Sejauh ini Puan adalah satu-satunya kandidat perempuan di Pilpres 2024. Apakah Puan mampu menunjukkan kepemimpinan perempuan seperti Angela Merkel di Jerman? Lalu, apakah ia mampu menjadi presiden perempuan seperti ibunya, Megawati?
Peran perempuan mempunyai pemaknaan yang beragam dalam lintas sejarah, dalam literatur ilmiah maupun populer, diskusi santai dan pembicaraan sehari-hari, selalu ditemukan pemaknaan peran perempuan dengan tone yang peyoratif. Seakan peran perempuan hanya berada pada posisi kedua, sebagai pendamping hidup laki-laki.
Dalam tradisi Jawa, misalnya, sering kali muncul istilah yang sudah cukup mapan seperti perempuan Jawa sebagai konco wingking, yang cukup mengurusi urusan dapur (memasak), sumur (mencuci), dan kasur (melayani suami). Pada umumnya, persepsi yang muncul ketika membicarakan perempuan Jawa adalah perempuan yang lemah lembut, teratur tutur bahasanya, mengalah, sabar, dapat mengontrol perilakunya, sebagaimana ditunjukkan oleh para perempuan priyayi Jawa.
Perempuan modern mengalami banyak perubahan, masyarakat telah banyak merevisi makna tentang peran perempuan. Tidak lagi dianggap hanya berurusan dengan pekerjaan rumah tangga, perempuan diberikan ruang untuk mampu berkreasi layaknya laki-laki. Bahkan saat ini banyak wacana tentang pemimpin perempuan.
Baca Juga: Pemerkosaan dalam Cengkeraman Negara Laki-Laki
Azzahra Fanny Nurhaliza dalam tulisannya yang berjudul Kepemimpinan Perempuan dan Keunggulannya di Masa Pandemi mengatakan pemimpin perempuan cenderung memiliki gaya transformasional karena melalui gaya ini mereka dapat menggunakan kemampuan relasional dan interpersonal mereka untuk memperoleh legitimasi maupun memotivasi pengikutnya dalam menghadapi proses perubahan.
Nurhaliza ingin menggambarkan bahwa perempuan dalam memimpin mampu menghadirkan perubahan, hal ini disebabkan kemampuan dasar yang dimilikinya, seperti mampu membanggun relasi dan berinteraksi, tentunya juga, perempuan bisa menjadi motivator bagi pengikutnya.
Berangkat dari wacana tentang pemimpin perempuan, kita disajikan banyak berita tentang pencalonan Puan Maharani sebagai salah satu kandidat di Pilpres 2024 mendatang. Lantas, apakah pencalonan Puan yang jamak diberitakan dapat dimaknai sebagai perjuangan untuk menghadirkan seorang pemimpin perempuan?
Tampil di Bursa Capres
Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago mengungkapkan ramai-ramai deklarasi capres di dalam pendekatan ilmu politik merupakan bentuk social movement atau gerakan sosial untuk mencari pemimpin yang ideal berdasarkan akar rumput atau suara rakyat.
Deklarasi Relawan Puan Maharani For Presiden 2024 atau RPM 2024 beberapa waktu lalu misalnya mendapat atensi publik. Ketua Umum RPM 2024, Budi Santoso dalam deklarasinya mengungkap bahwa sosok negarawan Taufik Kiemas, juga ada pada diri Puan Maharani. Tangan dingin Taufik Kiemas disebut sangat mempengaruhi karakter Ketua DPR tersebut.
Narasi Puan adalah representasi dari gaya kepemimpinan Taufik Kiemas menjadi nilai jual tersendiri. Tentunya pemilih nantinya yang menjawab, apakah narasi itu mampu memikat atau diacuhkan para pemilih.
Meskipun secara elektabilitas Puan masih tertinggal dibanding tokoh lain seperti Prabowo Subianto, Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, dan Ridwan Kamil, berbagai pihak meyakini Puan Maharani akan tetap diusung PDI Perjuangan (PDIP).
Ini disampaikan Direktur Eksekutif Veritas Data, Iqbal Themi yang menilai diusungnya Puan di Pilpres 2024 dapat menjadi solusi jalan tengah bagi soliditas mesin politik PDIP. Puan juga dinilai akan mendapatkan coattail effect atau efek ekor jas karena asosiasi Puan terhadap PDIP sangatlah kuat.
Jika alasan pengusungan didasarkan sebagai upaya membangun jalan tengah untuk membentuk soliditas internal, hal ini lumrah diterima. Tapi, jika dianggap ada faktor efek ekor jas dalam pencalonan maka sulit diterima, dikarenakan efek ekor jas sejauh fenemona empiris saat ini hanya berlaku bagi calon dengan popularitas yang tinggi bukan sebaliknya.
Baca Juga: Prabowo-Puan Lebih Realistis?
Djayadi Hanan dalam tulisannya Efek Ekor Jas mengatakan kajian ilmiah mengenai efek ekor jas umumnya didasarkan pada penelitian pemilu serentak dalam sistem presidensial dua partai seperti di Amerika Serikat (AS). Kesimpulan umumnya, terdapat hubungan yang positif antara kekuatan elektoral seorang calon presiden dan partai yang mengusungnya. Artinya, seorang calon presiden atau presiden yang populer dengan tingkat elektabilitas yang tinggi akan memberikan keuntungan positif secara elektoral kepada partai yang mengusungnya sebagai calon.
Sementara itu, menurut Direktur Eksekutif Indonesia Political Review, Ujang Komarudin, PDIP hingga kini terus berupaya menaikkan elektabilitas Puan Maharani sampai benar-benar siap berkompetisi di Pilpres 2024. Menurutnya, sudah ada bocoran dari internal PDIP, mereka akan mengajukan Puan untuk maju sebagai kandidat calon presiden 2024. Kata mereka, “menang bersama dan kalah juga bersama”. Kalaupun kalah, itu adalah risiko karena mendorong figur yang elektabilitasnya rendah.
Well, jika memang saat ini elektabilitas Puan rendah, apakah akan sirna harapan untuk berkompetisi?
Kepemimpinan Perempuan
Winston S. Churchill, mantan Perdana Menteri Britania Raya pernah mengatakan kesuksesan adalah perjuangan dari kegagalan demi kegagalan tanpa kehilangan antusiasme. Setidaknya motivasi ini dapat menjadi harapan agar antusiasme kita bisa terjaga.
Cerita tentang antusiasme perempuan dalam politik tergambar pada perjalanan politik Kanselir Jerman, Angela Merkel. Dianggap sebagai contoh politisi yang berangkat dari nol, Merkel menunjukkan dirinya sebagai perempuan kuat dan kini diakui sebagai salah satu politisi paling berpengaruh di Eropa. Menjadi ciri khas darinya, ia adalah pendengar yang baik. Banyak orang mengakui kemampuan komunikasinya dalam menyelesaikan masalah.
Sekar Kinasih dalam tulisannya Warisan Kanselir Angela Merkel Untuk Jerman mengatakan Merkel juga dipuji karena welas asihnya ketika menangani krisis kemanusiaan. Saat Eropa menghadapi gelombang pengungsi dari Timur Tengah, ia memerintahkan perbatasan Jerman dibuka. Sepanjang 2015-2016, jutaan pengungsi mengajukan suaka ke Uni Eropa. Sampai hari ini, Jerman merupakan negara penampung pengungsi terbanyak di Eropa, yakni 1,2 juta jiwa.
Konsep welas asih dapat kita temukan dalam banyak literatur tentang ethics of care (etika kepedulian). Carol Gilligan dalam bukunya In a Different Voice: Psychological Theory and Women’s Development mengatakan tolak ukur perkembangan moral laki-laki dan perempuan pada dasarnya berbeda. Perbedaan tersebut antara lain, landasan moralitas perempuan didasarkan pada prinsip penyatuan, yaitu keberadaan relasi dengan orang lain, dapat diumpakan secara sederhana layaknya seorang ibu yang lebih mementingkan welas asih.
Sementara laki-laki menekankan prinsip pemisahan, yang artinya laki-laki akan berusaha menjaga jarak dengan lingkungannya. Laki-laki lebih menekankan keadilan, memperlakukan orang lain secara objektif dan terbuka. Sedangkan perempuan lebih menekankan pada kepedulian dan akan lebih bersifat peduli terhadap penderitaan orang lain. Kepedulian itu didemonstrasikan melalui cinta kepada sesama.
Baca Juga: Andika Lawan Mitos Keperawanan?
Gilligan menggambarkan bahwa dalam mengambil keputusan, pemimpin juga harus mengindahkan prinsip-prinsip etika. Prinsip etika kepedulian yang di promosikan Gilligan dapat menjadi variabel penting dalam menyelesaikan permasalahan mengenai pengambilan keputusan seorang pemimpin. Gaya kepemimpinan Merker sekiranya dapat dikatakan sebagi perwujudan dari etika kepedulian yang dijelaskan Gilligan.
Pengalaman Angela Merkel dan konsep etika Gilligan mencerahkan pemahaman kita, bahwa perempuan dan prinsip etika kepedulian menjadi narasi politik yang menarik. Ini menjadi modal politik untuk memperkenalkan nilai autentik yang dimiliki oleh perempuan.
Sebagai penutup, untuk meningkatkan elektabilitas, kepemimpinan Merkel dapat menjadi opsi yang dipertimbangkan Puan Maharani. Itu akan menjadi branding yang khas dan membedakannya dari kandidat yang lain. Puan harus menunjukkan dirinya sebagai pemimpin yang welas asih dan memiliki kepedulian yang tinggi terhadap masyarakat Indonesia. (I76)