HomeNalar PolitikPSI Melawan, Soeharto Belum Kalah

PSI Melawan, Soeharto Belum Kalah

Video PSI tentang Soeharto melahirkan pertentangan dengan Partai Berkarya. Sama-sama partai baru, keduanya langsung mendapatkan panggung. Mereka menampilkan sisi lain reformasi 1998 yang nyatanya tidak “mengalahkan” sang jenderal, sembari mendayung elektabilitas di tahun politik. Siapa yang menang?


PinterPolitik.com

“History is always written by the winners.”

:: Dan Brown, novelis ::

[dropcap]T[/dropcap]idak berlebihan jika penulis sekelas Dan Brown menyebutkan bahwa sejarah dunia ditulis oleh para pemenang. Mungkin karena kekalahan adalah hal yang terlalu berat untuk dikisahkan oleh mereka-mereka yang mengalaminya, sama seperti perasaan fans Liverpool setelah klub kesayangannya kalah dari Real Madrid di final Liga Champions beberapa waktu lalu.

Yang jelas, kisah tentang pemenang itu ibarat cerita Laskar Pelangi dari pelosok Belitung yang ditulis oleh Andrea Hirata. Kisah itu ditulisnya karena dialah sang pemenang.

Faktanya, hal yang serupa juga terjadi pada rezim Orde Baru. Memang banyak yang menilai bahwa pasca reformasi 1998, Soeharto telah kalah. Dengan demikian, sejarah kekuasaannya tidak layak untuk ditulis olehnya, keluarganya, dan kroni-kroni kekuasaannya.

Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Soeharto dan Orde Baru berhasil menancapkan kejayaannya, termasuk dalam hal konstruksi sejarah di era tersebut. Maka, tidak heran jika citra pemerintahan Soeharto, belakangan ini menjadi cenderung positif, dan sisi kelam kepemimpinan sang diktator perlahan tertutupi. Soeharto bahkan dianggap sebagai pemimpin yang paling besar berkontribusi bagi kesejahteraan rakyat selama republik ini berdiri.

Hal inilah yang terlihat ingin dibantah oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI) melalui beberapa video mereka tentang Soeharto.  Mereka mengingatkan bahwa publik jangan sampai lupa tentang sejarah kelam Orde Baru.

Akibatnya, partai anak muda tersebut berseteru dengan para pendukung dan pengidola Soeharto. Video yang dibuat PSI dianggap menghina Presiden ke-2 RI tersebut. Video yang diunggah dengan menyertakan tagar #Mei98JanganLagi ini memang berisi berbagai aksi kejahatan kemanusiaan, pelanggaran HAM, Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN), pembungkaman pers dan kebebasan berpikir, dan segala kejahatan lain yang oleh PSI disebut-sebut menjadi tanggung jawab Soeharto dan Orde Baru.

Bagi yang mendalami sejarah Indonesia di tahun-tahun kekuasaan Soeharto dari cakrawala yang lebih luas – katakanlah dari riset dan laporan-laporan yang ada di luar negeri – video PSI ini tentu saja tidak menjadi masalah. Soeharto memang dianggap sebagai salah satu diktator yang paling kejam yang pernah hidup, jika ditilik dari jumlah korban jiwa yang jatuh selama masa kekuasaannya.

Namun, video PSI menjadi polemik karena saat ini, para pendukung Soeharto masih sangat banyak. Anak-anak Soeharto, mulai dari Titiek, Tommy hingga Tutut juga mulai kembali muncul ke panggung politik. Akibatnya, bagi para pendukung keluarga Cendana, video PSI adalah bentuk “pelecehan” bagi Soeharto. Bagi mereka, video PSI kontraproduktif dengan kampanye mengembalikan kekuasaan trah Soeharto ke panggung politik nasional.

Maka, tidak heran jika reaksi cukup keras datang dari Partai Berkarya yang dipimpin Tommy Soeharto. Melalui onderbouw atau sayapnya Gerakan Muda Berkarya (GMB), partai tersebut mengancam akan melaporkan PSI ke Bawaslu dan Kepolisian, jika video-video tersebut tidak dicabut dan PSI tidak meminta maaf terhadap keluarga Soeharto.

Baca juga :  Ridwan Kamil “Ditelantarkan” KIM Plus? 

Ketua Umum GMB Raden Andreas Nandiwardhana, dalam sebuah wawancara di Kompas TV, bahkan menyebut apa yang disampaikan oleh PSI melalui video-video tersebut adalah “fitnah”. Sementara PSI menyebut bahwa apa yang mereka sampaikan adalah fakta sejarah yang tidak boleh dilupakan.

Masing-masing mengklaim bahwa sejarah di pihaknya sebagai yang paling benar. Pertanyaannya adalah apa sesungguhnya yang ingin ditunjukkan dalam benturan pembenaran sejarah ini?

Melawan Kebangkitan Soeharto

Pertikaian dua partai baru ini tentu saja mengangkat nama keduanya ke permukaan. Secara elektabilitas dan popularitas, hal ini tentu menguntungkan mereka. PSI menempatkan diri menjadi corong bagi kelompok-kelompok yang anti Soeharto dan merasakan kekejaman the smiling general, sekaligus ingin meraih suara dari kelompok sejenis.

Sementara Partai Berkarya tentu saja ingin meraih dukungan dari para pengidola Soeharto yang jumlahnya juga tidak sedikit, terutama di kalangan mereka-mereka yang mendapatkan privilege di era Orde Baru.

PSI Melawan, Soeharto Belum Kalah

Pertentangan ini sesungguhnya menunjukkan bahwa belum ada kebenaran sahih yang bisa diterima oleh semua orang tentang era kekuasaan Soeharto, seiring masih kuatnya sisa-sisa kekuasaan rezim tersebut. Reformasi 1998 memang telah menurunkan Soeharto dari puncak kekuasaannya selama 32 tahun. Namun, kejayaan Orde Baru dan kroni-kroninya tidak sepenuhnya hilang.

Reformasi hanyalah mengganti “kelambu” – tentu saja bukan seperti kelambu di lagu dangdutnya Meggi Z. Banyak yang menyebut reformasi 1998 sebagai “revolusi”. Namun, sifatnya yang hanya political revolution tanpa mengubah struktur ekonomi-bisnis yang melibatkan kroni dan keluarga sang penguasa, membuat momentum pergantian kekuasaan itu tidak mengakar.

Ini sejalan dengan pemikiran ahli politik Uni Soviet, Leon Trotsky (1879-1940) tentang political revolution yang menyebutkan bahwa tidak semua revolusi mengganti sepenuhnya struktur kekuasaan ekonomi-bisnis dan kepemilikan properti. Padahal, dalam kapitalisme pasar, kepemilikan faktor-faktor produksi dan properti berhubungan langsung dengan akses terhadap kekuasaan karena – pada dasarnya – money gives power.

Dengan demikian, kejatuhan Soeharto hanyalah pergantian pucuk pemerintahan saja, tidak seperti Revolusi Bolshevik yang menghancurkan struktur sosial yang dibangun keluarga Tsar Rusia, atau revolusi Sun Yat-sen yang menghapus Kekaisaran Tiongkok dari muka bumi.

Hal ini jugalah yang menyebabkan keluarga Cendana still remains in power. Keterangan pers Panglima ABRI, Wiranto pasca pengunduran diri Soeharto pada 1998 – bahwa militer tetap menjamin keselamatan keluarga Cendana – adalah kunci tetap berkuasanya keluarga tersebut. Pernyataan itu secara tidak langsung juga memberikan jaminan keamanan terhadap segala aset dan properti Cendana yang memungkinkan mereka untuk kembali ke permukaan dalam kurun waktu yang tidak lama.

Bayangkan jika konteks refromasi 1998 adalah hal yang sama dengan Revolusi Bolshevik. Kondisi akan sangat kacau, namun Indonesia sangat mungkin menjadi negara yang berbeda jika dibandingkan saat ini.

Dalam kutub-kutub ekstrem politik, apa yang disuarakan oleh PSI mewakili suara-suara yang mengalami kekerasan dan ketidakadilan semasa Soeharto berkuasa. Suara-suara tersebut tidak menginginkan keluarga Soeharto kembali ke panggung politik dan kekuasaan.

Sementara, Partai Berkarya mewakili aspirasi yang ingin mengembalikan Soeharto ke panggung politik nasional. Bahkan Tommy dan saudari-saudarinya ingin melakukan pembalikan sejarah tentang citra sang ayah.

Hal ini terlihat misalnya dari wawancara pria yang pernah dipenjara itu dengan kantor berita Aljazeera beberapa waktu lalu. Tommy membantah tuduhan-tuduhan yang menyebut pemerintahan sang ayah korup dan melakukan pelanggaran-pelanggaran HAM berat.

Baca juga :  Prabowo dan Filosofi Magikarp ala Pokémon

Video-video PSI tentu saja ditujukan untuk melawan kebangkitan Soeharto itu. Tapi apakah ini murni untuk meluruskan fakta sejarah, atau hanya sekedar mencari sensasi agar nama partai tersebut bisa terangkat ke permukaan menjelang Pemilu?

Yang jelas, jika fakta-fakta kekerasan dan segala politik kotor yang terjadi di era Soeharto dianggap sebagai “fitnah” oleh para pendukungnya, maka buku sejarah mana lagi yang harus dipercayai oleh masyarakat?

Kebenaran Sejarah Milik Pemenang

Fakta bahwa kisah sejarah kelam Orde Baru yang ditutup-tutupi dengan slogan “penak jamanku toh” dan keagungan predikat “Bapak Pembangunan” yang disematkan padanya – di tengah ironi kesenjangan ekonomi Jawa-luar Jawa – menunjukkan bahwa Soeharto menuliskan sejarahnya sendiri. Reformasi 1998 tidak membuat ia dan keluargannya menjadi orang-orang yang kalah.

Dan Pemilu 2019 diprediksi menjadi turn back point yang berpeluang membuat mereka membersihkan citra Soeharto. Zaenal Budiyono dari Universitas Al Azhar Jakarta menyebutkan bahwa hal ini sudah terlihat sejak Pilkada Jakarta 2017 lalu.

Pada titik ini, tafsir kebenaran fakta sejarah adalah milik mereka, para pemenang tersebut. Persoalan mengapa misalnya film tentang kekejaman PKI kembali ditayangkan juga merupakan bagian dari keberhasilan konstruksi sejarah Orde Baru.

Padahal, Indonesianis macam Benedict Anderson pernah menyebut bahwa tragedi 1965 adalah upaya kudeta yang dilakukan terhadap pemerintahan Soekanro. Tulisan yang saya buat ini sangat mungkin juga akan dianggap radikal dan bertentangan dengan konstruksi sejarah yang dibuat Orde Baru.

Sekali lagi, hal ini membenarkan pemikiran Trotsky bahwa political revolution tidak mengganti kekuasaan yang sudah ada secara sepenuhnya. Reformasi 1998 sama dengan konteks revolusi yang dilakukan oleh Stalin di Uni Soviet pasca meninggalnya Lenin.

Sebagai bagian dari kampanye politik, sisa-sisa Orde Baru juga memanfaatkan pemikiran Sigmund Freud tentang memory suppression untuk membuat masyarakat melupakan sisi kelam Soeharto dan mengingat semua yang baik-baik saja. Pemikiran Freud ini menyebutkan bahwa manusia bisa melupakan pengalaman-pengalaman kelam jika diminta demikian.

Sayangnya, PSI mewakili pihak-pihak yang tidak ingin hal itu terjadi – sekalipun partai ini pasti juga akan dicap radikalis kiri karena sikapnya tersebut. Sementara dalam konteks tahun politik, PSI juga mengambil untung dari sisi branding politiknya – secara tidak langsung – sebagai partai yang “anti-Soeharto”. Strategi ini akan cukup menjual di kalangan pihak-pihak yang anti terhadap Soeharto.

Perdebatan tentang hal ini masih akan menjadi topik yang menarik dalam bulan-bulan ke depan. Publik tentu masih menanti, manuver apa lagi yang akan dilakukan oleh keluarga Cendana.

Yang jelas, reformasi tidak mengalahkan Soeharto dan Cendana, dan konstruksi sejarah Orde Baru telah membuktikannya. Oleh karena itu, biarlah kekalahan Liverpool ditangisi untuk sehari saja, dan mari menatap musim depan yang lebih cerah. Eh? (S13)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Dengarkan artikel ini: Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut. Meski belum juga terjadi, banyak yang...

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Segitiga Besi Megawati

Dengarkan artikel ini: Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut. Meski belum juga terjadi, banyak yang...

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Prabowo dan Hegemoni Rasa Takut

Beberapa konglomerat menyiratkan “ketakutan” soal akan seperti apa pemerintahan Prabowo bersikap terhadap mereka.