prabowo di Pilpres 2009, lalu bagaimana dengan Puan yang seorang anak?

Kendati tidak melanjutkan pernyataannya, sosok lain yang hadir dalam acara itu, yakni pakar komunikasi politik Effendi Gazali menilainya sebagai sinyal kekalahan. Menggunakan rasionalisasi Panda, Effendi menyebut Prabowo-Puan dapat berbuah kekalahan. 

Selain itu, mengulang pernyataan Panda ketika mengomentari Anies-Puan, PDIP tentunya tidak ingin berada di belakang Gerindra. Rasanya sulit membayangkan partai yang begitu berkuasa ingin berada di bayang-bayang partai lain. 

Jika berbicara kepentingan PDIP, mengusung Puan-Jokowi sekiranya lebih menguntungkan daripada Prabowo-Jokowi. Ada setidaknya tiga alasan atas simpulan itu. 

Pertama, PDIP tidak perlu khawatir akan turun kasta dengan menjadi bayang-bayang partai lain. 

Kedua, dengan popularitas Jokowi yang luar biasa, PDIP dapat menggunakannya sebagai daya tarik untuk mengajak partai lain berkoalisi. 

Pendukung Jokowi yang masih masif dapat memberi efek ekor jas (coattail effect) bagi partai politik yang mendukungnya. Cukup masuk akal mengatakan jika partai lain mengincar itu untuk meningkatkan perolehan suaranya di pemilihan legislatif.

Ketiga, perlu dipahami bahwa rasionalitas organisasi berbeda dengan rasionalitas individu. 

Francis Fukuyama dalam bukunya State-Building: Governance and World Order in the 21st Century, menerangkan bahwa tujuan organisasi sebenarnya tidak pernah hadir secara jelas karena tiap individu dalam organisasi memiliki penafsiran yang berbeda.

Pada kasus PDIP, bukan tidak mungkin terdapat benturan rasionalitas. Di level individu, berbagai kader PDIP mungkin mengharapkan Jokowi dipasangkan dengan sosok lain yang lebih potensial, katakanlah dengan Prabowo atau Anies Baswedan.

Namun, di level organisasi, PDIP sekiranya lebih memilih mengusung Puan Maharani untuk mencegah pembelahan partai. Alasannya sederhana, karena PDIP butuh narasi “trah Soekarno” untuk menyatukan berbagai faksi yang ada. 

Mungkin ini terkesan negatif, namun itu adalah strategi yang mumpuni. Jika menggunakan merit sistem, di mana berbagai faksi beradu kekuatan, logistik, dan intelegensia, sekiranya tidak akan memenuhi persetujuan dan berpotensi deadlock.

Oleh karenanya dibutuhkan narasi penyeragam dan sulit dibantah, yakni narasi “trah Soekarno”. Ini juga menjawab kenapa Ganjar Pranowo bukan menjadi pilihan utama PDIP.

Dengan kata lain, seperti yang dijelaskan dalam artikel PinterPolitik yang berjudul PDIP Sadar Puan akan Kalah?, mungkin saja PDIP akan kalah di Pilpres 2024 karena mengusung Puan Maharani. 

Namun, PDIP dapat tetap berkuasa dengan mengamankan kamar-kamar kekuasaan lainnya, seperti DPR, MPR, Jaksa Agung, dan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN). PDIP juga pasti menjalin hubungan dekat dengan petinggi Polri dan TNI.

Jika berhasil mengamankan pileg, pilkada, dan pos-pos strategis, kekalahan Puan di Pilpres 2024 bukanlah sebuah kehancuran bagi PDIP. Mereka akan tetap berkuasa dan berpengaruh. (R53)

Exit mobile version