Jargon progresif PSI selama ini berpotensi menghasilkan resistensi dari partai-partai politik lama di Indonesia
PinterPolitik.com
[dropcap]P[/dropcap]artai Solidaritas Indonesia atau PSI kembali menggegerkan panggung perpolitikan Indonesia. Setelah kontroversi perda syariah yang menimbulkan pro dan kontra, kini partai berlambang menggengam bunga mawar tersebut kembali menyulut kontroversi terkait korupsi.
Bertepatan dengan hari anti korupsi sedunia yang jatuh pada tanggal 9 Desember 2018 kemarin, Sekjen PSI, Raja Juli Antoni, mengusulkan agar korupsi di era Orde Baru menjadi tema debat dalam Pilpres.
Ia menyebut bahwa korupsi Orde Baru menjadi topik yang penting dibahas dalam debat Pilpres karena dapat memberi kontras dan akan mengangkat citra Jokowi sebagai produk reformasi yang bersih dari korupsi dan Prabowo sebagai bagian dari masa lalu yang penuh dengan jeratan korupsi.
Namun, usulan Sekjen partai nomer urut 11 itu sontak saja menimbulkan kritik dari rekan koalisinya, yakni Partai Golkar. Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar, Andi Harianto Sinulingga menuturkan PSI telah melakukan blunder dengan mengungkit masalah korupsi era Orde Baru dan bahkan menyindir PSI sebagai energi negatif yang berdampak buruk bagi elektabilitas Jokowi.
Lalu, benarkah sikap PSI yang seringkali kontroversial dan kontra-produktif dengan rekan-rekan se koalisi akan berbahaya bagi Jokowi? Mungkinkah PSI akan menjadi outsider bagi partai-partai pemain lama dalam politik Indonesia?
‘Menelanjangi’ Koalisi
Isu korupsi memang bagaikan pisau bermata dua dalam konstelasi politik di Indonesia. Isu ini seolah menjadi batu sandungan terbesar ketika berbicara reformasi partai. Dalam konteks ini, sulit melepaskan partai politik di Indonesia dari citra anti korupsi.
Hal ini karena partai politik di Indonesia yang oleh Dirk Tomsa, dalam tulisannya berjudul Party System Fragmentation in Indonesia: The Sub-national Dimension disebut memiliki karakteristik korupsi yang menyebar, elitis, program yang dangkal, dan kurangnya melibatkan diri dengan warga biasa.
PSI sering buat Blunder…kontraproduktif bagi petahana.
— didi (@didihusadi) December 9, 2018
Oleh karenanya, eksistensi partai-partai di Indonesia cenderung didorong oleh pencarian rente serta pencarian patronase dan bukan didasarkan pada perdebatan ideologis atau program kerja.
Realitas tersebut yang kini harus dihadapi PSI yang mengklaim sebagai partai berhaluan progresif itu. Bahkan Ketua Umum PSI Grace Natalie mendaku diri bahwa partainya bukanlah partai oligarki dan menegaskan PSI tidak dipimpin dengan gaya kepemimpinan yang berpusat pada segelintir orang.
Namun kini partai pimpinan Grace Natalie itu harus berhadapan dengan kekuatan-kekuatan partai lama dengan karakteristik oligark dan rent-seeking tersebut.
Dalam konteks perannya sebagai bagian dari koalisi kerja Jokowi-Ma’ruf Amin, PSI memang sering kali terlibat konfrontasi dengan partai-partai senior lain. Terlebih, sering kali PSI mengeluarkan isu-isu yang “tak menjual” dan kontra produktif dengan koalisi.
Misalnya saja dalam konteks usulan tolak Perda Syariah, yang langsung menimbulkan turbulensi politik bagi masyarakat luas, juga bagi koalisi. Bahkan usulan PSI terkait perda tersebut menimbulkan kritik dari PPP dan PKB.
Jika PSI selalu melakukan kontra produktif dengan partai-partai lama yang notabene telah menguasai sumber daya politik berupa relasi elite yang kuat, dan modal politik yang mapan, bukan tidak mungkin kondisi ini akan menyulitkan PSI… Share on XSelain itu, PSI melalui pernyataan Tsamara Amany, juga sempat bermanuver dengan menyinggung perihal ‘dosa’ partai-partai lama yang secara tidak langsung juga menyinggung internal koalisi Jokowi-Ma’ruf Amin. Bahkan beberapa partai se-koalisi seperti PDIP, Partai Golkar, PKB dan PPP merespons dengan sinis langkah PSI.
Dan kini, menyoal usulan debat korupsi, justru ditanggapi dingin oleh partai se-koalisinya. Golkar melalui Ketua Dewan Pimpinan Pusat, Andi Harianto Sinulingga, menyebut PSI telah melakukan blunder politik dengan mengungkit masalah korupsi era Orde Baru. Bahkan PSI disebut sebagai energi negatif dan berdampak buruk bagi Jokowi.
Tentu manuver politik PSI tersebut bisa dianggap sebagai upaya menelanjangi keburukan sesame koalisi. Terlebih, Golkar merupakan partai utama yang mendukung rezim Soeharto di era Orde Baru.
Dengan semangat reformasi partai dan penghapusan korupsi, mungkinkah PSI mampu menjadi partai pelopor pemberantas korupsi? Atau justru PSI akan berpotensi kesulitan untuk menyesuaikan langkah politiknya bersama koalisi kerja?
PSI, Political Outsiders?
Dengan melihat perseteruan antara PSI dan beberapa partai lama dalam koalisi kerja, bisa jadi memang partai berhaluan progresif ini sulit untuk berkompromi dengan budaya politik elitisme dan rent-seeking yang telah dijelaskan sebelumnya. Hal ini pada akhirnya menempatkan PSI hanya sebagai political outsider bagi Koalisi Indonesia Kerja.
Barbara Trish dalam tulisannya di The Washington Post menyebut bahwa political outsider memang sosok yang mengkonstruksi diri sebagai penantang status quo dalam sistem politik yang berlaku. Namun dalam kenyataannya, sosok semacam ini sebenarnya memiliki agenda politik mereka sendiri.
Ironisnya, menurut Barbara Trish, political outsider ini jarang sekali mendatangkan perubahan dan justru menjadi ajang pragmatisme yang justru menjadi peluang bagi politisi untuk mengejar keuntungan.
Meskipun political outsider dalam kadar tertentu bagus untuk melakukan kontrol power, namun pada realitasnya, sumber daya politik, dalam konteks ini uang, masih secara konsisten menjadi faktor kunci yang mendorong eksistensi partai-partai atau para politisi.
Dalam konteks PSI, sebagai generasi politik muda, tentu akan sulit menjadi political outsider untuk memaksimalkan keuntungan-keuntungan secara politik jika memilih untuk lebih melakukan konfrontasi dengan partai-partai senior lain layaknya Golkar yang memang memiliki sumber daya politik yang lebih besar.
Padahal, dalam sebuah koalisi, sudah menjadi rahasia umum bahwa dasar pembentukan koalisi antara partai-partai politik adalah pertimbangan keuntungan jangka pendek dan jangka panjang yang akan mereka peroleh.
Idealnya, jika merujuk pandapat Bingham Powell Jr dalam bukunya Contemporary Democracies: Participation, Stability and Violence, pihak-pihak yang terlibat dalam proses tawar-menawar politik jangka pendek dalam sebuah koalisi seharusnya lebih jeli melihat peluang dan ancaman yang mungkin dapat dimaksimalkan sebagai sumber politik dalam sebuah pemilu.
Bahayakan Koalisi?
Nampaknya PSI kali ini lebih memilih untuk melakukan konfrontasi dengan partai-partai lama yang berada dalam satu koalisi dengannya tanpa melihat urgensi kepentingan besar koalisi.
Hal ini terlihat dari manuver politik PSI yang terkesan memilih isu-isu kampanye yang kurang populis. Padahal, dalam konteks politik Indonesia, isu-isu populis masih menjadi factor penting bagi politisi dalam menggaet suara pemilih.
Dalam konteks ini, pada kadar tertentu, tidak hanya akan merugikan petahana, langkah PSI juga bisa saja membahayakan koalisi kerja dan berpotensi akan mengarahkan pada kondisi pecahnya koalisi.
Yaelah niy si Guntur. Kalian itu emang udah jadi energi negatif buat koalisi kalian. Alih2 harusnya kalian senada dgn yg lain, malah kalian @psi_id bikin blunder. Bentar lagi berantemnya ngga hanya sama Golkar loh. Liat aja. Bakalan Digebukin rame2 sekoalisi cebong hahaha
— The Warrior 02 (@mwirya0802) December 9, 2018
Hal tersebut selaras dengan pendapat Gary W. Cox dan Frances Rosenbluth dalam jurnalnya berjudul Anatomy of a Split yang menyebut bahwa sebuah koalisi akan menghadapi masalah ketika sudah tidak ada kesamaan visi atau tujuan yang berakhir dengan kecenderungan memaksakan kecocokan, adanya persaingan partai dalam sebuah koalisi dimana terdapat eksistensi gerakan anti-partai dan tingginya tingkat polarisasi ideologi dalam sebuah koalisi.
Upaya kompromi untuk mempertahankan koalisi dengan kondisi polarisasi ideologi, dan partai yang memiliki kepentingan berseberangan akan sulit untuk menghasilkan perjanjian.
Tentu konfrontasi yang dilakukan PSI sebagai partai baru bisa dibilang cukup berani. Namun pada akhirnya, kini PSI harus dihadapkan pada kondisi dilematis dimana sebagai partai baru, partai yang lekat dengan citra anak muda ini memiliki agenda besar untuk menembus electoral threshold 2,5 persen untuk melenggang ke Senayan.
Namun disisi lain, PSI harus berhadapan dengan tekanan pemain-pemain lama dalam lanskap politik Indonesia dimana berpotensi menghadapi resistensi atas gaya kampanye yang diklaim progresif dan berbeda ini.
Hal ini sejalan dengan pendapat Jason Burke dari The Guardian bahwa generasi muda politik rentan menghadapi perlawanan yang signifikan dari para penguasa yang berkuasa, yang didukung oleh organisasi politik yang telah lama berkuasa, yang memiliki dukungan militer dan sistem patronase yang mengakar yang telah menjadi sumber daya kekuasaan.
Jika PSI selalu melakukan kontra produktif dengan partai-partai lama yang notabene telah menguasai sumber daya politik berupa relasi elite yang kuat, dan modal politik yang mapan, bukan tidak mungkin kondisi ini akan menyulitkan PSI dalam konteks Pileg maupun Pilpres 2019 nanti.
Pada titik ini, PSI boleh jadi harus berjuang ekstra keras dengan narasi progresivitasnya. Di satu sisi ia harus berjuang di Pileg agar lolos ke Senayan, di sisi yang lain, sebagai outsider mereka juga harus bertahan di internal koalisinya. (M39)