Site icon PinterPolitik.com

Puan Capres, PDIP Sulit Berkoalisi?

Puan Capres, PDIP Sulit Berkoalisi?

Ketua DPP PDIP Puan Maharani (Foto: Dok. PDIP)

Berbeda dengan partai politik lainnya yang sudah menunjukkan bentuk koalisi, PDIP masih belum menunjukkan kedekatan khusus dengan partai tertentu. Apakah ambisi PDIP untuk mengusung Puan Maharani sebagai capres 2024 membuat partai banteng sulit mendapatkan rekan koalisi? 


PinterPolitik.com

Hubungan Menko Polhukam Mahfud MD dengan PDIP tampaknya tengah hangat mesra. Baru-baru ini, Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri bahkan menunjuk langsung Mahfud untuk mengisi sekolah partai PDIP. Menurut Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto, materi yang disampaikan Mahfud akan menjadi visi misi capres-cawapres PDIP di Pilpres 2024.

Dalam kesempatan itu, Mahfud tidak ketinggalan memberi pujiannya terhadap PDIP. Menurutnya, PDIP adalah partai terkuat saat ini. “Mau mengaku atau tidak mau mengaku, PDIP itu terbesar dan terkuat dalam politik,” ungkapnya pada 13 Oktober 2022. 

“Partai politiknya, suaranya, DPR menguasai, gerbong besar, kemudian lokomotifnya juga kuat, kepemimpinannya sangat solid, sehingga ini kuat sekali,” tambah Mahfud.

Seirama dengan itu, ketika merespons Koalisi Indonesia Bersatu (KIB), Hasto secara tersirat menyebut partainya memiliki daya tarik yang tinggi. “Jadi justru kami yang menarik, tidak pernah meninggalkan, kami tidak pernah ditinggalkan,” ungkapnya pada 27 Mei 2022.

Bertolak pada pernyataan Mahfud dan Hasto, sebagai partai terkuat saat ini, dapat dikatakan PDIP akan menjadi rebutan dalam membentuk koalisi. Namun, yang menjadi pertanyaan, berbeda dengan partai lain yang sudah menunjukkan bentuk koalisi, kenapa PDIP masih terlihat sendiri?

Belakangan, Ketua DPP PDIP Puan Maharani yang digadang menjadi capres partai banteng juga terlihat aktif mengunjungi ketua umum partai politik. Setidaknya sudah empat yang ditemui, yakni Surya Paloh, Prabowo Subianto, Muhaimin Iskandar, dan Airlangga Hartarto.

Namun, kembali lagi, keempat ketua umum partai itu justru terlihat bermesra dengan partai lain. Surya Paloh menyebut koalisi NasDem-Demokrat-PKS sudah 90 persen. Prabowo sudah membentuk koalisi bersama PKB. Kemudian Airlangga sudah lama membentuk KIB bersama PAN dan PPP. 

Melihat gestur-gestur itu, mungkinkah Hasto menilai terlalu tinggi daya tarik partainya?

Kalkulasi Koalisi

Untuk menjawab pertanyaan itu, kita tentu perlu memahami bagaimana partai politik membentuk koalisi. Dalam literatur politik, koalisi adalah khas pemerintahan yang menerapkan sistem multipartai. Mengacu pada bentuknya, sistem multipartai memiliki dua bentuk yang berbeda. 

Pertama adalah pluralisme moderat (moderate pluralism). Partai politik dapat membentuk koalisi karena perbedaan ideologi tidak mengakibatkan ketidaksetujuan yang besar. 

Bentuk kedua adalah pluralisme terpolarisasi (polarized pluralism). Pembentukan koalisi membutuhkan usaha yang besar karena kuatnya tegangan ideologi. Ini membuat partai politik terpolarisasi, kurangnya minat terhadap kepentingan negara, dan hanya mengejar kepentingannya masing-masing.   

Jika berbicara Indonesia, menariknya, bentuk sistem multipartai yang ada sepertinya adalah peleburan dari dua bentuk itu. 

Pertama, partai politik begitu cair dan tidak memiliki kesulitan untuk berkoalisi. Namun, itu bukan karena perbedaan ideologi tidak mengakibatkan ketidaksetujuan yang besar, melainkan karena perbedaan ideologi hanya terlihat di atas kertas.

Kedua, uniknya, meskipun tidak membutuhkan usaha besar untuk membentuk koalisi, partai politik justru terjebak pada kepentingannya masing-masing, yang mana itu membuat minat pada kepentingan negara menjadi nomor dua.

Simpulan ini selaras dengan penjelasan Burhanuddin Muhtadi dalam bukunya yang berjudul Populisme, Politik Identitas, dan Dinamika Elektoral: Mengurai Jalan Panjang Demokrasi Prosedural. Menurutnya, koalisi partai politik di Indonesia bersifat pragmatis karena berbasis pada office seeking, bukan policy seeking

Koalisi dibentuk bukan untuk menyukseskan ideologi atau kebijakan publik tertentu, melainkan semata-mata demi meraih dan/atau mempertahankan kursi kekuasaan.

Dengan demikian, meskipun Mahfud benar bahwa PDIP saat ini adalah partai terkuat, kalkulasi partai politik berkutat pada, apakah berkoalisi dengan PDIP memberikan keuntungan terbesar bagi mereka?

Jika berbicara policy seeking, dengan statusnya sebagai partai terkuat, berkoalisi dengan PDIP tentu sangat bergiurkan untuk menjalankan ideologi dan meloloskan kebijakan publik tertentu. Namun, karena ini berbicara office seeking, partai politik akan menimbang sosok yang diusung PDIP sebagai capres atau cawapres di 2024.

Pada konteks pilpres, partai akan menimbang apakah sosok itu dapat menjadi pemenang. Tentunya, kursi-kursi menteri adalah incaran terbesar. Kemudian, pada konteks pileg, partai akan menimbang apakah sosok itu dapat memberikan efek ekor jas atau menambah perolehan suara.

Well, karena belum menentukan nama yang pasti, tampaknya adalah alasan kenapa PDIP belum dilirik sebagai rekan koalisi. Terlebih lagi, PDIP disebut-sebut memiliki ambisi untuk mengusung Puan sebagai capres 2024. 

Suka atau tidak, jika mengacu pada elektabilitas dan citra, adalah pekerjaan rumah yang berat untuk memenangkan Ketua DPR RI tersebut. Namun, jika PDIP mengusung nama lain yang lebih potensial seperti Ganjar Pranowo, partai politik lain sekiranya akan segera mendekat.

PDIP Perlu Realistis?

Mengacu pada kalkulasi koalisi yang berbasis office seeking, PDIP tampaknya perlu memperhitungkan dengan matang keputusannya untuk mengusung Puan. Terlebih, internal PDIP sendiri juga tampaknya ragu akan kemenangan Puan.

Ini misalnya tersirat dalam penuturan politisi senior PDIP Panda Nababan ketika mengomentari isu capres-cawapres PDIP di 2024. Soal duet Anies-Puan, Panda menyebutnya sulit terjadi karena PDIP pasti mengincar capres. 

Kemudian, soal duet Prabowo-Puan, ini disebutnya tidak rasional. Terang Panda, jika Megawati yang merupakan ibu Puan saja kalah dengan Prabowo di Pilpres 2009, lalu bagaimana dengan Puan yang seorang anak?

Kendati tidak melanjutkan pernyataannya, sosok lain yang hadir dalam acara itu, yakni pakar komunikasi politik Effendi Gazali menilainya sebagai sinyal kekalahan. 

Panda Nababan sendiri bukan sosok sembarangan. Ia dapat dikatakan sebagai Ring-1 Megawati. Pertemanannya dengan Megawati, almarhum Taufiq Kiemas, dan keluarga Soekarno sudah terjalin puluhan tahun.

Di titik ini, PDIP sekiranya perlu realistis jika ingin memenangkan Pilpres 2024 dengan tidak memaksakan Puan. Namun, ceritanya berbeda jika PDIP memang tidak masalah untuk kalah di Pilpres 2024.

Dalam artikel PinterPolitik yang berjudul PDIP Sadar Puan akan Kalah?, telah dijabarkan, sekalipun Puan kalah di Pilpres 2024, PDIP akan tetap menjadi pemenang jika berhasil menang di pileg dan pilkada. 

Untuk mempertahankan pengaruh politiknya, PDIP dapat mengamankan pos-pos strategis lain di kamar legislatif dan yudikatif. PDIP juga pasti menjalin hubungan dekat dengan Polri, TNI, dan berbagai perangkat intelijen seperti BIN.

Jika berhasil mengamankan pileg, pilkada, dan pos-pos strategis, kekalahan Puan di Pilpres 2024 bukanlah sebuah kehancuran bagi PDIP. Mereka akan tetap berkuasa dan berpengaruh. 

Di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), PDIP juga melakukan skenario ini. Meskipun menjadi oposisi selama sepuluh tahun, mereka tetap bertengger menjadi partai atas. Perolehan suaranya tinggi, memiliki berbagai kepala daerah, dan berhasil menempatkan kader di pos-pos strategis. 

Well, sebagai penutup, siapa pun sosok yang diusung PDIP, partai banteng tampaknya tetap pada prinsipnya yang tertera pada akun Instagram Puan, ojo pedhot oyot atau jangan putus akar. 

Apa pun yang terjadi, kader PDIP harus tetap merapatkan barisan. Layaknya sebuah pohon, jika akarnya kuat, pohon tersebut juga kuat. Namun, jika akarnya rusak, tumbangnya pohon hanya menunggu waktu. (R53)

Exit mobile version