Pemerintah membatalkan 14 proyek infrastruktur senilai Rp 264 triliun dengan alasan proyek-proyek tersebut dinilai tidak mungkin terealisasi. Apakah pembatalan proyek-proyek ini ada hubungannya dengan siasat politik menjelang Pilpres 2019?
PinterPolitik.com
“If I had chosen the populist course, it would have been a breach of the trust placed in me by the people.”
::Narendra Modi, Perdana Menteri India::
[dropcap]J[/dropcap]ugurtha (160-104 SM) merasa dirinya layak menjadi penguasa Kerajaan Numidia – sebuah wilayah kuno di utara Afrika yang dikuasai oleh Republik Romawi, sekarang Aljazair. Ia diyakinkan oleh perwira-perwira Romawi bahwa kekuasaan pamannya, Micipsa (meninggal 118 SM) atas Numidia bisa ia rebut jika menyuap pemerintahan di Roma.
Maka, Jugurtha pun menyogok para senat Romawi dan ia mendapatkan tahta Numidia. Namun, ketika aksinya itu ketahuan dan membuka aib politik Romawi yang korup, rakyat pun marah dengan situasi tersebut.
Tapi pembatalan 14 proyek strategis tidak perlu, progrest pencapaian , dan up date kendala akan membuat publik paham ….
— Darios Darman (@Darios53861535) April 18, 2018
Hingga akhirnya muncul Gaius Marius (187-56), seorang pejabat bersih yang dengan keyakinannya memberantas aksi-aksi suap di lingkungan pemerintah. Ia juga bertempur dan berhasil mengalahkan Jugurtha, lalu tampil sebagai tokoh pujaan rakyat yang membersihkan korupsi dari pemerintahan.
Marius berubah menjadi sosok populis yang dipuja oleh masyarakat, bahkan diangkat menjadi Konsul Roma sebanyak 5 kali berturut-turut – hal yang bertentangan dengan ketentuan dalam konstitusi Republik Romawi saat itu.
Kisah Gaius Marius tersebut merupakan salah satu potret bagaimana pemimpin mengambil hati rakyat banyak dan mengabaikan kepentingan segelintir orang atau elit – kondisi yang sering disebut sebagai populisme, terminologi yang akan dijelaskan pada bagian lain dalam tulisan ini.
Kini, kisah Marius tersebut seolah menampakkan kembali bentuknya dalam diri Presiden Joko Widodo (Jokowi). Dengan segala program kerakyatan yang diusungnya dan citra politik bersih yang ditampilkannya, Jokowi jelas adalah seorang pemimpin yang mampu merebut hati banyak orang.
Hal inilah yang membuat banyak pihak mempertanyakan aksi sang presiden ketika membatalkan 14 proyek infrastruktur – program yang masuk dalam kerja populisme Jokowi. Proyek-proyek yang dibatalkan tersebut bernilai total Rp 264 triliun dan merupakan bagian dari 245 proyek yang semula telah direncanakan akan dibangun hingga 2019.
Pemerintah melalui Menko Perekonomian memang menyebut proyek-proyek tersebut tidak mampu direalisasikan, sehingga harus dikeluarkan dari rencana strategis pembangunan.
Namun, perdebatan yang muncul adalah apakah ada kepentingan politik tertentu di belakang pembatalan proyek-proyek tersebut? Apakah hal ini ada hubungannya dengan strategi politik Jokowi menjelang Pilpres 2019 dan – seperti Marius – membuatnya bisa terpilih lagi untuk periode berikut?
Mercusuar Infrastruktur Jokowi
Tidak ada yang meragukan bahwasanya proyek infrastruktur adalah salah satu agenda unggulan Jokowi. Mantan Wali Kota Solo itu memang menganggap salah satu persoalan utama yang menyebabkan ketimpangan ekonomi adalah karena terbatasnya infrastruktur yang menjadi penghubung antara satu daerah dengan daerah yang lain.
Namun, dengan sedikitnya dampak yang dirasakan dari proyek-proyek yang sudah dikerjakan – mengingat infrastruktur adalah proyek jangka panjang – membuat Jokowi harus memutar otak agar program tersebut dapat dijadikan bahan “jualan”, menjelang kontestasi politik yang sudah di depan mata.
Beberapa pihak memang menilai program infrastruktur Jokowi dikebut dengan sedemikian rupa tanpa memperhatikan kapasitas produksi dalam negeri yang masih kecil. Akibatnya, infrastruktur yang dibangun belum terasa dampaknya bagi masyarakat luas.
Selain itu, program-program ini dianggap terlalu ambisius dan tidak memperhitungkan kondisi ekonomi dalam negeri yang tidak begitu baik. Jika ditotal, anggaran yang dibutuhkan untuk mengerjakan 245 proyek hingga 2019 nanti mencapai Rp 4.197 triliun. Pada saat yang sama, pertumbuhan ekonomi yang masih berkutat di angka 5 persen dianggap sebagai stagnasi dan jauh dari target 7 persen yang selama ini digaungkan oleh Jokowi.
Akibatnya, program-program infrastruktur Jokowi terlihat seperti agenda mercusuar. Jokowi melanjutkan political branding yang selama ini telah melekat pada dirinya sejak ia menjabat sebagai Wali Kota Solo, katakanlah misalnya lewat program mobil Esemka yang hingga kini tidak ada kejelasannya.
Selain itu, jika berkaca dari hasil yang telah dicapai Jokowi, dari total 245 Proyek Strategis Nasional (PSN), baru 4 proyek infrastruktur yang tercatat telah selesai dikerjakan hingga akhir 2017 lalu. Adapun 147 proyek masih dalam tahap konstruksi, 9 proyek dalam tahap transaksi, dan 87 proyek sedang dalam tahap penyiapan.
Artinya, selama 3 tahun memerintah, Jokowi baru menyelesaikan 4 proyek – sekalipun harus diakui ada 147 proyek lain yang sedang dalam tahap pengerjaan. Maka, tidak heran, kini strategi kampanye Jokowi lewat infrastruktur juga menggunakan proyek-proyek yang belum selesai dikerjakan, sebut saja seperti saat ia mengunjungi Jembatan Holtekamp di Jayapura beberapa waktu lalu.
Selain itu, rencana Jokowi untuk tidak menaikkan Tarif Dasar Listrik (TDL) dan harga bahan bakar minyak (BBM) hingga tahun 2019 tentu saja akan menjadi beban anggaran tersendiri. Apalagi, APBN 2018 tengah digerogoti defisit, degembosi sejumlah besar utang yang akan jatuh tempo pada 2018 dan 2019, serta dipengaruhi harga minyak dunia yang makin hari makin meningkat. Belum lagi soal nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat yang makin hari juga makin melemah.
Yg ada bukan percepatan tp pembatalan 14 proyek strategis nasional karena mangkrak
— Maruswijaya (@maruswijaya) April 19, 2018
Dengan kondisi ekonomi yang seperti sekarang, jor-joran di sektor pembangunan infrastruktur tentu saja akan menjadi bom bunuh diri bagi Jokowi. Ia juga akan berhadapan dengan tuntutan masyarakat yang pasti akan protes apabila janji tidak menaikan TDL dan harga BBM diingkari. Oleh karena itu, tidak heran jika banyak pihak menilai pembatalan 14 proyek tersebut punya hubungan dengan strategi politik Jokowi menuju Pilpres 2019.
Bhima Yudhistira dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) seperti dikutip dari Tirto, menyebut dengan membatalkan 14 proyek senilai ratusan triliun itu, Jokowi punya anggaran yang bisa digeser untuk subsidi energi dan belanja sosial yang menyasar masyarakat kelas bawah.
Jika hal tersebut benar adanya, maka Jokowi sesungguhnya telah memainkan strategi politik lewat program-program populis. Ia memang mau tidak mau harus berhadapan dengan kenyataan bahwa kondisi ekonomi saat ini tidak memungkinkan untuk 100 persen menggenjot sektor infrastruktur. Pemerintah memang akan kesulitan jika tidak menaikan harga BBM dan TDL, sehingga mau tidak mau harus punya cadangan dana untuk menyiasatinya.
Selain itu, pada awal 2018, Jokowi juga meningkatkan target penerima bantuan sosial berupa skema Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), dari 6 juta penerima Program Keluarga Harapan (PKH) menjadi 10 juta penerima PKH. Artinya, dengan kondisi APBN 2018 dan pertumbuhan ekonomi yang stagnan, memangkas pos anggaran tertentu dan dialihkan ke sektor belanja sosial dan subsidi adalah sebuah keniscayaan.
Di satu sisi, strategi ini boleh dibilang sebagai kebijakan ekonomi murni. Namun, di sisi lain, jika tujuannya untuk mengamankan suara pada Pilpres 2019, maka jelas Jokowi lagi-lagi sedang memainkan strategi politik populis.
Hal ini hampir serupa dengan program Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang digunakan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada saat berkuasa. Menariknya, program itu dikritik habis-habisan oleh PDIP yang saat itu menjadi oposisi. Kini, ketika partai banteng itu menjadi partai pemerintah, akankah ini menjadi bagian dari pembalikan fakta? Lalu, apa sebetulnya populisme itu sendiri?
Populisme Jelang Pemilu
Populisme pada dasarnya bukanlah sebuah ideologi – pandangan yang masih mendatangkan perdebatan hingga kini. Ahli politik asal Belanda, Cas Mudde menyebut populisme sebagai “ideologi yang tipis” (thin ideology). Oleh karenanya, populisme bisa “menempel” di hampir semua “ideologi tebal” (thick ideology), seperti sosialisme, nasionalis, rasisme, anti-imperialisme, dan lain sebagainya.
Secara sederhana, populisme diartikan sebagai filosofi politik yang menggunakan strategi keberpihakan kepada kelompok mayoritas yang dianggap “menderita”, untuk menghadapi kelompok kecil elit atau minoritas tertentu. Dalam 5 tahun terakhir, terminologi ini menjadi begitu populer hampir di seluruh dunia.
Populisme juga dianggap sebagai strategi untuk mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan dan digunakan untuk mendapatkan dukungan elektoral. Vladimir Putin di Rusia, Trump di Amerika Serikat, Erdogan di Turki, Viktor Orban di Hungaria, Rodrigo Duterte di Filipina, dan tentu saja Gaius Marius di Romawi kuno, merupakan beberapa contoh pemimpin populis.
Jokowi juga dianggap sebagai salah satu pemimpin populis. Ia dianggap sebagai antitesis mayoritas pemimpin Indonesia yang berasal dari golongan elit. Ia dekat dengan masyarakat kecil, sehingga dianggap menyuarakan kepentingan mereka.
Persoalannya, dalam konteks kontestasi politik, kedekatan politik yang demikian punya dimensi elektoral yang besar. Sebagai seorang politisi, Jokowi tahu betul hal itu. Ia tidak mungkin akan memaksakan program infrastruktur di tengah kondisi ekonomi yang berpotensi membuatnya mengingkari janji untuk tidak menaikan harga BBM dan TDL.
Oleh karenanya, pada titik ini, pilihan untuk menggeser beban anggaran tersebut – tanpa mengurangi aspek moralitas katakanlah terhadap oposisi – adalah strategi politik yang brilian. Tidak heran jika Bhima Yudhistira menyebutnya sebagai quick win.
Jokowi mengambil ceruk kepentingan masyarakat kecil dan mayoritas yang akan terbebani oleh kondisi ekonomi, dan memenangkan dukungan elektoral lewat program-program populis. Pertanyaannya adalah apakah hal itu yang memang sedang terjadi? Hanya Jokowi yang tahu pasti.
Yang jelas, populisme selalu punya wajah tersendiri di setiap zamannya. Bagi Gaius Marius, kemenangannya atas Jugurtha adalah sebuah kemenangan elektoral. Lalu, akankah Jokowi memenangkan bagiannya kali ini? Menarik untuk ditunggu. (S13)