Site icon PinterPolitik.com

Provinsi Sunda: Ujian Ridwan Kamil?

Provinsi Sunda Ujian Ridwan Kamil

https://www.pinterpolitik.com/wp-content/uploads/2022/02/Provinsi-Sunda-Ujian-Ridwan-Kamil.jpg

Tokoh-tokoh masyarakat yang berpartisipasi dalam Kongres Sunda mengusulkan pengembalian nama Provinsi Jawa Barat yang dipimpin oleh Gubernur Ridwan Kamil menjadi Provinsi Tatar Sunda atau Provinsi Sunda. Mengapa usulan ini bisa muncul?


PinterPolitik.com

“I gotta go get it. My name gon’ hold up” – Jay Rock, penyanyi rap asal Amerika Serikat (AS)

Sebuah nama memang selalu memiliki makna tersendiri, entah bagi pemilik nama itu sendiri atau bagi orang lain. Banyak orang juga menilai bahwa nama merupakan cerminan atas identitas diri.

Bahkan, bagi sebagian kalangan, nama dapat menentukan nasib dan kesuksesan di masa mendatang. Dalam nilai-nilai Jawa, nama juga menentukan karakteristik dari seseorang.

Mungkin, pentingnya sebuah nama ini turut disadari oleh salah satu negara tetangga Indonesia, yakni Myanmar. Pasalnya, sebelum bernama demikian, Myanmar lebih sering disebut sebagai Burma.

Namun, pada tahun 1989, pemerintah junta Burma kala itu akhirnya mengubah namanya menjadi Myanmar setelah terjadi insiden yang memakan banyak korban jiwa. Selain itu, nama baru itu dianggap lebih bersifat inklusif bagi etnis-etnis non-Burma yang tinggal di negara tersebut.

Meski nama baru ini bisa jadi bermakna baik bagi Myanmar sendiri, banyak negara lain justru kebingungan ketika menyebutkan negara ini. Terkadang, negara-negara lain – seperti Amerika Serikat (AS) – masih menggunakan nama Burma dalam sejumlah pertemuan resmi.

Bahkan, terdapat sejumlah negara yang mempertanyakan keputusan penggantian nama tersebut. Beberapa menilai akan adanya keraguan atas legitimasi pemerintah junta kala itu karena keputusan dilakukan tanpa melalui referendum umum dan pengambilan suara dari masyarakat Myanmar sendiri.

Anggapan sejumlah negara Barat akan minimnya legitimasi ini sejalan dengan pendapat Aung San Suu Kyi yang kala itu masih menjadi pemimpin oposisi. Suu Kyi menganggap bahwa perubahan nama itu hanya bagian dari agenda rezim junta.

Alhasil, perbedaan nama ini masih berlanjut hingga kini. Sejumlah negara terkadang juga masih menyebut Myanmar sebagai Burma. Merespons persoalan yang sampai kini belum tuntas juga ini, Suu Kyi sendiri akhirnya pada April 2016 tidak mempermasalahkan penyebutan nama Myanmar atau Burma.

Pergantian nama seperti ini tampaknya tidak hanya terjadi di Myanmar. Indonesia kini juga menghadapi persoalan nama di salah satu provinsinya, yakni usulan kembalinya nama Sunda bagi Provinsi Jawa Barat (Jabar).

Menanggapi usulan ini, Gubernur Jabar Ridwan Kamil menyebutkan bahwa usulan tersebut membutuhkan proses yang panjang untuk bisa diwujudkan. Pasalnya, politikus yang dikenal dengan sebutan Kang Emil tersebut menilai bahwa ada dua kelompok budaya lain selain Sunda, yakni kelompok Cirebon dan kelompok Betawi.

Tentunya, kemunculan usulan ini menimbulkan sejumlah pertanyaan. Mengapa usulan pengembalian nama Provinsi Sunda ini bisa muncul? Lantas, apa dampak lanjutannya terhadap posisi politik Ridwan Kamil?

Kebangkitan Sunda?

Kemunculan usulan agar nama Provinsi Jabar kembali menjadi Provinsi (Tatar) Sunda ini bukan tidak mungkin berasal dari sejarah dan identitas Sunda sendiri. Pasalnya, persoalan pergantian nama ini telah muncul sejak era Hindia Belanda.

Di sisi lain, sentimen antar-etnis juga eksis di antara kelompok-kelompok suku bangsa di Indonesia, yakni antara kelompok Sunda dan kelompok Jawa. Sentimen ini terlihat dari bagaimana Ketua Steering Committee (SC) Kongres Sunda Andri P. Kantaprawira mengomentari adanya Badak Sunda yang malah disebut sebagai Badak Jawa.

Sentimen ini disebut-sebut berakar dari era Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Sunda – di mana perselisihan terjadi di antara dua kelompok etnis penghuni Pulau Jawa. Perselisihan kedua kerajaan ini bahkan menimbulkan konflik di antara dua pihak, yakni Peristiwa Bubat.

Menurut sejumlah catatan sejarah, Peristiwa Bubat meninggalkan kisah yang sentimental bagi masyarakat Sunda. Kala itu, kelompok etnis Sunda juga tetap berusaha membuat mereka tetap independen dari dominasi Jawa meski Majapahit menjadi salah satu kerajaan yang dominan di Asia Tenggara.

Sentimen ini disebut-sebut menjadi memori masa lalu yang masih terbawa hingga kini. Nama-nama yang berbau Majapahit, misalnya, dianggap sulit ditemukan di wilayah Jawa Barat dan begitu juga sebaliknya.

Sentimen ini bisa juga mengalir hingga era kolonial. Nama Sunda sendiri juga berhenti digunakan di bawah pemerintahan Hindia Belanda pada tahun 1926 – kala itu nama Jawa Barat mulai digunakan.

Sebelumnya, nama Hindia Belanda menggunakan nama Soendalanden hingga desentralisasi dilakukan sesuai Staatsblad 1925/378 – membentuk provinsi West-Java ProvincieMidden-Java Provincie, dan Oost-Java Provincie di Pulau Jawa. Beberapa pihak menilai bahwa kebijakan ini merupakan politik memecah belah dari Belanda.

Perasaan identitas Sunda ini juga terlihat dari dinamika organisasi-organisasi berbasis etnis di era kolonial. Edi S. Ekadjati dalam tulisannya yang berjudul Paguyuban Pasundan: A Sundanese Revival (1913-1918) menjelaskan bahwa dinamika ini terlihat dari lahirnya organisasi Paguyuban Pasundan di awal abad ke-20.

Menurut Ekadjati, kemunculan organisasi tersebut disebut-sebut turut disebabkan oleh dominasi organisasi Budi Utomo yang – meski beroperasi di seluruh Jawa dan Madura – menanamkan dominasi budaya Jawa. Sejumlah elemen dari organisasi ini juga menjadi salah satu kelompok yang mendukung kembalinya nama Sunda atau Tatar Sunda.

Persoalan identitas yang berujung pada usulan penggantian nama Jawa Barat ini juga pernah muncul sebelumnya, yakni pada tahun 2013 dan 2019. Bukan tidak mungkin, alasan inilah yang menyebabkan usulan serupa muncul kembali kini.

Bila benar begitu, mungkinkah munculnya kembali usulan penggantian nama ini membawa dampak terhadap dinamika politik? Lantas, bagaimana pengaruhnya terhadap posisi politik Ridwan Kamil yang digadang-gadang menjadi calon presiden potensial pada tahun 2024 mendatang?

Ujian untuk Ridwan Kamil?

Dengan adanya usulan ini, bukan tidak mungkin Ridwan Kamil sebagai gubernur akan menghadapi sebuah ujian kepemimpinan. Pasalnya, Jabar sendiri bukanlah provinsi yang hanya berisikan kelompok etnis Sunda.

Di dalamnya, terdapat juga kelompok-kelompok lain seperti kelompok budaya Cirebonan di Cirebon dan sekitarnya, serta kelompok Betawi di kota/kabupaten yang terletak di sekitar DKI Jakarta. Sinyal penolakan dari kelompok-kelompok ini terhadap usulan nama Sunda juga mulai terlihat – setidaknya dari Wali Kota Cirebon Nashrudin Azis.

Ujian kepemimpinan bagi sosok gubernur yang dikenal dengan sapaan Kang Emil tersebut dapat diamati dari transformational leadership theory yang mengamati peran kepemimpinan melalui dorongan-dorongan intrinsik dan perkembangan dari sisi pengikutnya. Setidaknya, teori dan pendekatan ini dijelaskan oleh Bernard M. Bass dan Ronald E. Riggio dalam buku mereka yang berjudul Transformational Leadership.

Dalam buku itu, Bass dan Riggio menyebutkan bahwa teori kepemimpinan ini menjadi sesuai bila digunakan untuk mengamati peran kepemimpinan yang di dalamnya turut diisi oleh peran para pengikutnya yang turut mendorong sebuah perubahan.

Dengan adanya peran pengikut yang diperhitungkan, manajemen keberagaman (diversity management) pun juga menjadi penting. Adanya manajemen seperti ini turut disebutkan oleh Juliana Murniati dan rekan-rekan penulisnya dalam tulisan mereka yang berjudul Localizing Transformational Leadership.

Manajemen keberagaman ini disebut menjadi salah satu elemen kepemimpinan transformasional. Manajemen ini juga dikenal sebagai intellectual stimulation (stimulasi intelektual) – di mana pemimpin dianggap perlu mendorong keterbukaan pikiran (open mindedness) dan menghargai keberagaman.

Bukan tidak mungkin, Kang Emil harus mengamalkan elemen kepemimpinan transformasional ini. Pasalnya, bisa saja terdapat kelompok-kelompok non-Sunda yang menolak usulan nama Provinsi (Tatar) Sunda.

Peran pemimpin lokal dalam menciptakan harmoni sosial juga dijelaskan oleh Suprayogi dan rekan-rekan penulisnya dalam tulisan mereka yang berjudul The Role of Local Political Leadership. Tulisan tersebut mencontohkan bagaimana peran pemimpin lokal diperlukan dalam harmonisasi masyarakat Kudus, Jawa Tengah.

Di sisi lain, Ridwan Kamil kini tampaknya juga tengah menjalankan peran pemimpin lokal di luar persoalan nama provinsi. Di tengah polemik Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker) atau omnibus law, Kang Emil justru tampil sebagai salah satu kepala daerah yang mengirimkan surat kepada Presiden Jokowi berisi aspirasi penolakan masyarakat Jabar terhadap RUU tersebut.

Peran kepemimpinan daerah yang menunjukkan perlawanan terhadap pemerintah pusat seperti ini juga tampak dari arah politik gubernur-gubernur di Jepang. Meski menganut sistem negara kesatuan, para kepala daerah di Jepang tersebut berusaha mendorong agenda reformatif yang didukung oleh konstituennya.

Purnendra Jain dalam tulisannya yang berjudul Local Political Leadership in Japan menjelaskan bahwa bentuk kepemimpinan lokal ala Jepang ini masuk dalam kategori kepemimpinan transformasional – di mana pengikut dan pemimpin saling memotivasi satu sama lain.

Dari sini, mungkin dapat dipahami bahwa Kang Emil akan menghadapi ujian kepemimpinan – entah kepemimpinan itu akan bersifat transformasional atau malah menjadi transaksional (jenis kepemimpinan yang bersebarangan dengan transformasional). Bisa saja, ujian ini juga akan menentukan kesempatan Ridwan Kamil dalam dinamika politik tahun 2024 – di mana beliau digadang-gadang menjadi salah satu calon presiden potensial. (A43)

Exit mobile version