Kemenangan Partai Solidaritas Indonesia atau PSI versi hitung cepat dalam pemilihan parlemen daerah di beberapa kota menarik untuk ditelaah secara mendalam, khususnya di Aceh. Negeri Serambi Mekkah ini merupakan daerah diberlakukannya Perda Syariah, hal yang ditolak oleh PSI dalam kampanye-kampanyenya. Lalu, mengapa PSI justru mendapatkan suara di parlemen Aceh?
PinterPolitik.com
[dropcap]P[/dropcap]esta demokrasi yang diadakan pada tanggal 17 April lalu telah usai. Meskipun hasil resmi hitung suara belum dipublikasikan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai lembaga penyelenggara Pemilu, namun hasil hitung cepat atau quick count kini banyak menjadi acuan bagi para peserta Pemilu untuk melihat posisi mereka. Tak terkecuali bagi partai-partai politik yang bertarung.
PSI adalah salah satu partai yang langsung menyatakan menerima keputusan hasil hitung cepat kali ini. Melalui pidato sang ketua umum, Grace Natalie, dengan judul “Setelah Kami Kalah”, PSI menyatakan diri bahwa partainya menerima jika tak dapat melenggang ke Senayan untuk lima tahun ke depan.
Dengan perolehan sementara agregat nasional sebesar 1,87 persen dari ambang batas parliamentary threshold 4 persen, sayangnya PSI harus tersingkir dari perebutan kursi anggota dewan secara nasional.
Meskipun kalah secara nasional dalam kontestasi Pemilu Legislatif (Pileg), partai berlambang mawar ini nyatanya memperoleh suara yang cukup tinggi di beberapa kota di luar negeri. Sebut saja suara PSI yang moncer di Sidney, Melbourne, Berlin, Roma, Toronto, hingga Washington DC, di mana partai merah ini meraih simpati yang cukup luas.
Uniknya, partai yang mengusung jargon progresif ini, juga memenangi suara pada tingkat daerah di beberapa kota besar. Di antaranya adalah DKI Jakarta, Surabaya, Bandung, Bogor, bahkan Aceh.
Hal yang menggelitik tentu saja adalah kemenangan PSI di Serambi Mekkah, Aceh. Share on XHal yang menggelitik tentu saja adalah kemenangan PSI di Serambi Mekkah, Aceh.
Seperti yang diketahui, bahwa Aceh merupakan salah satu wilayah yang menganut hukum Syariah yang mana hal tersebut cukup kontras dengan semangat PSI selama ini getol menolak Perda berbasis agama dalam setiap kampanyenya. Lalu, apa makna di balik kemenangan PSI di Aceh ini?
PSI dan Anomali Perda Syariah
Kejutan bagi PSI dalam Pemilu 2019 ini memang tak tanggung-tanggung. Setelah di Jakarta partai tersebut mampu menduduki top four atau empat besar partai yang berhasil duduk di parlemen daerah, kini posisi serupa juga terjadi di Aceh. Setidaknya begitulah klaim Grace Natalie. Ia mengatakan telah meraih kemenangan di Aceh dengan menempati peringkat kedua di bawah PDIP.
Dalam menanggapi kemenangannya di Aceh, Grace mengklaim bahwa kemenangan mereka tidak terlepas dari dukungan para anak-anak muda yang rasional dan memiliki rasa kritis tinggi.
Namun, kemenangan ini terasa kontradiktif jika menelisik latar belakang Aceh sebagai kota yang sangat Islami.
Hal ini terlihat dari wilayah ini yang memiliki sejumlah Perda Syariah di bawah Dinas Syariat Islam (DIS) Pemerintah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA).
Menurut laporan BBC Indonesia, Perda Syariah di Aceh meliputi penggunaan hukuman berdasarkan syariat Islam yang disebut sebagai Qanun Jinayat.
Hukuman pidana dalam Qanun Jinayat terbagi dalam beberapa bentuk, di antaranya hukum cambuk, denda, hingga rajam. Hal ini bisa dilihat dalam kasus hukuman 10 hingga 200 kali cambuk yang melibatkan kelompok LGBT beberapa waktu lalu.
Potret Perda Syariah itulah yang membuat PSI angkat bicara, di mana partai ini menolak segala bentuk peraturan daerah berbasis agama – termasuk juga Perda Injil – yang berlaku di beberapa wilayah di Indonesia, termasuk di Aceh. Hal ini berkaitan dengan sifat Perda ini yang cenderung diskriminatif dan mencederai hak asasi manusia.
Nah ini. Kalau PSI menang di ibukota, bagi saya tidak terlalu mengejutkan, atau di kota2 lainnya.
Tapi ini Aceh loh. GG bener. Setuju saya kalau warga Aceh diam2 tak mau perda Syariah, tapi mereka takut buat bicara.
Tak hanya berhenti pada isu Perda Syariah, PSI juga menggaungkan narasi penolakan terhadap praktik poligami, di mana isu tersebut mungkin saja cukup mengena bagi pemilih dengan basis gender tertentu.
Oleh karenanya, bisa saja dua narasi kampanye ini memang cukup ampuh sebagai strategi politik di beberapa daerah. Sehingga, kemenangan PSI di Aceh dapat diartikan sebagai ekspresi kejengahan sebagian masyarakat di wilayah tersebut terhadap tatanan kehidupan konservatisme yang mereka jalani selama ini.
Asumsi tersebut cukup beralasan jika melihat tren yang saat ini terjadi di Indonesia secara sosio-kultural. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Nathanael Sumaktoyo dalam How ‘Moderate’ are Indonesian Muslims?, menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia secara umum kurang konservatif dibandingkan masyarakat Malaysia, namun lebih konservatif daripada Lebanon dan Turki.
Secara umum, sikap sosial dan politik masyarakat muslim Indonesia tidak terlalu dipengaruhi oleh nilai-nilai agama seperti halnya di Malaysia, namun juga tidak terlalu sekuler seperti masyarakat di Turki. Sehingga, umat muslim Indonesia lebih pantas mendapatkan reputasi sebagai “Muslim Moderat”.
Oleh karenanya, meskipun belum ada studi lanjut mengenai adakah korelasi antara peningkatan suara PSI di Aceh dengan penolakan Perda Syariah yang dikampanyekannya, namun bisa jadi keduanya memang memiliki korelasi ditinjau dari sebagian masyarakatnya yang tak melulu mau hidup dalam kungkungan konservatisme.
Kontestasi Ideologi?
Terkait hal tersebut, dalam sebuah artikel terbarunya yang berjudul Indonesia’s Election and the Return of Ideological Competition, Edward Aspinall dari Australian National University (ANU) memaparkan dinamika yang mewarnai Pemilu serentak di Indonesia kali ini.
Ia menyebut bahwa selama lima tahun terakhir, Indonesia telah bergerak melampaui politik pragmatisme dan akomodasi, di mana mobilisasi ideologis, polarisasi, kampanye kebencian online, dan yang lainnya menjadi semakin berpengaruh dalam konteks politik nasional.
Salah satunya adalah mobilisasi ideologi yang melibatkan perseteruan antara kelompok Islam moderat versus konservatif.
Hal ini tergambar dari dukungan ormas Islam terbesar di Indonesia yakni Nahdlatul Ulama (NU) yang memobilisasi dukungan untuk Joko Widodo (Jokowi) karena ingin mempertahankan visi NU tentang pluralisme dan Islam moderat, selain juga faktor keberadaan mantan Rais Aam NU, Ma’ruf Amin yang menjadi pendampingnya.
Sedangkan, di kubu seberang ada Prabowo Subianto yang dianggap telah didukung oleh kelompok “Islam garis keras” yang tak jarang mengkampanyekan tegaknya panji hukum berbasis agama di republik ini.
Selain itu juga ada partai seperti PKS yang disebut-sebut memanfaatkan sentimen ideologi Islam ini untuk mendulang suara.
Menarik untuk diteliti, mengapa PSI di Aceh bisa menang?
Sehingga pendapat Aspinall tidak sepenuhnya salah, di mana Pemilu di Indonesia kali ini adalah ajang kompetisi ideologi atau ideological competition di antara kubu-kubu yang tengah bertarung memperebutkan kursi kekuasaan.
Lalu, seberapa berpengaruhkah platform ideologi PSI dalam konteks Pemilu kali ini? Dan apakah kehadiran PSI bisa dibilang sebagai pembuktian ideological competition?
Meskipun bukan partai berbasis agama, namun sepertinya PSI menjadi salah satu partai yang cukup konsisten membawa narasi ideologi sebagai amunisi perang.
Apalagi, PSI cukup terbuka menyatakan “perang” terhadap kelompok-kelompok yang secara ideologis berseberangan.
Partai itu juga sempat “mengharamkan” berkoalisi dengan partai Islam lawannya, yaitu PKS. PSI menganggap PKS tidak sejalan dengan ideologinya karena kerap menggunakan kampanye-kampanye politik yang eksklusif terhadap kelompok non-muslim di Indonesia.
Dalam konteks kemenangan PSI di Aceh, bisa saja ideologi progresivisme yang ditawarkan PSI menjadi strategi untuk mampu mencuri perhatian pemilih yang telah lama hidup dalam kungkungan ketatnya peraturan Syariah.
Apalagi, di era keterbukaan komunikasi dan informasi seperti saat ini, perubahan paradigma dan perspektif terhadap budaya – termasuk juga agama – terjadi dengan begitu pesat. Sangat mungkin kelompok muda progresif di wilayah tersebut telah mulai keluar dari batas-batas konservatisme dalam pagar keistimewaan daerah. Akibatnya, PSI mampu mengisi ceruk pilihan alternatif dari bagian masyarakat tersebut dan memenangkan dukungan politik.
Oleh karenanya, kemenangan PSI di Aceh bisa dibilang adalah anomali yang mungkin butuh lebih dari seribu kata untuk ditulis ulang.
Selain itu, ini juga membuktikan bahwa partai seperti PSI sangat mungkin dapat bertahan di tengah kontestasi politik yang ada karena ideologi yang diusungnya dapat menjadi identitas pembeda. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya dan nasib sebenarnya PSI dalam hasil real count versi KPU. (M39)