HomeNalar PolitikProyek Jet Boramae Akan Rugikan Indonesia? 

Proyek Jet Boramae Akan Rugikan Indonesia? 

Indonesia dan Korea Selatan tengah mengembangkan jet tempur canggih bernama Boramae. Akankah proyek ini memberikan kita keuntungan, atau justru merugikan Indonesia? 


PinterPolitik.com 

Apakah kalian pernah menonton film Top Gun: Maverick (2022), yang dibintangi aktor kondang, Tom Cruise? Kalau sudah, tentunya kalian juga mengetahui bahwa ternyata jet-jet tempur yang digunakan oleh militer memiliki beberapa klasifikasi yang merepresentasikan kecanggihannya. Di film Top Gun sendiri, kita dikenalkan pada jet tempur generasi kelima milik Rusia, SU-57. 

Sebagai informasi singkat, jet tempur klasifikasi generasi kelima memiliki signifikansi yang sangat besar karena jet kategori ini kerap dianggap sebagai puncak kecanggihan sebuah alat tempur udara. Selain SU-57, di dunia nyata kita juga memiliki jet generasi kelima lain yang tidak kalah populer, yakni jet siluman F-22 dan F-35 yang dibuat oleh Amerika Serikat (AS). 

Mungkin tidak heran ya bila negara seperti AS atau Rusia bisa mengembangkan jet tempur generasi kelimanya sendiri, karena dua negara tersebut memang dikenal memiliki perlombaan teknologi militer dari sejak sebelum Perang Dingin, ketika Rusia masih menjadi Uni Soviet. Tapi, kira-kira apakah mengejutkan bila ternyata Indonesia juga saat ini tengah mengembangkan jet tempur yang tidak kalah canggihnya dengan jet generasi kelima? 

Yess, di sini tentu kita berbicara tentang proyek jet tempur ambisius Indonesia bersama Korea Selatan (Korsel) yang bernama KF-21 Boramae atau KFX/IFX. Meskipun disebut bukan sebagai jet tempur generasi kelima, Boramae diklaim sebagai jet tempur bergenerasi “4.5”, yang artinya lebih canggih dari jet generasi keempat seperti F-16 atau F-18, tapi masih di bawah jet generasi kelima. Bakal cukup membanggakan, bukan? 

Saat ini mungkin sudah cukup banyak orang Indonesia yang mengenal tentang proyek Boramae, karena wajar saja, beberapa waktu lalu Indonesia sempat disentil oleh media asal Korsel tentang penunggakan pembayaran proyeknya. 

Namun, di artikel ini kita tidak akan spesifik membahas soal penunggakan tersebut, melainkan relasinya dengan kegunaannya bagi Indonesia. Sebagai sebuah proyek yang katanya membutuhkan dana sampai US$6,5 miliar, tentu pantas bila kita pertanyakan, apakah pengembangan jet seperti Boramae benar-benar akan untungkan postur pertahanan Indonesia? 

image 17

Boramae Dibuat untuk Jualan? 

Proyek jet Boramae dan ambisi Korsel serta Indonesia untuk dapat memiliki jet tempur canggihnya sendiri sebetulnya dilatarbelakangi oleh persoalan yang lebih besar dari hanya sekedar tentang penguatan alutsista. Utamanya, yakni tentang politik ekonomi industri pertahanan udara. 

Ada satu alasan mengapa negara seperti Korsel, dan juga Indonesia, melihat bahwa proyek Boramae adalah sesuatu yang perlu direalisasikan, dan hal itu sebenarnya adalah akibat kesalahan jet tempur generasi kelima, F-35.  

Mengapa bisa demikian? Well, ini adalah akibat permainan politik ekonomi AS dalam mengendalikan bagaimana jet tempur generasi kelima bisa disebarkan di dunia. Yuk, kita coba pahami dulu bersama. 

Baca juga :  Menyingkap Sportwashing dalam Laga Indonesia-Bahrain

Meskipun semakin dipopulerkan oleh media, saat ini jet tempur generasi kelima yang layak dipakai sebetulnya hanya ada dua, yaitu F-22 dan F-35, keduanya, kembali lagi adalah pesawat-pesawat buatan AS. Masalahnya, F-22 yang sering diklaim sebagai jet tempur yang paling capable untuk pertempuran udara sampai saat ini tidak diizinkan untuk dijual ke negara-negara lain, bahkan pada sekutu terdekat Paman Sam sekalipun.  

Sementara itu, F-35 sebagai jet generasi kelima yang secara terbuka dibolehkan untuk ekspor ke negara-negara sekutu AS, sejak awal sudah didesain sebagai jet canggih yang “nanggung”, kalau kata pengamat militer, Jacob Parakilas dalam artikelnya Can Smaller Countries Produce Competitive Fighters?.

Memang, F-35 sering di-branding sebagai jet modern yang serba bisa, ia bisa sekaligus digunakan untuk pertempuran udara, dan juga pengeboman. Akan tetapi, dalam kenyataannya, sesuai data yang diteliti Jacob, F-35 tidak bisa mendominasi masing-masing sektor pertempuran tersebut. Bahkan, ada beberapa jet tempur generasi keempat yang bisa mengunggulinya di satu sektor spesifik, contohnya dalam pertempuran udara, seperti SU-35.  

Hal itu membuat jet F-35 sebagai manifestasi dari adagium “jack of all trades, master of none,”. Ia bisa untuk segala situasi, tapi tidak mampu menjadi “ahli” dalam situasi-situasi tersebut. 

Tentu, hal tersebut sebenarnya tidak membuat F-35 sebagai jet yang tidak layak dibeli. Kemampuannya yang bisa diturunkan di segala medan perang tetap berguna. Akan tetapi, F-35 menjadi masalah besar ketika ditambah dengan fakta bahwa harga jualnya cukup fantastis. Yup, bisa dikatakan, opsi pembelian F-35 adalah pilihan yang hanya bisa dilakukan oleh negara dengan perekonomian yang kuat, bukan negara yang sedang urgent membenahi postur pertahanan udaranya, seperti Indonesia. 

Dengan demikian, bisa disimpulkan juga bahwa jet generasi kelima multifungsi seperti F-35 sebenarnya adalah sebuah privilege, bukan kebutuhan. Bila Indonesia, misalnya, sedang ingin memperkuat jet untuk keperluan pertempuran udara, maka akan lebih baik jika kita membeli jet yang spesifik dibuat seperti itu, contohnya F-15. 

Bagaimana kemudian hal ini berkaitan dengan pembuatan jet Boramae oleh Korsel dan Indonesia? Well, jawabannya cukup sederhana, Boramae sepertinya diharapkan dapat mengisi kekosongan yang tidak bisa diisi oleh F-35, yakni sebuah jet dengan kapabilitas siluman yang bisa dibeli dengan harga yang lebih murah. 

Menariknya, kalau kata analisis Parakilas, dengan adanya “kesalahan” kebijakan politik ekonomi di balik pemasaran F-35 tadi, hal itu telah membuka peluang pasar bagi negara-negara lain di dunia untuk memasarkan produk yang bisa lebih menggiurkan bagi negara-negara berkembang. Khususnya, negara yang memiliki terancam potensi perang tinggi, seperti Korsel, dan negara-negara yang berada di tengah persaingan negara besar, seperti Indonesia dan negara Eropa Timur. 

Baca juga :  Menguji "Otot Politik" Andika Perkasa

Oleh karena itu, bisa dikatakan juga bahwa besar kemungkinannya Indonesia dan Korsel sebenarnya mengembangkan proyek Boramae tidak hanya untuk kebutuhan pertahanan masing-masing saja, tetapi juga untuk keperluan dagang. 

Namun, bila memang Korsel dan Indonesia mengembangkan proyek Boramae adalah untuk mengisi kekosongan F-35, maka sebenarnya bisa dikatakan proyek Boramae kemungkinan besar akan menjadi sebuah proyek gagal. Mengapa demikian? 

image 18

Terlalu Didominasi Pemain Besar? 

Sederhananya, logika penjualan jet tempur sebetulnya tidak terlalu jauh dengan realita penjualan sebuah handphone (hp) yang canggih. Teknologi dua-duanya sangat diantisipasi oleh calon konsumen, tapi tidak jarang, sebuah produk yang harganya lebih murah tetap tidak diminati bila dibandingkan dengan sebuah brand yang sudah dipercaya. 

Kekhawatiran ini juga dicurigai akan terjadi pada Boramae.  

Seperti yang pernah dijelaskan dalam artikel PinterPolitik berjudul Tiongkok Harusnya Ikut Perang Ukraina?, mengutip pendapat pengamat pertahanan dari AeroDynamic Advisory, Richard Aboulafia, pembelian jet tempur pada hakikatnya lebih bersifat sebagai upaya mendapatkan keberpihakan politik dibandingkan pertimbangan kualitas dan harga.  

Besar kemungkinannya, orang-orang akan tetap memberikan perhatian pada AS, Eropa, dan bahkan Rusia ketika ingin membeli jet tempur karena dua negara tersebut sudah memiliki ikatan politik yang mendalam dengan negara-negara berkembang akibat penjualan alat-alat militernya dari puluhan tahun lalu. Karena itu, mereka akan selalu memiliki pelanggan tetap, meskipun negara seperti Korsel atau Tiongkok mulai bisa menjual jet tempur canggihnya sendiri ke dunia. 

Dengan demikian, negara-negara yang membeli ke negara-negara Eropa, AS, dan Rusia melakukan pembelian jet tempur sebagai upaya menghargai dan memperkuat keterikatan politik yang sudah dijalin dalam waktu yang lama. Selain itu, juga untuk mengurangi biaya perawatan, karena tidak perlu mendatangkan suku cadang yang berbeda jenis bila harus beli ke produsen senjata baru, seperti produsen jet tempur Tiongkok, Korsel, atau Indonesia, misalnya. 

Yess, sederhananya, industri jet tempur sebetulnya selama ini sudah terlalu didominasi oleh negara-negara tadi. Bila kemudian Korsel dan Indonesia ingin menjadi kontender baru, well, bisa dikatakan kita akan menghadapi tantangan yang begitu besar untuk meyakinkan para calon pembeli. Apalagi, kita belum bisa dikatakan sebagai negara yang alat perangnya telah terbukti berfungsi efektif dalam perang besar, tidak seperti AS ataupun Rusia. 

Maka dari itu, dengan penalaran yang kita ambil dari penjabaran di atas, bisa dikatakan bahwa bila Boramae diniatkan sebagai proyek untuk penjualan jet generasi “4.5”, maka besar kemungkinannya itu akan menjadi proyek yang tidak akan mendapat banyak pembeli. (D74) 

spot_imgspot_img

#Trending Article

Kok Megawati Gak Turun Gunung?

Ketua Umum (Ketum) PDIP, Megawati Soekarnoputri hingga kini belum terlihat ikut langsung dalam kampanye Pilkada. Kira-kira apa alasannya? 

Berani Prabowo Buka Pandora Papers Airlangga?

Ramai-ramai bicara soal kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen yang disertai dengan protes di media sosial, tiba-tiba juga ramai pula banyak akun men-share kembali kasus lama soal nama dua pejabat publik – Airlangga Hartarto dan Luhut Pandjaitan – yang di tahun 2021 lalu disebut dalam Pandora Papers.

“Sekolam” Ahok, Kesaktian Anies Luntur?

Keputusan Anies Baswedan meng-endorse Pramono Anung-Rano Karno di Pilkada Jakarta 2024 memantik interpretasi akan implikasi politiknya. Utamanya karena Anies pada akhirnya satu gerbong dengan eks rivalnya di 2017 yakni Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan PDIP serta tendensi politik dinasti di dalamnya, termasuk yang terjadi pada Pramono.

Siasat Prabowo Akui Sengketa LCS

Pemerintahan Prabowo disorot karena ‘akui’ klaim tumpang tindih LCS dalam joint statement Tiongkok. Mungkinkah ada siasat strategis di baliknya?

Rahasia Triumvirat Teddy, AHY, dan Hegseth?

Terdapat kesamaan administrasi Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump dengan Presiden Prabowo Subianto, yakni mempercayakan posisi strategis kepada sosok berpangkat mayor. Kiranya, terdapat rahasia tertentu di balik kesamaan itu yang dapat mendukung support dalam dimensi tertentu ke pemerintahan masing-masing. Mengapa demikian?

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Dua negara menjadi tujuan utama Prabowo saat melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya pasca dilantik sebagai presiden: Tiongkok dan Amerika Serikat.

Paloh Pensiun NasDem, Anies Penerusnya?

Sinyal “ketidakabadian” Surya Paloh bisa saja terkait dengan regenerasi yang mungkin akan terjadi di Partai NasDem dalam beberapa waktu ke depan. Penerusnya dinilai tetap selaras dengan Surya, meski boleh jadi tak diteruskan oleh sang anak. Serta satu hal lain yang cukup menarik, sosok yang tepat untuk menyeimbangkan relasi dengan kekuasaan dan, plus Joko Widodo (Jokowi).

More Stories

Kok Megawati Gak Turun Gunung?

Ketua Umum (Ketum) PDIP, Megawati Soekarnoputri hingga kini belum terlihat ikut langsung dalam kampanye Pilkada. Kira-kira apa alasannya? 

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Prabowo & Trump: MAGA vs MIGA? 

Sama seperti Donald Trump, Prabowo Subianto kerap diproyeksikan akan terapkan kebijakan-kebijakan proteksionis. Jika benar terjadi, apakah ini akan berdampak baik bagi Indonesia?