Pertandingan uji coba Timnas Indonesia vs Curacao yang batal digelar di Jakarta International Stadium (JIS) merembet ke isu Pemilu 2024. Dalam dinamika isu yang mengemuka, Ketum PSSI Iwan Bule hingga Prabowo Subianto-Gerindra sekilas mendapat keuntungan politik, berbanding terbalik dengan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Mengapa demikian?
Lagi, langkah Persatuan Sepak bola Seluruh Indonesia (PSSI) menimbulkan polemik. Keputusan mengurungkan pertandingan Timnas Indonesia vs Curacao pada akhir September mendatang di Jakarta International Stadium (JIS) merembet hingga ke isu politik dan Pemilu 2024.
Nama Ketua Umum (Ketum) PSSI Mochamad Iriawan atau Iwan Bule menjadi sorotan. Itu dikarenakan, keputusan memindahkan lokasi pertandingan ke Jawa Barat (Jabar) dianggap memiliki kepentingan beraroma politis.
Sebelumnya, dalam rapat kerja (raker) dengan Komisi X DPR RI pada 1 September lalu, Iwan Bule mengatakan bahwa laga tersebut akan dilangsungkan di Stadion Pakansari, Bogor dan Stadion Gelora Bandung Lautan Api (GBLA), Bandung, bukan di JIS.
Laga pertama sendiri akan digelar pada 24 September 2022, di GBLA dan pertandingan kedua akan berlangsung tiga hari berselang di Pakansari.
Setelah publik dan pecinta sepak bola tanah air mempertanyakannya, PSSI beralasan infrastruktur JIS belum layak menggelar pertandingan berlabel FIFA.
Bukan mereda, isu justru membesar saat Jakpro sebagai stakeholder JIS menampik alasan PSSI. Mereka menilai bahwa sejak awal infrastruktur JIS telah sangat siap untuk menghelat laga berstandar internasional.
Bola liar semakin menggelinding liar kala komentar di lini masa menyebut pengalihan venue itu dinilai menghambat citra positif Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan secara tidak langsung.
Bagaikan dua kepentingan yang saling berbenturan, intrik politik pun muncul. Ending manis Anies yang akan angkat koper dari Balai Kota pada Oktober mendatang dianggap akan tertutup dengan batalnya gelaran laga di JIS.
Di sisi berbeda, pengalihan laga ke Pakansari dan GBLA juga dinilai menjadi semacam “alat politik” bagi Iwan Bule. Sebelumnya, dia santer disebut sudah siap untuk maju di Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jabar pada 2024 mendatang.
Saat ditelaah lebih mendalam, terdapat satu pihak juga yang kiranya diuntungkan dari intrik bernuansa politis ini, yakni Prabowo Subianto dan Partai Gerindra. Mengapa demikian?
PSSI Alat Gerindra?
Menanggapi polemik yang berkembang terkait keputusan PSSI terkait JIS, Anies melempar komentar yang kiranya agak satir sambil menyarankan media agar melakukan investigasi mengenai hal itu.
“Jawaban saya cuma senyum aja,” begitu kata Anies di Kawasan Kota Tua, Jakarta pada Sabtu, 10 September kemarin lusa.
Akan tetapi, jika melihat riwayat historisnya, konteks sepak bola dan PSSI sejak awal memang lekat dengan tendensi politis. Ini dianalisis, misalnya, oleh antropolog dan sejarawan asal Belanda, Freek Colombijn dalam The Politics of Indonesian Football.
Colombijn menyebut, asosiasi sepak bola, diperkenalkan di Indonesia seabad yang lalu dan telah menarik banyak pengikut baik peserta aktif maupun pasif, tak terkecuali aktor-aktor politik. Itu disebabkan oleh tajuk awal sepak bola sebagai representasi politik penguasa dan aspek sosio-kultural masyarakat.
Bermacam aktor dan entitas politik disebut silih berganti menduduki PSSI demi kepentingannya. Setidaknya, sejak era Orde Baru, penyelenggaraan liga atau piala nasional yang berpuncak pada semifinal dan final di Jakarta mengindikasikan hal itu.
Di era setelah Soeharto tumbang, konteks kepentingan politik lokal dikatakan juga mulai merambah sepak bola Indonesia. Konklusi Colomijn menyebutnya sebagai manipulation of the game for political agendas atau manipulasi permainan untuk agenda politik.
Analisis Colombijn yang dipublikasikan pada tahun 2000 itu kiranya cukup tepat. Dalam periode setelahnya, intrik politik kerap membayangi PSSI dan puncaknya terjadi kala dualisme dan sanksi FIFA menghantam PSSI pada 2015 silam.
Khusus dalam polemik JIS dan PSSI, terdapat sejumlah aktor politik yang kiranya mendapat keuntungan dan hal sebaliknya. Jika diuraikan benang merahnya, Iwan Bule dan Prabowo Subianto-Partai Gerindra menjadi pihak yang mendapat keuntungan.
Bagaimana itu bisa terjadi?
Ambisi Iwan Bule untuk maju di Pilgub Jabar 2024 telah terendus sejak lama. Sosok yang juga mantan Kapolda Jabar itu pun pernah menjadi pelaksana tugas (Plt.) Gubernur Jabar pada 18 Juni hingga 5 September 2018 silam.
Saat ditanya awak media pada 25 Agustus lalu, Iwan Bule bahkan telah menyiratkan kesiapannya, meski masih berstatus Ketum PSSI. Ambisi ini dapat dibaca sebagai sebuah egoisme etis sebagaimana dijelaskan James Rachels dalam Egoism and Moral Skepticism.
Rachels menjelaskan apa yang disebut sebagai egoisme etis memiliki makna bahwa semua tindakan manusia dimotivasi oleh kepentingan diri sendiri (self-interest).
Ketika egoisme etis muncul, etika seketika tidak berguna. Begitupun dengan altruisme yang tak menemui relevansinya. Meski ironis karena tendensi erat dengan penyalahgunaan wewenang, kecenderungan semacam itu acapkali lumrah dalam politik.
Bahkan, terkait polemik JIS, media Vietnam Soha.vn turut menyoroti hal serupa. Mereka memberi judul artikel yang dalam bahasa Indonesia berbunyi “Presiden Federasi Sepak Bola Indonesia dituduh menggunakan tim nasional untuk kepentingan pribadi”.
Disebutkan, perpindahan venue pertandingan Timnas vs Curacao ke Jawa Barat, kental dengan atmosfer kepentingan tertentu, yakni provinsi di mana Iwan Bule dinilai berambisi mencalonkan diri sebagai gubernur.
Selain itu, disebutkan pula presumsi tujuan digelarnya pertandingan tersebut di Pakansari dan GBLA adalah untuk memenangkan hati orang-orang di Jawa Barat.
Menariknya, kepentingan Iwan Bule sekilas beririsan atau memiliki benang merah dengan intensi Prabowo Subianto dan Partai Gerindra.
Publik kiranya memahami bahwa dalam elektabilitas capres 2024 sementara, Anies Baswedan selalu membayangi Prabowo yang telah resmi siap kembali bertarung.
Oleh karena itu, sentimen negatif sekecil apapun yang menimpa Anies, agaknya akan sangat bermanfaat bagi Prabowo dan Partai Gerindra. Tidak terkecuali impresi ketidaksiapan JIS – yang notabene adalah salah satu proyek andalan Anies – untuk menggelar ajang internasional.
Selain itu, posisi Ketum PSSI dan Prabowo-Partai Gerindra kiranya juga memiliki romansa politik tersendiri. Itu agaknya terlihat saat eks Ketum PSSI Edy Rahmayadi disokong langsung oleh Prabowo untuk menjadi Gubernur di Pilgub Sumatera Utara (Sumut) 2018.
Lalu, bagaimana skenario relasi antara Prabowo, Gerindra dan Iwan Bule di kontestasi elektoral 2024 mendatang?
Iwan Bule-Gerindra Barter?
Manuver PSSI via Iwan Bule yang membuyarkan laga resmi FIFA perdana yang dijalani Timnas Indonesia di JIS, kiranya disambut gembira oleh para aktor politik yang menjadikan Anies sebagai ancaman di 2024.
Di antara semua aktor politik, Partai Gerindra kiranya mendapatkan benefit yang cukup relevan dari sekelumit intrik yang mengemuka. Dalam teori perilaku sosial, Partai Gerindra agaknya cukup ideal untuk menjadi pivot dalam dimensi exchange theory atau teori pertukaran.
Teori itu dikemukakan oleh sosiolog Amerika Serikat (AS) George C. Homas, yang menjelaskan bahwa manusia tidak mencari keuntungan maksimal, tetapi selalu ingin mendapat keuntungan dari interaksinya dengan aktor lain.
Dia mengatakan, interaksi sosial di masyarakat terjadi karena sebuah pertukaran sosial. Prinsip pertukaran ini serupa seperti manusia zaman purba ketika melakukan barter. Hanya saja objek yang saling ditukar tidak selalu dalam bentuk barang yang bisa disentuh, dilihat dan dirasa, melainkan mencakup hal-hal yang tidak terlihat seperti jasa, rasa bahagia, kepuasaan batin, dan lainya.
Dalam dimensi politik, prinsip “barter” kiranya bukan hal yang asing. Frasa daya tawar aktor politik, logistik politik, hingga modal elektabilitas kerap menjadi komoditas tukar di antara para aktor, terlebih dalam ekosistem multipartai seperti Indonesia.
Di titik ini, Partai Gerindra agaknya cukup ideal untuk menginisiasi barter politik itu dengan Iwan Bule. Tidak hanya dalam kapasitasnya sebagai Ketum PSSI dengan manuver JIS, tetapi juga dalam konteks Pilgub Jabar 2024.
Preseden Edy Rahmayadi dan Partai Gerindra di Pilgub Sumut 2018 bisa saja berulang. Hal itu dikarenakan Partai Gerindra tampak memiliki kepentingan lebih di Jawa Barat.
Ya, Partai Gerindra merupakan jawara di pemilihan legislatif (Pileg) Provinsi Jawa Barat 2019. Bukan tidak mungkin, partai besutan Prabowo berambisi kembali berkuasa di provinsi dengan jumlah penduduk terbanyak di Indonesia itu.
Manuver Iwan Bule yang secara tidak langsung menahan impresi positif Anies lewat JIS, boleh jadi akan menjadi barter menarik dengan Partai Gerindra. Setidaknya ada dua tujuan politik bersama di antara keduanya, yaitu mempertahankan prestasi legislatif 2019 dan simbiosis merengkuh eksekutif di Pilgub Jabar 2024.
Akan tetapi, rangkaian penjabaran di atas masih sebatas interpretasi semata. Satu yang diharapkan adalah, dinamika politik apapun yang terjadi menjelang 2024 jangan sampai mengganggu aspek lain, khususnya sepak bola yang menjadi salah satu olahraga terfavorit di tanah air. (J61)